“Ketika ijazah sudah di tangan, saya bukannya sibuk mencari lowongan. Kenapa bisa begitu? Karen orang-orang yang saya kenal saat jadi aktivis yang memberikan informasi tentang itu semua. Jadi, salah satu manfaat ikut organisasi saat kuliah itu adalah memudahkan kalian mendapatkan pekerjaan. Oh, iya, satu lagi. Simpan baik-baik sertifikat kalian. Banyak yang bilang kertas-kertas itu gak ada fungsinya. Salah besar!”
Sekali lagi, Gala merasa dikuliti. Semua yang ada di pikirannya selama ini dibahas oleh pemateri.
“Ketika kalian melamar pekerjaan, sertakan sertifikat-sertifikat itu. Baik IMG, HMJ, BEM, bahkan kalau kalian ikut organisasi minat bakat seperti fotografi atau olah raga di kampus. Masukkan semua bareng ijazah. Insya Allah, pihak yang kalian tuju akan mempertimbangkan. Asal IPK kalian bukan nasakom loh, ya.”
Semua tergelak mendengar kata nasakom atau nasib satu koma. Indeks prestasi kumulatif yang dipastikan susah untuk segera lulus. Pemateri pun melanjutkan ceritanya.
“Kenapa sertifikat itu mampu membawa pengaruh untuk dengan mudah diterima kerja? Karena dari situ mereka tahu bahwa pelamar adalah orang yang mampu bekerja dalam tim! Apalagi kalau jabatan kalian presiden mahasiswa, wah ... bisa dipertimbangkan sekali itu.”
Peserta semakin bersemangat menyimak. Saat memasuki sesi tanya jawab, Gala mengangkat tangannya. Resta yang melihat itu merasa was-was, takut sahabatnya berbicara yang menyinggung para aktivis kampus.
“Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih atas sharingnya karena telah membuka pikiran saya tentang dunia organisasi yang baru pertama kali ini saya ikuti. Ada yang ingin saya tanyakan. Contoh yang diberikan oleh Kakak tadi lebih ke pekerjaan yang berhubungan sama instansi, ya. Bagaimana jika mahasiswa itu lebih tertarik pada usaha mandiri? Apa ada manfaatnya pengalaman berpolitik di kampus dengan menjadi pengusaha? Juga sertifikat-sertifikat itu. Terima kasih.”
Resta akhirnya bisa bernapas lega. Gala tidak bertanya macam-macam. Begitu pula dengan Tita yang duduk dekat pemateri. Wanita itu sibuk menganalisa pertanyaan mahasiswanya tersebut.
“Pertanyaan yang sangat bagus. Apalagi dasar ilmu kita kuliah adalah ekonomi, bisnis. Tentu banyak yang berkeinginan menjadi pengusaha yang sukses. Oke, apakah ada manfaatnya pengalaman saat di organisasi dengan usaha yang kita rintis. Jawabannya, banyak! Satu yang bisa kita lihat. Jaringan atau networking. Bisnis tanpa jaringan bisa dipastikan susah untuk berjalan. Dengan berkenalan dengan banyak orang di organisasi, relasi akan bertambah dari segala penjuru. Penjualan meningkat dan laba berlipat. Menarik bukan? Jadi apa salahnya aktivis kampus menjadi pengusaha?”
Gala manggut-manggut menyimak penjelasan. Ia mulai bisa memunculkan semangat berorganisasi dalam dirinya.
Sesi sharing alumni pun ditutup. Peserta mulai kembali ke tenda karena waktu sudah mendekati tengah malam. Namun, bukannya segera istirahat, Gala malah menuju ke tempat Tita yang sedang duduk di papan kayu. Wanita dengan jaket berwarna coklat muda tersebut sedang menatap langit malam yang cerah.
“Hai,” sapa Gala.
Tita sedikit terkejut, kemudian menggeser posisinya untuk memberi tempat duduk pada laki-laki yang berdiri di hadapannya itu.
“Kenapa nggak ngabari kalau jadi pemateri juga?”
“Nggak ada yang nanya,” jawab Tita sambil tersenyum simpul.
“Iya juga. Bagus ... bagus, aku berasa dapat surprise,” ujar Gala dengan mengacungkan kedua ibu jari.
Tita mengernyitkan keningnya sambil menatap laki-laki yang beberapa minggu ini tidak pernah absen membangunkannya salat Subuh lewat Whatsapp itu.
“Ish, pede. Siapa yang ngasih kejutan juga?”
“Panitia kayaknya.”
Mereka pun tergelak. Dua manusia berbeda status akademis itu kembali menatap langit dan bulan yang malam ini berbentuk bulat sempurna.
“Bu Tita.”
Tita terperanjat saat ada yang menyentuh pundaknya.
“Eh, ada Resta,” ucap Tita sambil tersenyum manis.
Gala mendengkus kesal. Acara kencan berdua terpaksa gagal dengan kedatangan sahabatnya tersebut.
“Gala habis melakukan penipuan, Bu.”
Tita tercengang mendengar pengakuan tiba-tiba Resta. Terlebih laki-laki di sebelah Tita. Gala membuka mulutnya lebar dengan tatapan penuh tanya.
“Penipuan apa?!” tanya Tita dengan kedua alis saling bertaut. Pikirannya sudah membayangkan jika laki-laki di sampingnya melakukan tindakan kriminal.