Dear diary,
Ternyata sudah delapan tahun aku tidak menyapamu. Kamu tahu apa yang terjadi padaku? Ada banyak hal yang ingin kuceritakan sekarang.
Kamu tahu rasanya dituntut untuk segera menikah sedangkan dalam hati seperti ada bayang-bayang yang menghambat niatan baik itu? Aku mengalaminya. Sungguh, bukan hal yang mudah memberi dan mencari alasan untuk setiap pertanyaan, kapan menikah? Kok, gak nikah juga?
Perempuan mana yang dalam hidupnya tidak ingin memiliki cinta sejati, menikah, membangun rumah tangga, dan memiliki putra dan putri yang lucu? Jujur, sejak usiaku menginjak kepala dua, aku sempat memimpikan menikah muda bahkan saat masih kuliah. Namun, impian itu kandas karena satu kesalahan yang fatal. Hingga usia 30 tahun, aku masih belum juga berani menyempurnakan separuh agama. Aku bukannya tidak ingin. Aku hanya takut menjalin komitmen dengan laki-laki. Aku trauma.
Semua itu berawal saat aku mengenal kata cinta. Untuk pertama kalinya aku menjatuhkan hatiku. Bayangkan, sejak sekolah aku tidak peduli dengan namanya kasmaran. Hanya satu yang ada di kepalaku, yaitu prestasi. Aku mengabaikan sapaan cowok-cowok yang ingin dekat denganku.
Memasuki kehidupan kuliah, aku tetap belajar dengan tekun. Namun, aku tidak menyia-nyiakan masa yang menurutku adalah momentum penemuan jati diri. Aku tidak ingin menjadi mahasiswi yang hanya kuliah terus pulang. Istilah bekennya mahasiswa kupu-kupu, kuliah-pulang. Aku membulatkan tekad untuk terjun di dunia organisasi, dunia yang baru bagiku.
Pencapaian tertinggi dalam pengalaman berorganisasiku adalah saat aku menjabat sebagai sekretaris BEM universitas pada tahun ketiga kuliah. Hidupku selama semester satu hingga tujuh kupersembahkan untuk kuliah dan organisasi. No time for unuseful love. Tidak ada keinginan sedikit pun untuk jatuh cinta atau menerima cinta. Dunia aktivis kampus benar-benar mengalihkan perhatianku.
Namun, semua berubah saat aku menginjak semester delapan. Saat itu aku baru mengambil program pengabdian ke masyarakat dalam kuliah kerja nyata (KKN). Di program ini, aku baru mengenal cinta. Mau tahu gimana rasanya jatuh cinta untuk pertama kali? Indah, membahagiakan, dan sangat manis.
Narendra Saputra, dialah yang berhasil meluluhkan hati ini. Seorang mahasiswa dari fakultas kedokteran. Keren, bukan? Siapa yang sanggup menolak mereka yang berasal dari fakultas sultan ini? Tapi aku menerimanya bukan karena status akademisnya. Pribadinya yang membuatku terpesona selain fisiknya yang juga menunjang. Tubuh tinggi, tegap, kulit bersih, rambut rapi, dan hidung yang bangir. Ia tau bagaimana caranya menyentuh hatiku.
Biasanya, aktivis kampus akan mendambakan pasangan yang sepemikiran dengannya. Namun, aku sepertinya sedikit aneh. Aku tidak pernah tertarik sedikit pun dengan sesama organisatoris. Bertemu Narendra yang di otaknya hanya ada buku dan kuliah membuatku semakin mengagumi kecerdasannya. Kami mulai dekat saat sudah berada di lokasi KKN. Dia sering mengajakku bertukar pikiran. Dari situlah benih-benih cinta mulai tumbuh dan bermekaran di hati kami berdua. Enam bulan setelah KKN, ia menyatakan cintanya. Dan, tentu saja aku mengatakan iya. Cinta yang bersambut, sungguh indah bukan? Aku merasa sudah menemukan cinta pertamaku.
Aku begitu terbuai dengan cerita romantis kami walaupun hanya makan bakso berdua di tengah derasnya hujan. Aku menyukai suasana saat air turun dari langit dan membasahi bumi. Aroma petrikor selalu membuatku tenang. Bersama Narendra aku mulai mencintai hujan. Namun, rasa cinta itu tidak lama kemudian berubah menjadi benci, amarah, dan dendam.
Aku tidak tahu, inikah jalan takdirku atau kesalahanku sendiri. Hanya karena dompet, masa depanku hancur. Benda yang paling penting selain ponsel bagiku, saat itu tertinggal di tas Narendra. Mau tidak mau aku harus ke kontrakannya yang tidak jauh dari kampus.
Semua seharusnya tidak akan menimbulkan masalah. Jika saja Narendra tidak sakit perut dan bergegas ke kamar mandi. Untuk pertama kalinya aku masuk ke kamar Narendra. Ruangan yang saat aku mampir ke kontrakannya, selalu kuhindari meskipun untuk sekedar menumpang beribadah. Aku biasanya memilih salat di ruang tamu. Namun, setan punya beragam cara manis untuk menjerat manusia ke lembah dosa. Kamu tahu maksudku, kan?
Saat itu, rasanya seperti kejadian yang sangat cepat. Setan berhasil menguasai kami. Dosa terbesar akhirnya kami lakukan di bawah hujan yang turun sangat deras di luar rumah. Sejak saat itu aku membenci hujan, diriku, dan tentu saja Narendra. Andai saja aku bisa menghentikan hujan. Andai saja ....