Dini 13 tahun.
Tahun berlalu begitu cepat. Sekarang Dini sudah menjadi sosok remaja yang periang dan baik hati. Ia juga mudah bergaul dengan banyak orang jarena sifatnya itu. Tapi, satu satunya sahabat yang paling dekat dengannya adalah Yura. Sahabatnya sejak ia sekolah dasar. Mereka berdua menjalin persahabatan hingga sekarang.
Bukan hanya Dini yang mengalami banyak perubahan. Hidup ibu pun begitu. Setelah sekian lama ia menabung, akhirnya ia dapat membuka sebuah restoran. Ia sudah keluar dari pekerjaan di kantor lamanya. Sekarang ia jadi memiliki lebih banyak waktu luang dengan Dini.
Seperti malam ini. Biasanya ibu sibuk mengurusi pekerjaannya. Tapi kali ini, ia memiliki waktu luang dengan Dini. Mereka berdua menonton film bersama di ruang tengah. Rasanya begitu hangat. Sesekali mereka berbincang menebak apa yang akan terjadi di adegan berikutnya.
"Udah. Sekarang waktunya belajar," ucap ibu setelah mereka selesai menonton satu film.
"Yah, bu. Sekali lagi deh, ya."
"Be-la-jar. Oke?"
"Hmmm..."
Baru saja Dini berdiri dan hendak menuju kamarnya, dari luar rumah terdengar suara bel. Menandakan ada seorang tamu yang berkunjung ke rumah. Bi Santi keluar dan membukakan gerbang. Kemudian menyuruh tamu itu masuk.
Di ambang pintu, tampak seorang perempuan yang tidak asing lagi bagi Dini. Bibinya. Dini segera berlari menghampirinya dan memeluknya.
"Bibi~"
"Dini apa kabar?"
"Baik. Bibi ada apa ke sini? Mau ngajakin aku main ke luar?" tanya Dini sambil mengangkat kedua alisnya.
"Dini kan harus belajar," sahut ibu yang berjalan menghampiri mereka berdua.
"Enggak kok, kak. Aku gak akan ngajak Dini keluar. Ada sesuatu yang mau aku omongin."
"Oh. Ya udah. Ayo duduk dulu."
Ibu dan Bibi berjalan dan duduk di sofa ruang tamu. Dini pun mengikuti mereka berdua karena penasaran. Rasa penasaran memang jadi perasaan yang tidak pernah hilang dari dirinya sejak kecil. Entah sudah berapa banyak pertanyaan yang ia lontarkan pada orang orang disekitarnya. Terutama ibu.
"Kamu mau ngomongin sesuatu tentang ayah?"
"Bukan, kak. Tapi..." ada jeda sejenak sebelum Bibi melanjutkan ucapannya. Kemudian ia menunjukan tangannya dengan sebuah cincin tersemat dijarinya. "Ini," sambung Bibi.
Ibu menatap bibi dengan tatapan kaget dan terdiam beberapa saat.
"Serius? Kamu di lamar?" tanya ibu tidak percaya. Bibi mengangguk cepat sambil tersenyum.
"Dilamar itu apa, Bu?" tanya Dini polos.
Ibu menoleh ke arah Dini. Kemudian ia menjawab, "dilamar itu artinya Bibi kamu akan segera menikah. Kalau jam segini, itu artinya kamy harus segera belajar."
"Hmmm. Iya... selamat ya, Bi," ucap Dini lemas sambil berlalu pergi menuju kamarnya untuk belajar.
Ibu sontak memeluk bibi dengan air mata haru yang keluar dari matanya.
"Kakak ikut seneng. Akhirnya kamu akan segera menikah."
"Tapi..."
Ibu melelepas pelukannya. "Tapi kenapa?"
"Ibu."
"Ibu? Kenapa sama ibu?"
"Kalau aku menikah, nanti aku harus pergi sama suami. Terus ibu sama ayah gak ada yang ngurus. Ya... emang sih ada ART. Tapi aku khawatir aja."
Ibu menghela napas sambil tersenyum. Kemudian ia memegang pundak bibi dan berkata, "kamu gak perlu khawatir soal itu. Ibu pasti bakalan ngerti. Dia malahan pasti seneng kalau anak peremouannya mau menikah. Kalau soal siapa yang urusin mereka nanti, itu urusan nanti. Lagipula. Kakak yakin saat ini ibu masih mau urus dirinya sendiri. Gak mau diurusin orang lain."
Bibi mebgangguk pelan.
"Eh tapi, kamu belum kasih tahu ibu?"
"Belum. Hehehe," jawab Bibi.
"Haduh. Kamu ini. Udah cepetan kasih tahu mereka. Malah bilang sama kakak kamu dulu. Ada ada aja."
"Ya gimana dong. Aku kan butuh saran dulu."