Buah Bibir

Fey Mega
Chapter #3

Suara Terpenting

Hawa panas berputar di situ-situ saja sejak pertama Juhairah menginjakkan kakinya di aula gedung serbaguna desa. Ia tak pernah menyangka kalau rapat setengah penting ini diselenggarakan bagai acara-acara kepresidenan. 

Entah kedatangannya masih penting atau tidak, karena saat berlangsungnya diskusi yang tak dimengertinya itu, fokusnya teralihkan pada tiga manusia di seberangnya. Duduk berderet dengan tatapan yang mungkin sama saja dengannya.

Ia menebak-nebak. Selama sebulan terakhir, hanya mereka yang belum pernah ia temui.

Bahkan, Juhairah sudah berkenalan dengan Nenek Markonah yang tempe bacem buatannya nyaris sempurna, sedikit kurang masuk akal—jikalau nenek-nenek saja sudah ia kenali, tapi manusia-manusia yang mungkin seumurannya itu, tak pernah terlihat dalam pantauan radarnya. Padahal Juhairah sudah berusaha sekeras mungkin untuk berbaur dengan warga sekitar.

“Pak, Presiden saja masa periodenya cuma dua, bukan begitu?” Endang bersungut-sungut, matanya menatap teliti satu per satu warga di sekitarnya. Karena posisi duduk mereka melingkar, maka sulit bagi Juhairah untuk mangkir dari pengawasannya. Kaki Juhairah sudah kesemutan, ditambah dia tak mau terlibat jauh dengan birokrasi desa. 

Pak RT terlihat merenung, ada kecemasan di raut mukanya. “Iya, saya juga paham, Buk Endang. Tapi, selain saya, siapa yang pantas maju di desa Bojong Gede ini? Siapa?”

Suasana mendadak hening.

“Suami saya bisa, Pak,” tegas Endang, menyikut suaminya yang sejak tadi berada di sebelahnya. “Bang, berdiri sana!” desis Endang, setelah ia bangkit kembali dari duduknya. Secara bersamaan, tampak agak konyol, mereka berdua berdiri canggung seakan menghadang Pak RT yang di atas saku bajunya ada papan nama ‘Suryana’ tecantum dengan jelas. 

Ada nuansa yang cukup epik, pertarungan tatap-menatap. Juhairah akhirnya memalingkan fokusnya dari manusia-manusia asing di seberangnya ke pusat perhatian semua orang di sana. Uh-oh, kagetnya.

“Baiklah?” Pak Suryana, merapikan dasinya. “Pak Edi, suami Buk Endang, menjadi orang pertama yang mencalonkan diri menjadi Ketua RT periode selanjutnya, Ada yang keberatan?”

Pak Suryana memanas, dilihatnya satu per satu raut wajah warganya. Meskipun hanya perwakilan, tapi hati kecilnya terluka. Enam tahun sudah ia menjabat sebagai ketua RT, pekerjaan ini adalah pekerjaan yang berarti baginya, selain jualan sembako. Suryana seolah mendapat wangsit yang telah lama ia inginkan. Maka dari itu, ia kerap kali walaupun tanpa ada perintah berlagak bak pejabat kota dengan memakai seragam lengkap.

Juhairah menaikkan alisnya, ketika salah satu orang asing yang sejak tadi terdiam—beranjak lalu mendekati Endang beserta suaminya. 

“Selamat, ya. Karena calon selanjutnya...” Ditunjuknya wanita paruh baya di sebelah Endang, yaitu Endah. “...dia.”

Mata Endang melotot, terlebih merasa dikhianati. “Endah?”

Endah kelabakan, mulutnya tutup-buka tak keruan, suaminya memotong untuk menolong keterdesakannya. “Aku, ini semua keinginanku,” pria bertubuh kekar itu berdiri tegap. “Pak RT, izinkan saya untuk mencalonkan diri.”

Pak RT hanya manggut-manggut, sebelumnya mereka tak pernah se-antusias ini. Meski ada kejanggalan, terpaksa semua proses harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan pemerintah yang sudah ada.

Rapat yang penuh drama itu, ditutup tanpa rasa khidmat.

Juhairah mengasingkan diri, kakinya entah kenapa otomatis langsung mengarah ke pintu keluar. Orang-orang pun sudah keluar satu per satu. Juhairah melihat pemandangan yang tak biasa, karena manusia-manusia yang asing baginya tadi—sedang bersosialisasi dengan Endah dan suaminya, dan ada juga Harum di sana, melambai-lambaikan tangan padanya.

Juhairah hanya ingin pulang dan membaca buku konspirasi yang paling tebal!

“Buk Juha! Sini!” panggil Harum.

Oh, tidak. “Saya buru-buru, maaf...” Juhairah tersenyum tipis, kerut di dahinya tak bisa disembunyikan sama sekali. 

“Sebentar, Buk,” tawar suami Endah. 

Sebab tak enak, akhirnya Juhairah menyerah saja. Dihampirinya kumpulan manusia tersebut, mereka berdiri di tengah teriknya siang bolong Bojong Gede. 

“Kenalin, ini Buk Dalila, anaknya juga seumuran Buk Juha, lho,” utas Endah.

Dalila, single mom yang selalu mereka bicarakan kegenitannya itu? Cantik sih, pantas.

“Helo, Buk Juha!” Dalila tersenyum sangat semringah. Sehingga Juhairah ikut tersenyum dibuatnya, ada empati yang mulai terketuk. Bagaimana bisa, orang seramah ini diisukan punya hubungan dengan Pak RT yang aneh itu? Mustahil adanya, tapi tak ada yang mustahil juga, sih, di dunia ini, entahlah.

Lihat selengkapnya