Sejak pernyataan cinta terlontar dari bibirnya, Gala menjadi mahasiswa yang pasif saat mata kuliah Tita. Ia berpikir sudah cukup untuk cari perhatian sebagai bentuk perkenalan diri saat di kelas. Sekarang, dirinya hanya duduk di pojok belakang dengan tangan bertopang dagu. Senyuman tidak pernah luput dari wajahnya. Laki-laki yang mengenakan hoodie berwarna hitam tersebut terus memperhatikan Tita walaupun dosennya itu sedang tidak menjelaskan apa pun.
Di meja depan, Tita menyadari bahwa sejak dirinya masuk kelas, Gala tidak berhenti menatapnya. Terlintas satu ide untuk berbalik menjaili mahasiswanya tersebut. Ia membiarkan laki-laki itu menatapnya dari kejauhan. Lewat kamera ponselnya, Tita mengamati tingkah Gala.
Habis ini, kita lihat. Kamu masih berani natap dosenmu ini, nggak?
Tita segera melancarkan aksinya. Ia mendongakkan wajah. Tatapannya lurus ke arah Gala. Mata mereka pun saling bertemu pandang. Tita bergeming tanpa senyuman. Dalam hati, ia ingin tertawa. Apalagi saat mahasiswanya itu menundukkan pandangan sambil tersipu di sepersekian detik saat tatapan mereka beradu.
Cuma segitu nyalimu wahai anak muda, batin Tita seraya tertawa kecil dengan ekspresi puas.
Namun, ia tergemap saat Gala kembali menatapnya. Perempuan penyuka masakan padang itu pun kembali fokus dengan bukunya.
Gala terkekeh pelan karena bisa membuat Tita salah tingkah. Ia pun melanjutkan aksinya memandangi wajah manis dosennya.
“Hei, Gala!”
Lambaian tangan dan sapaan Resta yang duduk di depannya membuat Gala terkejut.
“Apa, sih, Ta? Ganggu aja.”
“Ganggu orang ngelamun maksudnya?”
“Udah, kamu hadap sana lagi,” ujar Gala mengusir Resta yang menghadap ke arahnya.
Resta mengangkat bahunya. Ia mulai heran dengan kelakuan Gala beberapa hari ini. Pesaingnya untuk menjadi yang teraktif di kelas itu mendadak jadi pendiam saat mata kuliah dosen termuda tersebut sedang berlangsung.
Tita mengakhiri kelas saat dua SKS sudah terlewati. Hal itu membuat Galaksi berdecak kesal karena tidak bisa lagi memandangi pujaan hatinya.
“Ga, kamu habis bikin gara-gara sama Bu Tita, ya?” tanya Resta yang masih penasaran.
“Enggak,” jawab Gala menyembunyikan kebenaran yang terjadi. “Emang kenapa?”
“Jadi pendiam kamu sekarang. Cuma di kelas Bu Tita masalahnya.”
“Perasaan kamu aja,” elak Gala seraya membereskan tasnya.
Resta menyilangkan kedua tangan di depan dada. Ia tidak percaya dengan jawaban Gala. Laki-laki yang kerap bersikap jail itu mulai beranjak dari kursi.
Gala mengernyitkan kening melihat ekspresi Resta yang masih menatapnya lekat. Ia lalu mengusap sebentar pucuk kepala gadis berusia 20 tahun tersebut.
“Sana pergi rapat.”
Resta mencebik kesal. Rasa penasarannya tidak juga terjawab. Ia pun menyusul Gala keluar kelas.
“Kamu itu mau jadi politikus apa pengusaha?” tanya Gala sambil berjalan bersisian dengan Resta.
“Nggak tau masih lama itu, berproses dulu yang penting. Eh, jadi kayak kamu aja, deh, Ga. Entrepreneur, wih, keren.”
Gala tertawa menanggapi pujian sahabatnya tersebut.
“Ya, udah. Fokus kuliah jangan organisasi melulu yang ada di kepala,” tutur laki-laki dengan tas selempang berwarna coklat tua tersebut sambil menunjuk pelipis Resta.
Resta mencebik manja.
“Kamu nggak tau, sih, Ga. Betapa nikmatnya jadi aktivis kampus.”
“Buang-buang waktu kalau buat aku,” ucap Gala dengan tampang mengejek. Nggak ngasilin uang.”
Resta mengepalkan tangannya. Darahnya selalu mendidih jika Gala menjelekkan citra aktivis kampus dan juga organisasinya. Laki-laki di sebelahnya itu segera menghindar dengan berlari menjauhinya.
“Aku sumpahin kamu jadi aktivis kampus, Galaksi!” Pekikan Resta mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya.
“Nggak bakal mempan!”
Dari jarak sepuluh meter, Gala terbahak karena bisa membuat teman terdekatnya di kelas tersebut akhirnya jengkel. Ia pun melangkah menuju kantin. Perutnya terasa melilit. Ia tidak sempat sarapan walaupun ibunya sudah menyiapkan makan pagi untuknya sebelum berangkat kuliah.
Setelah memilih makanan, ia pun menuju meja yang tersedia di kantin. Saat mencari tempat kosong, matanya seketika berbinar. Ia menemukan perempuan pujaannya sedang duduk bercengkerama dengan beberapa mahasiswi. Gala pun mengambil posisi di belakang Tita.
“Alhamdulillah,” ucap Gala begitu melihat mahasiswa tadi beranjak dari bangku yang berada di hadapan Tita. Ia pun bergegas mendatangi wanita dengan seragam kerja berwarna abu-abu tersebut.
“Assalammualaikum, Bu Tita.”
Gala tersentak karena ucapan salamnya bersamaan dengan Fahmi, salah satu dosen yang juga menjabat sebagai Pembantu Dekan Tiga.
“Kok, Bapak di sini, sih?” protes Gala.
“Kamu yang ngapain di sini?”