Bu Dosen, Please Be Mine!

Reni Hujan
Chapter #8

Prinsip yang Pudar

Pagi ini, Gala kembali berangkat ke kampus seorang diri. Motor Tita sudah diambil dari bengkel kemarin sore. Tidak ada lagi alasan untuk bisa mengajak dosennya itu semobil bersamanya. Ada rasa rindu menyelinap dalam hatinya. Jatuh cinta kepada seorang Titania membuatnya merasa mendapatkan suntikan semangat untuk menjalani hidup yang lebih baik. Tidak ada lagi penyesalan atas masa lalu yang pernah memberi luka.

Hanya ada dua mata kuliah untuk hari ini. Gala sudah membuat janji kembali dengan Resta untuk berkunjung ke kantor BEM. Ia harus mengesampingkan gengsi demi mencapai tujuannya menjadi Gubernur Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Dirinya akan meminta maaf kepada Ghifari dan teman-temannya atas ucapannya kemarin.

“Kalau gagal lagi, aku nggak mau bantu untuk masuk BEM,” ancam Resta begitu sahabatnya itu masuk kelas dan duduk di sebelahnya.

“Sadis banget. Pasti jadi hari ini.”

“Tapi, aku masih penasaran. Tujuanmu yang sebenarnya untuk jadi aktivis.”

Gala terkesiap sejenak. Resta masih menyangsikan niatannya.

“Kan, aku udah jelasin kemarin.”

“Masih nggak percaya aja. Galaksi yang suka mengejek Claresta dengan aktivitasnya di organisasi, tiba-tiba mau gabung. Aneh banget tau.”

Gala mengusap keningnya dengan canggung. Ia maklum jika Resta berpikir seperti itu. Apalagi gadis secerdas itu pasti mampu menganalisa keadaan.

“Ya, udah kalau nggak mau. Aku minta bantuan yang lain saja,” ucap Gala dengan wajah cemberut.

“Udah tua masih suka ngambek,” cetus Resta sambil tergelak. 

Gala pun mendengkus kesal. “Nggak usah bawa-bawa umur kali.”

“Biarin, ini senjata anadalanku. Eh, kemarin kamu pulang bareng Bu Tita?”

Gala terperanjat mendengar ucapan Resta yang mengetahui bahwa dirinya pulang bersama dosen mereka itu.

“Kok, tahu?”

“Pas lihat aja dari lantai lima.”

“Oh ... kebetulan ketemu di dekat parkiran. Sekalian aja aku barengin, satu arah juga.”

Resta manggut-manggut. Tidak ada yang perlu dicurigai untuk mahasiswa yang berbuat baik terhadap dosennya.

“Aku pikir kamu mau nyogok nilai,” cetus Resta sambil terbahak. “Eh, aku penasaran tau, Ga. Kok, Bu Tita yang almost perfect itu belum nikah juga, ya?”

“Mulai nggosip, nih. Coba tanyain,” ujar Gala menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia harus menyimpan erat pendekatannya kepada Bu Tita dari siapa pun yang ada di kampus ini.

Obrolan mereka terhenti saat dosen masuk ke kelas. Dua mata kuliah pun terlewati. Resta, sesuai janjinya akan mengajak Gala ke kantor. Menjelang siang, basecamp aktivis mahasiswa ekonomi itu tampak lengang. Hanya ada Ghifari dan satu temannya yang berada di sana.

“Assalammualikum,” sapa Resta.

“Waalaikumsalam. Wah, kebetulan anget, aku baru mau WhatsApp,” ucap Ghifari begitu melihat Resta. Ia lalu membuka tasnya, mencari proposal yang akan dibicarakannya bersama gadis berhidung mancung tersebut. “Ini ada yang—“

Ucapan Ghifari terputus begitu melihat sosok yang berada di belakang Resta.

“Kamu mau apa lagi?” Mata Ghifari tajam menatap Gala. “Masih kurang puas mengejek kami?”

Resta menghela napas dalam. Ia sudah menduga reaksi yang akan ditunjukkan teman-temannya.

“Tenang, Gala ke sini nggak ada maksud seperti dulu,” ujar Resta mencoba menenangkan Ghifari yang mulai tersulut emosi. Ia pun meminta Gala duduk di sebelahnya.

“Mau kesini ngapain?” tanya Ghifari dengan raut wajah sinis.

Kalau bukan karena Tita, nggak sudi aku ke sini, rutuk Gala dalam hati. Dirinya muak dengan sikap belagu Ghifari.

Resta menyenggol lengan Gala dengan sikunya. Gadis itu memberi instruksi lewat tatapan mata.

“Jadi begini, aku ke sini mau minta maaf karena ucapanku kemarin.”

Ghifari dan teman-temannya terkejut dengan ucapan yang baru saja keluar dari bibir Gala.

“Ikhlas minta maafnya?” tanya Ghifari masih dengan tatapan ketus.

Gala mengernyitkan kening. Ia berusaha untuk tidak terpancing emosi. Meladeni sikap Ghifari sama saja menyetarakannya dengan usia mahasiswa itu. Gala sudah pernah melewati masa-masa tersebut.

“Insya Allah, ikhlas,” ucap Gala tenang. Ghifari pun terdiam, raut wajahnya berubah lebih bersahabat.

“Jadi gini, Ghi. Gala udah menyadari, apa yang keluar dari ucapannya itu karena pengetahuannya yang minim akan organisasi di lingkup mahasiswa,” jelas Resta. ”Gala ingin mulai belajar organisasi.”

Ghifari tercengang mendengar penjelasan Resta. Laki-laki keturunan arab itu melirik sekilas ke arah Gala yang tengah manggut-manggut.

“Yakin mau gabung sama kita, Ga?”

“Insya Allah, yakin. Persyaratannya apa?” tanya Gala bersemangat.

“Loh, kamu belum kasih tahu Gala, Ta?”

Lihat selengkapnya