Besoknya, ibu tidak hanya mengantar Dini sampai depan gerbang. Ia ikut masuk bersama Dini untuk menemui beberapa orang tua seperti janjinya kemarin.
Ibu berjalan kearah kerumunan orang tua lalu menyapa mereka dengan ramah.
"Selamat pagi semuanya, saya orang tuanya Dini," tutur ibu ramah.
Semua orang kembali menyapa sambil tersenyum.
"Sayang, yang mana ibu yang kamu maksud kemarin?" tanya ibu sambil memegang pundak Dini.
"Yang itu." Dini menunjuk salah satu ibu dengan kerudung berpeniti di bawah dagu.
"Itu saja?"
"Yang itu juga." Dini menunjuk lagi seseorang dengan rambut pendek digerai.
"Iya. Sudah?"
Dini mengangguk pelan. Ibu menyuruh Dini masuk kedalam kelas karena sebentar lagi bel akan berbunyi.
Ibu meminta izin pada orang tua yang tadi Dini tunjuk untuk mengajak mereka bicara. Mereka pun setuju.
"Selamat pagi, bu," sapa ibu tenang.
Keduanya menanggapi dengan senyuman yang terpaksa.
"Saya orangtuanya Dini. Kemarin, Dini bercerita pada saya kalau dia gak mau sekolah lagi karena ada orang yang bertanya tentang ayahnya. Sampai sampai dia menangis. Dan itu ibu ibu berdua bukan?"
Kedua ibu itu saing tatap kemudian mengangguk ragu.
Ibu menarik napas dan tersenyum. Mempertahankan ketenangannya.
"Bu, kita sama sama orang tua. Kita harus betul betul memahami anak kita sendiri. Tapi bukan cuma itu, kita juga harus paham pada sesama anak kita. Saya paham, ibu ibu dipenuhi rasa penasaran karena anak saya pergi sekolah sendiri sementara anak ibu ibu diantar dan kadang dijemput oleh ayah mereka."
Ibu memberi jeda sejenak sebelum ucapan berikutnya, "tapi, rasa penasaran ibu ibu berdua, tidak seharusnya ditanyakan pada anak saya. Karena ini semua bukan salah dia. Dia tidak tahu apa apa. Selama ini saya berusaha sekuat tenaga agar anak saya bisa lupa dengan kata ayah dalam hidupnya. Saya berusaha agar dia tidak iri dengan keluarga lain yang lengkap. Saya berusaha agar kasih sayang saya cukup untuk kehidupannya. Jadi saya sangat memohon sama ibu ibu, tolong, jangan buat anak saya makin teringat dengan ayahnya. Saya sangat meminta agar ibu ibu mau membantu saya dengan tidak menanyakan ini itu perihal keluarga kepada anak saya. Kita sama sama orang tua, semoga kita bisa saling memahami."
Kedua ibu itu dipenuhi rasa bersalah. Setelah ucapan terakhirnya, ibu berpamitan dan berangkat menuju kantornya.
Meski ibu pergi meninggalkan kedua ibu ibu tadi, tapi ucapannya tetap tertinggal. Mereka berda seperti tertampar oleh ucapan ibu yang begitu lembut tapi sangat tajam menusuk.
***
Setelah ibu berbicara dengan kedua ibu ibu tadi, beberapa ibu lainnya mulai penasaran dengan apa yang terjadi. Hal itu menjadi topik hangat yang dibahas oleh semua orang tua itu.
"Saya jadi prihatin bu sama Dini, saya juga salut sama ibunya. Mungkin dia udah berusaha banget ngebuat Dini gak banyak mikirin ayahnya," sahut salah seorang ibu menimpali.
"Iya. Meskipun dia wanita karir, anaknya tidak pernah kekurangan kasih sayang."
Satu persatu pujian menggema menjadi sebuah topik yang menarik. Kini tak ada lagi pertanyaan perihal alasan kenapa ayah Dini pergi. Kenapa Dini dibiarkan sekolah sendiri. Kenapa ibu bekerja. Tidak ada lagi pertanyaan semacam itu.
Siangnya, sepulang Dini dari sekolah, seorang ibu dari temannya Dini hendak mengajak Dini ke rumahnya.
"Emang boleh Bu?" tanya teman Dini pada ibunya.