Sepanjang pekerjaannya, ibu memikirkan bagaimana cara menjelaskan pada Dini perihal ayahnya. Sekeras apapun ia menyembunyikan, Dini harus tahu bahwa ayahnya pergi meninggalkan mereka. Ia tidak mengira akan secepat ini Dini mencari.
"Bu, Bu..." seorang OB menepuk tangan ibu dan memanggilnya. Membuat ibu tersadar dari lamunan yang membawanya pergi.
Isi kepalanya hari ini membuat ibu tak karuan. Ia bahkan sangat tidak fokus saat bekerja. Beberapa kali ia ditegur oleh orang yang melihatnya melamun dimana mana.
***
Siang ini, sambil menunggu jemputan Mang Ali, Dini melihat temannya berseliweran ke sana kemari ada yang digendong oleh seorang laki laki yang dipanggil ayah dengan riang gembira. Seketika wajah Dini berubah muram.
Saat Mang Ali datang bersama Bi Santi, Bi Santi keluar dari mobil dan menyapa Dini. Dini tidak mau langsung diajak masuk ke mobil.
"Bi, Mang Ali mana?"
"Di mobil, Non."
"Aku mau digendong sama mang Ali."
"Sama Bibi aja ya, Non."
"Enggak!" balas Dini acuh.
Bi Santi menghela napas panjang. Mau tidak mau ia berjalan menuju mobil dan meminta Mang Ali agar keluar dari mobil untuk menggendong Dini.
Mang Ali pun menggendong Dini sambil berujar, "aduh... Nona manis minta digendong sama Mamang ya..."
Dini merasa bahagia saat Mang Ali menggendongnya. Ia tersenyum manis sambil menatap Mang Ali.
"Mang, tadi temen aku juga ada digendong sama ayahnya. Aku juga mau... hehehe. Emang aku berat ya?"
"Enggak Non, Mamang kan kuat."
"Makasih ya Mang Ali. Aku seneng banget bisa digendong kayak temen temen aku."
Mang Ali diam. Menatap Dini dengan tatapan sedih. Lalu ia tersenyum, "iya Nona manis. Sekarang kita pulang ya... atau Non mau jajan dulu?"
"Mau pulang aja, Mang."
Mang Ali manurunkan Dini dan mendudukkannya dimobil, disamping Bi Santi. Kemudian mereka pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, Dini tidak berhenti mengoceh.
"Bi, nanti aku mau berenang ya..."
"Iya, Non. Nanti Non berenang."
"Bi, nanti kita makan siangnya sama sama ya, sama Mang Ali juga."
"Eh, kenapa? Bibi udah kok Non. Udah makan. Nanti kan Bibi harus suapin Non. Masa Bibi juga harus makan."
"Gak apa apa Bi. Tadi dikelas kata guru aku Bibi itu bagian dari keluarga. Terus ada paman, ada kakak, ada adik."
"Aduh Nona manis, bibi yang dimaksud itu, bukan bibi yang ini. Tapi Bibi kamu. Tante."
"Oh..." Dini mengangguk. Eh iya Bi. Kakak sama Adik itu apa?"
"Kakak itu, kalau nanti ibu Non punya bayi, itu berarti, Non akan jadi kakak dan dede bayinya akan jadi adik..."
"Kapan ibu punya bayi?"
"Mmmm. Enggak tahu."
"Kalau aku minta sekarang, bisa?"
"Enggak bisa Nona manis."
"Kenapa? Ibu gak mau ya, Bi?"
"Bukan, tapi..." Bi Santi kesulitan mencari jawaban. Rasanya sangat tidak mungkin jika ia mengatakan bahwa ibu tidak akan memiliki seorang anak bayi yang lucu lagi karena ia tidak memiliki suami dan mungkin tidak akan pernah memilikinya.
"Non, ada penjual tisu sama minuman. Siapa yang mau beli?" Mang Ali mencoba mengalihkan percakapan agar tidak semakin jauh.
"Aku, aku! Aku yang beli Mang!" teriak Dini kegirangan.
Ibu sudah mengajarkan padanya untuk membantu sesama. Salah satunya dengan cara ini. Membeli minuman pada pedagang asongan. Dan Dini selalu senang melakukannya.
"Kak. Aku beli satu dong!" ucap Dini saat seorang anak laki laki menghampiri jendelanya.
Setelah ia memberikan uang, ia berterima kasih sambil memberi senyuman. Dini memberikan sebotol minuman itu pada Bi Santi. Lalu ia kembali duduk dengan tenang sambil mengayun ayunkan kakinya. Bi Santi bernapas lega karena akhirnya Dini tidak bertanya ini itu lagi.
"Bi, Kakak yang tadi itu kenapa jualan minuman?" tanya Dini tiba tiba.