"Mba, jalan." Suara seseorang berhasil membuatku tersadar kalau aku masih ada di jalanan,terjebak macet bersama pengendara yang lain.
Aku menjalankan motorku setelah ditegur pengendara tersebut, aku cukup melajukan motorku untuk mengejar jamaah Magrib di masjid Rumah Sakit.
Kuparkirkan motorku di parkiran dekat dengan gerbang masuk Rumah Sakit agar nanti saat pulang aku tidak kesusahan dan menyusahkan tukang parkirnya.
Saat selesai melaksanakan Salat Magrib, niatnya aku langsung menuju kamar rawat om Zafran, tapi sepertinya aku mengenal seseorang yang berjalan di depan ku. Kuikuti langkahnya dan lebih mendekat pada orang itu.
"Dok"Dia menoleh, setelah mendapatiku, dia kembali melanjutkan langkahnya
"Maaf, dokter kenapa memanggil saya kemari?" tanyaku ketika berada di belakangnya dan mengikut ke mana di pergi.
"Dan tentang kejadian dua Minggu lalu, tolong beritahu saya alasan dokter melakukan itu, berbohong pada Ayah dokter." Karena tidak menjawab, aku kembali melontarkan pertanyaan, tapi dia masih saja tidak menjawab.
Tidak ada jawaban sama sekali, dan aku tidak tahu isi pikiran orang di depanku ini. Dua Minggu lalu dia mengakui di depan Ayahnya kalau aku calon istrinya, tanpa persetujuan dan tanpa pemberitahuan. Setelahnya, tidak ada pembahasan soal itu lagi sampai sekarang dia hanya memerintahkan aku untuk datang ke Rumah Sakit. Bodohnya, kenapa aku harus mengikuti instruksinya untuk datang ke sini.
Kami berdua berada di tempat yang sama untuk bekerja, bahkan setiap operasi aku dan dia berada dalam ruangan yang sama, bahkan ada di sampingnya saat dia melakukan bedah, sebagai asisten dokter bedahnya. Tidak mungkin juga dia tidak mengingat kejadian yang menyeretku dua Minggu lalu, pasalnya saat aku ke luar dari ruang rawat ayahnya dua Minggu lalu, dia mengucapkan terima kasih. Benar-benar membingungkan.
"Sekarang masuk dulu, nanti saya akan jelaskan," dia memerintahkan aku kembali memasuki kamar yang sudah pernah kukunjungi itu. Aku tahu siapa yang ada di dalam. Entah apa yang aku lakukan, kenapa perintah itu selalu aku turuti.
"Selamat sore,om," ucapku pertama melirik jam di tangan untuk memastikan kalau ini masih sore.
"Sore nak, Salwa." dia membalas ucapanku dan mencoba untuk duduk.
Aku berdiri di samping tempat tidurnya. Pegal rasanya,tapi kulihat sekeliling ruangan ber AC ini, hanya ada sebuah sofa panjang itu pun jauh dari tempat tidurnya. Satu kursi juga, namun sudah diduduki oleh dokter Shaka.
"Silahkan duduk." Tebak apa yang terjadi, dia berdiri dan membawakan kursi itu kepadaku. Membuatku tersenyum simpul atas perlakuannya. Lalu dia duduk di sofa panjang yang kumaksud.
"Om menyuruh Shaka untuk menyuruhmu datang ke sini, karena om mau tanya, kapan om bisa melakukan lamaran resmi ke rumahmu, dan bertemu orang tuamu?" Pertanyaan mendadak itu berhasil membuatku membulatkan mata. Kenapa jadi rumit begini?
"Oh. Te..... tentang lamaran om?" Dia mengangguk. Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa sekarang.
"Om tahu, pasti Shaka Belum ke rumah mu kan? Dia itu pasti memberitahu tentang niat melamrmu di Rumah Sakit ini? Atau mungkin saat kalian melakukan operasi?" Jawabannya terdengar lucu, mana ada lamaran yang dilakukan sambil operasi. Tapi terdengar sangat menegangkan bagiku. Aku belum pernah mendapat pertanyaan seperti itu, karena aku menunggu seseorang untuk menanyakannya padaku.