“Kamu nggak malu ngelamar tante-tante?” tanya Tita yang akhirnya bersuara. Ia menoleh sekilas ke arah laki-laki yang duduk di balik kemudi.
Gala tertawa kecil menanggapi pertanyaan yang dilontarkan perempuan di sebelahnya tersebut. Ia sudah menebak akan ada pertanyaan semacam itu untuknya karena masalah perbedaan usia dan juga status pendidikan.
“Saya juga sudah om-om.” Gala tersenyum jumawa. “Berarti nggak masalah, ‘kan?”
Tita menghela napas dalam. Mahasiswanya itu selalu punya jawaban yang mematahkan ucapannya.
“Kamu itu masih muda, Ga. Temen-temen di kelasmu itu cantik-cantik, loh. Kenapa nggak milih mereka aja?”
Gala berdecak kesal. Tita ternyata sulit untuk diluluhkan hatinya. Selalu saja memberi alasan agar dirinya menyerah.
“Saya udah tua, Bu.”
“Masa, sih? Seberapa tua?” tanya Tita pura-pura tidak mengetahui usia Gala.
“Tahun ini usia saya udah 25 tahun. Udah tua, ‘kan?”
“Masih muda, Ga. Tetap lebih tua saya.”
“Cinta tidak mengenal angka dalam usia. Umur saya ini sudah waktunya nikah, Bu.”
Tita tertawa mendengar kalimat terakhir Gala. Ia merasa mahasiswanya itu memang sudah sangat ingin menikah.
“Apalagi umur saya, Ga. Terlambat nikah kali, ya, lebih tepatnya,” ujar Tita sambil menertawakan dirinya sendiri.
Gala tersenyum jail. Ia mempunyai celah untuk bisa meyakinkan Tita.
“Makanya, Bu. Sebelum semakin terlambat, lebih baik kita cepat saja menikah. Menyempurnakan separuh agama.”
Tita tersentak, ia seketika menoleh ke arah mahasiswanya tersebut. Rasa percaya diri Gala bukannya berkurang setelah membahas usia, malah semakin bertambah. Tita hanya mampu menggelengkan kepalanya.
“Ya, ajak aja salah satu temanmu untuk nikah. Resta mungkin?”
Gala mendengkus pelan. Menurutnya, Tita perlu dikasih ketegasan agar cepat paham dengan keseriusannya.
“Saya maunya sama Titania Pangesti. Titik nggak pakai ditawar jadi koma!”
“Tapi, saya lebih tua dari kamu, Ga,” ungkap Tita dengan raut wajah serius.
“Lima tahun bukan jarak yang jauh,” ungkap Gala dengan penuh percaya diri.
Tita menoleh ke arah Gala. Kedua alisnya saling bertaut.
“Kamu tahu dari mana usia saya?”
Gala terkekeh seraya memperlihatkan deretan gigi putihnya. Ia lalu mengangkat kedua bahu.
“Benar-benar ini anak.” Tita mengusap keningnya berulang kali.
“Benar-benar serius ingin menikahi ibu dosen di sebelah,” cetus Gala yang masih terus mengungkapkan perasaannya.
Tita menyandarkan kepala di bantalan kursi. Ia mengakui usaha Gala mendekatinya tidak main-main. Mahasiswanya itu berbeda dengan beberapa laki-laki yang mendekatinya. Terutama dari sisi keseriusan saat memintanya menjadi istri. Bukan bersikap penuh kepalsuan alias menjaga image. Gala terlihat lebih apa adanya bahkan terkesan jahil.
“Ibu nggak akan paham, rasa ini hadir sudah sejak lama. Sebelum ibu berangkat ke Spanyol,” ucap Gala mulai membuka isi hatinya.
Tita terperanjat dalam diamnya. Ia tiba-tiba ingin mengetahui awal mula rasa cinta itu hadir di hati mahasiswanya tersebut.
“Ngarang, ‘kan?”
“Demi Allah, Bu. Waktu itu ospek hari terakhir, Jumat. Saya masih ingat tanggalnya, empat September,” ungkap Gala dengan mata fokus menatap jalanan. “Jajaran dosen waktu itu memperkenalkan diri di hadapan mahasiswa baru. Itu adalah pertama kalinya saya melihat Ibu. Saat itu Ibu memakai kerudung berwarna abu-abu polos. Seragam kantor yang sama dengan kerudung. Pakai ransel warna hitam. Jam tangan model kotak talinya putih, serasi warnanya sama sepatu yang nggak terlalu tinggi.”
Tita melongo mendengar penjelasan Gala yang begitu lengkap tentang outfit-nya. Ia lalu manggut-manggut. Laki-laki di sebelahnya itu tidak salah menyebutkan semuanya. Ia memang kerap berpenampilan seperti itu saat ke kampus.
“Ibu dapat giliran terakhir untuk ngomong. Dan, ketika Ibu mengucapkan salam, saat itulah hati ini meyakini bahwa jodoh saya adalah Titania Pangesti.”
Hati Tita mulai tersentuh dengan ingatan Gala atas pertemuan pertama dengan dirinya. Namun, kalimat terakhir laki-laki di sebelahnya itu sontak membuatnya terbahak.