Tita menyimpan tulisannya di Google Drive. Ia lalu menghapus file yang ada di laptop. Kelegaan menyelimutinya setelah mampu mengungkapkan beban yang tersimpan selama tujuh tahun. Ia sudah bisa terlepas dari trauma masa lalu. Tepatnya sejak sepuluh bulan yang lalu saat Gala menjabat tangan bapaknya dan mengucasp kabul.
“Nggak, nggak bagus kayak gini.”
Tita membuka kembali file yang tersimpan di Google Drive. Ia berubah pikiran dengan cepat. Curahan hati yang panjang itu pun segera dihapus. Dirinya tiba-tiba saja berpikir, jika file tersebut bisa saja akan terbaca oleh Gala. Rahasia yang menjadi aibnya itu, cukup untuk disimpannya sendiri. Dan, tentu saja dijadikan pembelajaran untuk generasi penerusnya agar tidak bertemu kejadian seperti itu.
Menulis selama kurang lebih satu jam dengan kondisi duduk membuat punggungnya menjadi pegal, pun dengan perutnya yang terasa kencang sejak tadi. Ia lalu beranjak dari kursi menuju ranjang, merebahkan tubuhnya. Namun, posisi tidur membuatnya semakin tidak nyaman. Tita meringis sambil mengusap perut buncitnya.
Pintu kamar terbuka, Gala datang dengan membawa susu coklat hangat khusus ibu hamil. Sejak istrinya dinyatakan mengandung buah hatinya, laki-laki itu menjadi suami siaga. Ia dengan sigap memenuhi nutrisi wanita yang masih aktif mengajar tersebut.
“Udah selesai ngetiknya?”
Tita mengangguk sambil pelan-pelan menyandarkan punggungnya di dashboard ranjang berukurang king size tersebut. Ia masih menikmati kontraksi yang sering muncul sejak usia kehamilannya memasuki trimester ketiga.
“Perutnya kenapa, Yang?” tanya Gala seraya bergegas mendekati Tita yang tampak meringis.
“Kencang. Kayanya kelamaan duduk depan laptop.”
Gala mengusap lembut perut sang istri. Ia mengerjap kaget saat mendapati Tita mencengkeram kuat tangannya.
“Sakit banget?”
Tita mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya.
“Biasanya kontraksi palsu nggak sesakit ini, Yang. Kok, nyeri banget. Masa udah mau lahir?”
“Hah? Masa? Kata Bang Rendra kan, satu minggu lagi HPL-nya.”
“Nggak tau. Nggak papalah sebelum HPL. Aku udah pingin ketemu anak kita. Kamu nggak mau?”
“Mau banget. Aku telepon Bang Rendra saja buat mastiin ini kontraksi palsu atau bukan.”
Tita mengangguk lemah. Ia hanya bisa mengatur napas untuk mengurangi rasa sakit. Selama memasuki usia kehamilan enam bulan, ia sudah rajin mempelajari teknik hypnobirthing. Keinginannya kuat untuk melahirkan secara pervaginam walaupun banyak yang lebih memilih operasi untuk menghindari rasa sakit. Tita ingin menikmati gelombang cinta itu datang hingga fase sakit yang paling puncak.
“Disuruh ngitung, Yang. Katanya kalau intervalnya sudah lima menit sekali atau ketuban rembes, langsung pergi ke rumah sakit.”
“Ketuban masih aman. Kayaknya belum lima menit.”
Gala meletakkan tangannya di perut Tita yang mengeras. Ia pun mengajak istrinya berbincang untuk mengalihkan rasa sakit. Mereka membahas masa kehamilan Tita dari awal.
“Aku masih ingat pas kamu belum sadar kalau hamil. Masa nasi padang yang jadi favorit malah dimarahi,” ungkap Gala seraya tertawa. Tita memukul lengan sang suami.
“Bukan nasinya yang dimarahi. Kamunya yang kena omel. Disuruh jauhin malah dengan enaknya makan di depanku. Bakso yang udah sukses aku makan jadi keluar lagi.”
Mereka pun terbahak bersama. Memori saat hamil muda memang membawa kebahagiaan tersendiri bagi Tita. Ia memang begitu tersiksa dengan rasa mual yang menyerang sampai usia kandungan enam belas minggu. Bukan hanya di pagi hari, sepanjang hari ia merasakan perutnya bergejolak. Tidak bisa lihat nasi dan lauk yang digoreng. Ia bisa mual saat mencium uapnya. Namun, semua hanya terjadi rumah. Saat ia berada di kampus, semua gejala itu seakan lenyap.
“Aneh banget memang ibu hamil. Masa baru nginjek teras rumah langsung mual-mual, lemes. Tapi pas di luar kelihatan strong banget. Kamu nggak kangen masa itu?”
“Kangenlah. Tapi tersiksa juga nggak bisa makan dengan lahap.”