12 Mei 1989 deretan Ruko HM, Yamin.
Asap mengepul menutupi langit malam menambah pekat yang kelam menutupi bintang yang ikut ketakutan bersinar. Koh Acun meringkuk di dalam ruko menanti suara-suara riuh di luar segera redam. Koh Acun sengaja mematikan aliran listrik begitu ia mendapati gelagat yang tidak baik tengah terjadi. Seorang pekerja yang telah setia menemaninya selama delapan tahun, lekas mengabarinya tentang akan adanya kerusuhan yang entah digawangi siapa mulanya.
Andai saja tadi ia lekas mengikuti ajakan pegawai setianya itu, tentu ia tidak perlu berada di dalam ruko ini dengan perasaan was-was.
“Koh, pulang cepat! Di luar sudah nggak aman.” Burhan, pekerja sekaligus sopir pribadinya, datang dengan wajah pias.
Koh Acun hanya memandangi Burhan keheranan. Merasa bukan salah satu dari bagian politik, Koh Acun tidak peduli dengan isu yang tengah bergolak di negara ini. Ia tahu kalau belakangan banyak selentingan yang menyalahkan keberadaan mereka adalah salah satu pemicu kacaunya Negara. Entah mulut busuk siapa yang sudah menebar fitnah hingga orang biasa sepertinya pun harus terancam. Namun, Koh acun tidak peduli dengan semua itu. Ia lahir dan besar hingga menua di kota Medan. Bagaimana mungkin ia harus takut dengan status etnisnya?
Biasanya, Koh Acun menutup toko lebih awal. Kali ini ia berniat lembur demi mendata barang yang sudah masuk sehari lalu dan ia sama sekali belum melihat nota dan mencocokkan pesananannya. Kedatangan Burhan sempat menghentikan perhatiannya akan barang-barang yang masih terbungkus di dalam kotak-kotak besar di hadapannya. Apalagi kalimat desakan Burhan yang dianggapnya terlalu mengada-ada.
“Ah, nggak aman cuman buat orang jahat. Saya mana ada jahat sama orang. Siapa yang mau jahatin saya?” kata Koh Acun penuh percaya diri.
“Bukan begitu, Koh. Ini bukan perkara baik atau tidak. Saya dengar, asal Cina nanti mereka kasih bunuh nyawa, lo.”
Koh Acun menurunkan tangannya yang baru saja memegang nota. Dipandanginya wajah Burhan dengan saksama.