Hidup itu selalu mendatangkan pilihan, mengajarkan tentang sebuah keikhlasan bahwa tidak semuanya harus dimiliki. Namun, ini bukan tentang pilihan yang membuatku menangis jika tidak kumiliki, tapi pilihan berat tentang berbohong dan menolong.
Kuparkirkan motor Scoopy silver itu di garasi rumahku. Sekarang sudah jam delapan lewat. Ini rekor pulang lambat pertama yang pernah kulakukan. Entah bagaimana respon Ibu, dan alasan apa yang akan kukatakan jika dia bertanya.
Yang Mengisi pikiranku sekarang adalah jawaban itu, jawaban apa yang akan kujawab pada ibu. Aku memikirkan itu sambil mencuci tanganku di wastafel depan rumah. Perlu kuberi tahu, membuat wastafel di sini adalah ide Hilya, adikku. Dia memaksa Ibu untuk membuat ini. Bukan alasan pandemi, tapi dia takut ditulari penyakit dariku karena aku bekerja di rumah sakit. Katanya, tanganku banyak menyentuh penyakit apalagi saat di ruang operasi. Padahal, aku pulang dalam keadaan bersih. Rumah sakit juga mengharuskan itu dilakukan setelah operasi.
"Assalamualaikum," aku masuk dengan salam. Tidak ada jawaban yang kudengar, mungkin adikku Hilya ada di kamarnya. Kalau ibu, aku tahu dia dimana.
Aku hidup di Ibu kota, rumahku terdiri dari dua lantai. Lantai dua diisi oleh tiga kamar, kamar aku dan kamar Hilya. Satunya untuk tamu jika ada yang datang. Sedangkan Ibu, dia ada di lantai satu.
"Ibu, ini sudah malam. Menjahitnya dilanjut lagi besok,ya." Sudah kukatakan, Ibu pasti ada di sini,ruangan yang lebarnya enam meter dan panjangnya tujuh meter. Ruangan ini dibangun di depan rumah dan khusus untuk tempat ibu menjahit. Di depannya dipasang spanduk 'Rumah Jahit Shafiyah' dan sampai sekarang, banyak orang yang menjadi langganan Ibu. Kuakui, Ibu pandai membuat banyak hal dengan mesin jahit itu, rasanya kalau hari lebaran aku dan adikku tidak pernah membeli baju karena kami selalu mendapat dari Ibu. Tinggal memberitahunya saja tentang model yang kami suka, lalu dia membuatnya.
Aku memegang pundaknya. Dia mungkin sedang menyelesaikan jahitannya karena yang punya ingin cepat mengambilnya. Aku tahu, karena itu yang selalu Ibu katakan ketika aku menyuruhnya istirahat.
"Itu tahu sudah malam,kok baru pulang?" Ibu malah mengajukan pertanyaan yang kuhindari.
"Salwa dari Rumah sakit,Bu. Maaf tadi ijinnya rapat, tapi dilanjut untuk jenguk Ayah teman Salwa." Tidak ada jawaban.
"Ibu marah? Ko nggak menjawab?" Sekarang aku beralih ke depannya.
"Jenguk Ayah teman,kan? Enggak ke clab? "
"Astagfirullah Ibu, ada-ada saja." Mendengar jawabanku, dia kembali fokus ke pekerjaannya. Mendengar jawabannya, aku tahu ibu tidak marah.
"Salwa kira Ibu akan marah," aku meringis, membuat wanita di depanku menggeleng tanpa menoleh.