Hari ini sudah memasuki akhir masa tenang. Semua alat peraga kampanye dari seluruh peserta pemilu harus sudah bersih di lingkungan kampus. Sejak pagi, Gala bersama timnya mulai melepas semua pamflet milik mereka. Hanya Resta yang tidak tampak batang hidungnya. Padahal, sejak awal rencana mencalonkan lewat partai independen, gadis itu selalu berada di barisan terdepan memberi semangat untuk timnya.
Setelah semua beres, Gala segera menuju ke indekos Resta. Ia merasa aneh dengan sikap sahabatanya yang tiba-tiba menghilang itu. Ponsel terkadang tidak aktif, juga pesan-pesan yang tidak terbalas.
“Resta ada, Na?” tanya Gala begitu Inara membuka pintu gerbang.
“Em ... dia lagi nggak enak badan, Ga,” jawab Inara berbohong.
Wajah Gala berubah. Ia terlihat panik.
“Udah dibawa ke dokter?”
“Nggak mau, katanya cuma kecapean.”
Gala membenarkan ucapan Inara. Resta memang acap kali tidak peduli dengan waktu istirahat jika tugas-tugasnya belum selesai.
“Kalau gitu aku belikan makanan dulu.”
Gala segera berlalu dari hadapan Inara. Ia melajukan mobilnya. Beberapa waktu kemudian, pemuda itu kembali. Ia tiba dengan membawa satu kantong plastik berisi nasi ayam kremes, terang bulan coklat keju, dan juga jus mangga. Beruntung, yang membuka pagar tetap Inara.
“Nitip ini ya, Na. Tolong bilangin Resta suruh aktifin ponselnya.”
Inara mengangguk sambil tersenyum. Setelah Gala undur diri, ia segera menuju kamar Resta. Ia sebenarnya ingin menceritakan yang sebenarnya pada Gala tersebut. Namun, Inara cukup tahu diri. Semua itu adalah masalah pribadi mereka berdua.
“Kamu yakin mau bikin Gala kalah?” tanya Inara sambil menyerahkan bungkusan dari Gala.
Resta mengangguk sambil terus menatap layar laptop di hadapannya.
“Kamu baru beli makan? Kok, nggak bilang. Aku laper, nih.”
“Itu emang buat kamu.”
“Widih, baik bener, tumben?” Resta membuka kantong tersebut. Matanya membulat mendapati kue terang bulan dengan merk dagang yang paling terkenal akan kualitasnya se-kota Malang. “Beneran ini buatku?”
“Iya ... Claresta. Itu semua dari Gala. Dia panik denger kamu nggak enak badan. Terus langsung cabut beli ini.”
Resta terperangah. Ia segera mengurungkan niat untuk makan, lalu mengubah posisinya.
“Gala itu baik, Ta. Kamu tega mau nyakitin dia?”
“Dia yang nyakitin aku, Na. Dia licik!”
Inara berdecak kesal. Baru kali ini ia melihat Resta benar-benar merasa tersakiti hingga sanggup menghalalkan segala cara untuk menyembuhkan luka di hatinya.
“Karena kamu nggak jujur sama perasaanmu. Kamu merasa jadi pihak yang tersakiti terus. Sedangkan Gala, nggak ngerti apa-apa. Ini nggak adil buat Gala, Ta.”
“Kenapa dari kemarin kamu belain Gala terus? Dia jelas-jelas salah. Sudah memanfaatkan kebaikanku untuk kepentingannya sendiri. Munafik!”
“Karena kamu cemburu, itu intinya. Mau dia berbuat benar sekalipun untuk tujuannya, kamu tetap nggak akan bisa nerima karena bukan kamu yang dihatinya ”
Resta terdiam. Apa yang diucapkan Inara ada benarnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Ia telanjur menuruti emosinya saat itu. Gadis itu baru menyadari bahwa kebaikan Gala selama ini sudah tidak terhitung besarnya.
“Tapi, aku tetap nggak suka jika ada pihak yang memanfaatkan secara pribadi keinginan menjadi aktivis kampus. Tujuan berorganisasi itu untuk kebaikan orang banyak.”
“Ya, ya, ya. Kamu bisa bilang begitu. Tapi tetap, aku lihatnya rasa cemburu yang lebih menguasai.”