Bu

imajihari
Chapter #11

Bab 11

"Biar aku anter pulang, ya Kak. Kakak tunggu di sini. Aku ambil kunci mobil dulu," ucap Bibi sebelum kemudian berjalan masuk ke dalam rumah.

Di sana tampah nenek yang sedang terduduk diam di sofa. Menatap kosong ke depan. Dengan gegas Bibi menghampirinya.

"Bu, maksud ibu apa bilang ke Dini kalau dia anak haram? Ibu udah keterlaluan."

"Ibu cuma bilang kenyataannya."

"Tapi Bu, Dini itu gak salah apa apa. Dia cuma anak kecil."

"Anak kecil yang udah ngebuat ibu malu sama tetangga. Yang udah ngebuat ibu marah sama diri ibu sendiri karena ibu membesarkan seorang anak perempuan kayak kakak kamu! Itu yang kamu bilang gak salah apa apa."

"Bu, andai dulu ibu bisa lebih perhatin. Gak sibuk sama kantor. Mungkin anak ibu gak akan melakukan kesalahan yang ngebuat ibu malu itu!"

"Sejak kapan kamu berani melawan ibu kayak gini Dit?!"

"Bu, aku gak berniat melawan ibu. Aku cuma mau ibu mikirin lagi. Semua kesalahan Kak Rara itu bukan sepenuhnya salah dia. Tapi itu juga salah ibu!" tegas Bibi sambil berlalu pergi ke kamarnya untuk membawa kunci mobil.

***

Di dalam mobil yang melaju perlahan, Bibi merasa kesal sendiri kepada nenek. Ia menggerutu sepanjang jalan.

"Ibu itu kenapa ya? Anak yang gak salah apa apa harus dibawa bawa dalam masalahnya. Hhhh... dan lagi. Dia cuma nyalahin kakak. Padahal semua yang terjadi juga kan kesalahannya dia. Coba dulu dia lebih perhatian sama kita. Ngobrol sama kita. Semuanya gak akan kayak gini kan!"

"Udah, Dit... marah marah juga gak bikin keadaan berubah," tenang ibu.

Bibi menghela napas panjang. Ia tak habis pikir kakaknya itu masih bisa bersikap tenang padahal jika hal itu terjadi padanya, mungkin ia sudah ingin pindah keluar angkasa.

"Kak. Sebaiknya kakak pindah. Jakarta udah gak sehat buat kehidupan kakak. Pindah kemana gitu. Ke bali, jogja, atau aceh. Kemana pun asal jauh dari ibu."

"Kalau bukan karena ayah, kakak udah pergi dari dulu."

"Emang dengan diem disini kakak ketemu ayah terus? Enggak juga kan? Ibu ngelarang kakak."

"Seenggaknya dengan di sini, kalau ayah kenapa napa, kakak bisa siap siaga."

"Kak... capek gak sih hidup kayak gini?"

"Kalau semuanya dikeluhin, mungkin udah bukan capek lagi. Mungkin rasanya kayak mau mati. Tapi ada satu orang yang ngebuat kakak bertahan. Dini. Dia satu satunya orang yang ngebuat kakak kuat. Cuma dia."

"Kak...Dini pasti bangga punya ibu kayak Kakak."

Ibu menghela napas panjang, "sekarang kakak bingung harus jelasin apa ke Dini. Tadi Dini nanya sama Mang Ali anak haram itu apa. Padahal kakak denger itu dari Mang Ali. Tapi rasanya sakit banget."

"Gimana kalau Dini aku ajak jalan jalan aja. Siapa tahu dia lupa."

"Kamu gak tahu Dini kayak apa. Kalau udah ada pertanyaan di kepalanya. Dia bakalan simpen dan tanyain hal itu terus menerus sampe dia nemuin jawabannya."

"Udah gak apa apa. Aku ajak dia jalan jalan sampe dia ngantuk. Siapa tahu dia lupa."

"Dit... kamu lagi banyak urusan sekarang. Udah urus aja dulu urusan pernikahan kamu."

"Enggak. Udah jangan dipikirin."

"Hmmm... iya deh. Terserah kamu aja."

Sesaat setelah sampai di rumah, Bibi langsung memanggil Dini yang sedang berada di dalam kamarnya. Sementara ibu, ia cepat cepat pergi ke kamar dan menguncinya ia tidak ingin Dini melihat wajahnya yang bengkak karena menangis habis habisan.

"Bibi. Ada apa ke sini?" tanya Dini antusias.

"Kamu... mau jalan jalan gak sama Bibi? Hmmm?"

"Boleh. Tapi..." Dini menengok ke arah kamar ibu. Kemudian kembali menengok ke arah Bibi sambil mengangkat pundaknya. Melihat hal itu Bibi langsung paham.

"Udah. Tenang aja. Bibi udah izin."

"Serius?"

"Hmmm." Bibi mengangguk cepat.

"Yes. Tapi tunggu bentar," ucap Dini. Kemudian ia berlari menuju kamar ibu dan berusaha membuka pintu. Tapi pintunya dikunci. Ia pun mengetuknya dan memanggil ibu.

"Bu... mau aku bawain sesuatu gak. Bibi ngajakin aku jalan jalan ke mal."

Lihat selengkapnya