Perempuan dewasa sampai lanjut usia, saat mereka memasuki jenjang pernikahan, mau tak mau dipersiapkan untuk berbaur dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Jikalau tak mau bersosialisasi layaknya masih lajang, maka persiapkanlah mental samsak tinju, sebab orang seperti itulah yang akan menjadi buah bibir yang tak kunjung usai. Dikorek sampai tidak ada sisanya, bergulir bagai bola api dari satu sosok ke sosok lainnya.
Mungkin juga, itulah satu-satunya hiburan yang paling memuaskan bagi mereka. Menggunjingkan artis, teman sendiri, tetangga, bahkan keluarga mereka. Jika molekul atom itu berwujud konkret, maka bisa saja hal itu menjadi sasaran mereka selanjutnya.
“Buk, bukan mau ngomongin, lho, ya...”
Senin pagi yang teduh, ketika para suami sudah berangkat mengais rezeki. Para istri menyiapkan amunisi mereka masing-masing, ada pengumpan ada pula yang menangkap. Endang-lah yang pertama melempar umpan dengan gaya khas-nya. Bibir manyun-manyun sembari memilah-milih sayur mana yang layak ia beli.
Semua mata tertuju padanya, bahkan Juhairah yang pikirannya diawani ‘uang sekolah’ pun sedikit terusik oleh suara melengkingnya Endang. Mata Juhairah memincing, ia tak suka ritual pergosipan di Mang Dadang, tukang sayur langganan mereka di sana. Hari-hari biasanya ia datang lebih pagi untuk menghindari mereka semua, tetapi hari ini Juhairah harus pergi ke ATM—menarik uang untuk biaya UTS Narnia, maka membeli sayurnya pun jadi sedikit lebih telat dari biasanya.
Untungnya atasan Damar mau meminjamkan uang, walaupun bala bantuan itu datangnya di detik-detik terakhir. Sekarang pikiran Juhairah dipenuhi dengan ‘bagaimana cara membayarnya?’.
“Emang kenapa, sih, Buk Endang?” heran Imas yang umurnya lima tahun di bawah Endang, umur mereka sekitaran empat puluh sampai lima puluh tahun.
“Ih, ini saya juga tahu dari Buk Endah—” ragu-ragu Endang menatap rayu Endah yang mencoba tersenyum paksa, “betulkan? Kemarin Bu Endah cerita di rumah saya.”
Juhairah mengernyit, seleranya untuk mendengar semakin menipis.
“Soal Si Sarma?”
“…Sarma?” tanya Juhairah, agak penasaran. Pasalnya nama itu baru ia dengar. Biasanya nama yang sering muncul itu antara Dalila atau Layla.
Ada senyum merekah, sangat semringah dari Endang, Imas, Harum dan juga Endah. Seperti sebuah sekte yang mendapatkan member baru.
“Lanjut, Buk Endang...” kata Imas, matanya turun naik sambil memilih kentang-kentang.
“Iya, Si Sarma. Semalam saya sama Buk Endah enggak sengaja lihat dia bawa laki-laki ke rumahnya. Mana ditutup lagi pintunya,” cetus Endang, bersungut-sungut lebih antusias lagi, semua mengernyitkan dahi seraya bergidik jijik.
“Idih, semenjak orang tuanya sakit-sakitan, tuh bocah udah mulai kelihatan aslinya, ya,” timpal Harum. Akhirnya buka suara, ternyata walaupun dia daritadi diam, perempuan empat puluh dua tahun itu memperhatikan dengan sangat serius.
Endah mendapat umpan validasi. “Tuh, benerkan, semua orang setuju. Si Sarma jadi berubah sejak Abah sama Ambu-nya jatuh sakit, enggak ada yang mantau jadi liar gitu, ya...”
Semua mengangguk-ngangguk kecuali Juhairah.
“Ibu-ibu, jadi belinya enggak ini, tuh?” Mang Dadang agak jengkel.
“Ish Mang Dadang, jadilah, masa enggak! Baru ngobrol bentar aja udah rewel.” Endang menangkasnya langsung, “Ya, udah. Beli sayur asem, bumbu racik, sama ayam setengah kilo, deh.” Seluruh badan Endang mendadak ambruk, bukan secara harfiah.
Juhairah tertawa di dalam benaknya, satu-satunya tim yang berada dipihaknya hanyalah Mang Dadang—kenapa juga memasukkan pria ke rumah menjadi bahan gunjingan di belakang? Padahal bisa saja mereka menanyakannya langsung pada orang yang bersangkutan, kalau itu sanak saudaranya, kan, jatuhnya jadi fitnah.
“Berapa bayemnya, Mang?” tanya Juhairah.
“tiga ribu seiket, Buk Juha. Sama apalagi?”
“Ati ayam aja, Mang. Sekalian bumbu gilingnya, ya.” Juhairah tersenyum.
Ingin rasanya ia terbang dari situ sesegera mungkin, maka satu-satunya cara hanyalah dengan bergerak lebih cepat.
Setelah semua dilayani dengan sangat baik, mereka masih tetap saja nongkrong di situ, mungkin ingin melanjutkan gosip yang tadi atau malah tawar-menawar harga dagangan. Entahlah, yang jelas Juhairah sudah selesai.