Bu Dosen, Please Be Mine!

Reni Hujan
Chapter #16

Bersemi

“Kamu niat mau nyalon, apa gak, sih?” tanya Resta begitu Gala tiba di indekosnya.

“Niat banget. Tadi A—“

“Aku udah nungguin dari pagi tapi kamu baru nongol malam. Kira-kira dong, kalau bikin janji!”

Belum sempat Gala menyelesaikan ucapan, Resta sudah mencecarnya. Ia manggut-manggut. Dirinya sudah menduga bahwa Resta akan memarahinya. Wajah gadis dengan rambut dikuncir ala ekor kuda itu terlihat masam.

“Maaf, Ta. Aku nggak pegang ponsel seharian ini.”

“Tumben?” tanya Resta sinis.

Gala hanya menjawab dengan kekehan. Tidak mungkin dirinya menceritakan satu hari yang manis bersama Tita dan juga ibunya kepada Resta.

“Bentar, tadi aku udah beli nasi goreng buat kamu. Aku ambilin dulu,” kata Gala kemudian berlalu menuju mobilnya.

Resta masih kecewa dengan sikap Gala yang tidak menepati janji. Ia bahkan harus membatalkan janji dengan Inara—teman kosnya—untuk menjenguk salah satu teman yang sakit hanya untuk seharian menunggu Gala. 

“Nih, nasi goreng ikan asin favoritmu.”

Resta menatap kantong plastik hitam itu dengan sinis. “Mau nyogok?” 

“Ya, udah kalau nggak mau, aku kasih Inara aja.”

Resta segera merebut pemberian Gala tersebut. Dengan bibir yang masih mengerucut, dirinya segera mendekap pemberian Gala. 

“Senyum, dong,” goda Gala sambil tergelak. Ia menatap wajah Resta. Senyuman pun tersungging di bibir pemuda itu hingga matanya terlihat menyipit. 

Resta menghela napas pendek. Ia selalu lemah dengan senyuman khas Gala tersebut. Ujung bibirnya mulai tertarik ke atas.

“Lumayan meskipun senyumnya jelek.”

Resta memukul punggung Gala. Laki-laki itu mengaduh sambil tertawa. Mereka pun mulai membenahi kekurangan dalam prosedur pendaftaran ke panitia. Konsep kampanye pun juga mereka bahas. Tidak terasa, waktu sudah hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Indekos Resta akan segera ditutup. Gala pun undur diri. Besok, mereka akan segera memulai perjuangan yang sebenarnya.

***

Gala dan Resta tiba di kantor panitia pemilu bersamaan dengan partai yang mengusung Ghifari. Raut muka sinis masih saja terlihat jelas. Gala hanya menanggapi pemuda berusa 20 tahun itu dengan senyuman.

Ghifari berjalan mendekati Resta yang sedang duduk sendirian di bangku depan kantor.

“Kamu nggak nyesel keluar dari partai?”

“Enggak. Ngapain harus nyesel?”

“Siapa tahu Gala hanya manfaatin kamu, Ta.”

Resta menatap Ghifari dengan heran. Kedua alis matanya saling bertaut.

“Sok tahu kamu.”

“Aku cuma ngingetin kamu aja.”

“Terima kasih,” ujar Resta dengan nada judes.

Ghifari tertawa angkuh.

“Hanya karena cinta, kamu rela berkorban sebesar itu.”

Resta tercengang mendapati tuduhan Ghifari. Beruntung Gala tidak berada di sampingnya. Ia lalu berdiri dan menatap Ghifari tajam.

“Kamu kalau ngomong jangan asal bunyi. Cowok tapi punya mulut lemes!” tegas Resta sambil berlalu meninggalkan Ghifari. Suasana hatinya seketika berubah buruk. Ia sudah muak dengan sikap Ghifari yang terus saja mendekatinya. Jika bukan karena satu organisasi, mungkin ia sudah bersikap cuek terhadap pemuda tersebut.

Lihat selengkapnya