Tita tersentak mendengar kalimat ancaman yang keluar dari bibir Gala. Kenekatan laki-laki itu masih saja belum berkurang. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum puas karena lift berhenti di lantai tujuannya.
Gala berdecak kesal mendapati strateginya gagal. Akan tetapi, dirinya tidak kehilangan akal.
“Titania Pangesti!” panggil Gala yang juga keluar dari lift dengan nada sedikit keras. Lorong gedung kuliah bersama itu sudah sepi karena aktivitas terpusat di kelas. Tita masih terus berjalan, tidak memedulikan ulah konyol Gala.
“Maukah kamu—“
Ucapan Gala terhenti saat Tita berbalik arah. Tatapan wanita dengan ransel berwarna hitam di punggungnya itu tajam, tanpa seutas senyuman. Ia berjalan mendekat ke arah pemanggil.
Tita berdiri di hadapan Gala yang seketika mematung. Ia menarik napas dalam.
“Sebagai seorang muslim yang baik, aku memaafkanmu. Sudah paham? Terima kasih.”
Tita meninggalkan Gala tanpa menunggu respon atas ucapannya. Pemuda di belakangnya itu tersenyum bahagia.
“Terima kasih kembali, Cinta,” ucap Gala lirih.
Gala pun bergegas menuju kelasnya. Perkuliahan sudah berjalan. Ia mengambil tempat duduk di depan sebagai risiko karena datang terlambat. Dua SKS pun terlewati dengan baik.
“Ga! Tunggu!” teriak Resta yang masih merapikan peralatan tulisnya. Ia segera beranjak menyusul Gala yang sudah berdiri di depan pintu. “Aku mau ngomong penting.”
“Oke, di kantin aja.”
Mereka berdua menuju lantai dasar. Mata kuliah selanjutnya masih dua jam lagi. Gala sebenarnya ingin pergi ke perpustakaan. Namun, melihat raut wajah dan juga nada bicara Resta membuatnya urung ke tempat itu.
“Cepat duduk, Ga. Lama banget, sih.”
Resta menyuruh Gala untuk duduk di hadapannya.
“Iya, iya, ini udah mau duduk. Kenapa? Kayaknya penting banget.”
“Sangat penting.”
Gala meletakkan kedua tangannya di atas meja. Pandangannya lurus ke depan. Ia sudah siap mendengar cerita Resta.
“Nggak usah diliatin kaya gitu juga kali,” protes Resta yang menyembunyikan rasa gugupnya karena mendapat tatapan dari Gala.
“Kenapa? Takut jatuh cinta, ya?” goda Gala sambil terkekeh.
Pertanyaan Gala malah membuat hati Resta menghangat.
“Enggak!” pekik Resta dengan mata membulat. Gala pun terbahak mendapati respon sangar sahabatnya.
“Ih, serem banget.”
“Udah, udah. Aku mau bahas masalah darurat ini,” ucap Resta mengalihkan rasa gugupnya. “Kamu yakin mau lawan Ghifari?”