Tita tidak menghiraukan ucapan Narendra. Ia bergegas meninggalkan laki-laki bertubuh tinggi tersebut.
“Yaya, please tunggu.”
Tita semakin mempercepat langkahnya. Namun, tiba-tiba dirinya merasakan cengkeraman pada pergelangan tangannya.
Narendra menarik tangan Tita. Dosen muda itu berusaha melepas cengekraman tangan mantan kekasihnya. Beruntung, koridor sepanjang lantai tiga itu sepi. Tita menahan semua sesak yang bersemayam di dada sejak tujuh tahun yang lalu.
“Nggak ada lagi yang perlu dibahas,” ucap Tita seraya memejamkan mata.
“Masih ada.”
“Hubungan kita udah berakhir.” Tita menatap tajam Narendra.
“Aku ... aku minta maaf. Aku menyesali sikapku,” ungkap Narendra seraya menundukkan wajah.
Tita menyeringai sinis.
“Menyesal karena enggan menikahi pacar yang sudah disentuhnya? Terlambat!”
Narendra terperanjat, firasatnya benar. Ia merutuki sikapnya yang menolak ajakan Tita untuk menikah sambil menyelesaikan co-assistant.
“Yaya, aku minta maaf. Bukan maksudku menolak. Tapi, kamu tahu, kan—“
“Aku tahu, pendidikanmu lebih penting dari pada aku dan ....”
Tita menggantung kalimatnya. Ia menutup mulutnya kemudian berlari sekuat tenaga. Narendra hanya menatap sosok wanita yang menjadi cinta pertamanya itu menjauh.
“Aku dan? Dan, apa?”
Narendra mengacak rambutnya kesal. Kalimat Tita yang tidak selesai semakin menguatkan praduga tentang apa yang selama ini membuat hatinya tidak tenang.
***
Liburan semester genap mulai bergulir. Sudah dua minggu lamanya Gala tidak berkomunikasi dengan Tita. Ia hanya memantau wanita itu dari kejauhan lewat sosial media. Unggahan bernada motivasi memenuhi beranda Instagram dosennya tersebut. Gala merasa bersalah karena tidak memahami sejak awal sikap Tita yang berusaha menolaknya.
“Udah kamu hubungi lagi?” tanya Narendra yang mampir ke Kopipiko setelah selesai bertugas dari Rumah Sakit. Gala yang sedang bekerja di depan laptop menghentikan aktivitasnya.
“Tita?”
Narendra mengangguk.
“Belum, Bang. Aku bingung mau bersikap. Dia punya masa lalu yang kayaknya itu sangat menyakitkan. Ini yang membuatnya susah membuka hati.”
Sepupu Gala itu tersentak. Ia menyadari sikapnya dulu itu sudah membuat Tita mempunyai beban dengan masa lalunya.
“Aku rasa semua orang wajar jika memiiki masa lalu.”
“Tapi beda, Bang. Wanita sebaik Tita, merasa dihantui oleh masa lalu. Itu pasti masalah yang berat. Seolah-olah yang aku lihat, dia itu trauma menjalin hubungan dengan laki-laki.”
Narendra menghela napas dalam. Ia mengakui bahwa Tita adalah wanita yang tidak pernah bersikap nyeleneh. Hanya karena kesalahannya, wanita itu harus menanggung resiko sepanjang hidupnya. Narendra merasa begitu jahat sebagai laki-laki.
“Dia cerita tentang masa lalunya?”
Gala mengangguk sambil menyandarkan kepalanya di kursi. Pemuda itu masih teringat dengan jelas kata-kata yang keluar dari bibir Tita. Hal yang tidak pernah ia sangka terjadi kepada wanita yang baginya hampir sempurna sebagai calon istri tersebut.
“Dia cerita tentang orang-orang yang ada di masa lalunya?” Narendra terus saja bertanya. Ia khawatir jika Tita menceritakan kepada Gala.
“Enggaklah, soal ini aja aku baru tahu.”
Narendra mengusap dadanya. Kelegaan sedikit menyelimuti perasaannya.
“Kalau dia trauma dengan masa lalu, berarti dia nggak pernah punya pacar selama ini?”
Gala menggeleng pelan.