Bojong Gede, wilayah kabupaten Bogor yang letaknya lebih menjorok ke Depok ketimbang ke Bogor itu sendiri. Layaknya wilayah perbatasan lainnya, Bojong Gede pun memiliki pertimpangan budaya yang campur sari—ditambah musim pancaroba meliputinya sepanjang tahun dan terkadang cuacanya lebih banyak mengikuti daerah tetangganya, panas nan gersang—sedangkan beberapa saat kemudian bisa saja datang hujan.
Seperti fortune cookies yang sukar ditebak, mungkin di beberapa kesempatan cuacanya akan bersahabat. Namun, di kesempatan selanjutnya—boom! Panasnya terik matahari siang bolong bahkan mampu membuat kulitmu perih.
Ya, begitulah yang terjadi pada cuaca siang kali ini.
Setelah satu bulan pindah dari Bandung ke penjuru Bogor ini, Juhairah lumayan banyak mengeluh. Apalagi memasak di dapur yang pengap karena minim ventilasi memanglah sebuah perjuangan yang cukup berat, lebih-lebih jika anakmu yang baru duduk di bangku kelas dua, merengek sedari tadi.
Oh, amboi.
Bayangkan seberapa frustasinya Juhairah menghadapi situasi semacam itu. Suara nyaring dari spatula membentur wajan berkali-kali, sebetulnya hal itu sengaja ia lakukan untuk memperingatkan anaknya agar menutup mulutnya.
Sambil menahan emosi, ia mencicipi sedikit hasil karyanya tersebut.
“Hmm...” Juhairah menilai tempe oreknya sendiri.
“Bunda!” anaknya memekik, menatap jengkel Ibunya yang tak menggubris perkataannya.