Semalam, Gala tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah menanti pagi ini. Saat untuk bertemu dengan Tita, memberitahukan tentang hasil pemilihan ketua BEM. Dengan mengendarai mobil kesayangannya, ia meluncur menuju indekos dosennya tersebut.
Gala menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia harus siap dengan konsekuensi atas kekalahan yang didapatnya. Kehilangan Tita yang belum jadi miliknya.
Hanya butuh satu kali saja untuk menekan bel, pintu pagar pun terbuka. Biasanya, Gala memanggil penghuni indekos tersebut dengan tiga kali membunyikan bel.
“Tita?”
Gala terperangah mendapati Tita yang membuka pintu pagar. Penampilan wanita muda itu tampak rapi.
“Masuk, Ga.”
“Kamu mau ke mana?” tanya Gala heran.
“Di kos saja. Ayo masuk.”
Gala masih diam di tempatnya. Ia tidak mungkin membicarakan hal terpenting dalam hidupnya di teras.
“Gimana kalau ngobrol di luar aja? Sekalian sarapan.”
Tita mengangguk sambil tersenyum. Ia pun masuk ke rumah untuk mengambil tasnya. Wanita berhidung mancung itu sudah mempersiapkan diri sejak selesai shalat Subuh walaupun Gala tidak membuat janji terlebih dahulu. Namun, Tita yakin Gala akan datang pagi ini, dan itu terbukti.
“Gimana kemarin hasilnya?” tanya Tita begitu Gala melajukan kendaraan.
“Ngobrolnya jangan di jalan.”
Tita manggut-manggut. Firasatnya berkata bahwa hasil yang diperoleh Gala tidak sesuai harapan. Ia bisa melihat dari raut wajah pemuda itu. Suasana di mobil yang biasanya ramai dengan celetukan lucu Gala, sekarang mendadak senyap.
Gala dan Tita pun tiba di salah satu warung soto ayam. Setelah memesan, mereka segera duduk di meja yang terletak di pojok belakang.
“Ada yang beda sama kamu, Ga.”
“Apa?” tanya Gala dengan ekspresi lelah.
“Kusut banget itu wajah.”
Gala sontak memegang pipinya sendiri.
“Tapi, tetap ganteng, kan?”
Tita tertawa kecil.
“Bilang aja iya.”
“Iya ... iya, biar kamu seneng, nggak kusut lagi.”
Gala tersenyum tipis. Sikap manis Tita malah membuatnya semakin dilema.
“Gimana hasilnya?” tanya Tita penasaran.
“Kita makan dululah. Laper, nih.”
Gala mengalihkan pembicaraan. Ia belum siap dengan keputusan yang harus diterimanya. Sebuah kepatuhan atas apa yang sudah diputuskan di awal oleh Tita. Mereka pun mulai menyantap makanan berkuah gurih tersebut.
“Aku udah selesai makan. Gimana hasilnya?” tanya Tita tidak sabar.
Gala menarik napas dalam.
“Kamu pingin aku menang atau kalah?”
Tita terdiam. Pertanyaan balik dari Gala membuatnya tidak bisa berkutik. Ia ingin jujur tetapi harga dirinya terlalu besar untuk bisa mengucap memilih menang.
“Tita ....”
“Eum ... apa pun itu, hasil yang diperoleh adalah yang terbaik.”
“Untuk kita atau kamu?”
“Untuk kita, Ga.”
“Aku kalah.”
Tita terkesiap, matanya menatap lekat Gala. Rasa kecewa menyelinap dalam hatinya.
“Aku gagal.” Gala menundukkan pandangannya.
“Mungkin ini pertanda, Ga.”
“Pertanda apa?”
“Bahwa aku memang tidak pantas untuk bersanding denganmu. Aku tidak sebaik yang kamu kira.”