Mari kita geser sebentar kisah pertempuran batin dan akal Juhairah Labibah, pada kisah Dalila Haniya sang kembang desa Bojong Gede.
Dulu, ketika ia lahir di akhir tahun 1994, orang tuanya menyelinapkan doa-doa di dalam nama anaknya tersebut—mereka ingin kalau Dalila Haniya tumbuh menjelma bagaikan gadis lemah lembut yang menjadi hadiah terindah bagi siapa saja yang memilih untuk menyayanginya. Ketika dewasa, ia memang tumbuh menjadi hadiah—tetapi bagi para lelaki hidung belang yang perilakunya begajulan.
Agar lebih jelas mengenalnya, mari kita runutkan kisahnya dari mulai ia remaja—pertama, selepas kelulusan sekolah menengah akhir, Dalila muda sudah harus menikah lantaran bunting duluan. Oh, laksana beauty and the beast, ia dipersunting oleh remaja paling nakal di sekolahannya, alasannya sederhana—katanya Dalila sangat menyukai laki-laki sangar.
Kedua, berkat seleranya yang aneh tersebut, ia terpaksa bercerai setelah dua tahun pernikahannya tersebut, sebab laki-laki sangar pilihannya itu menganggur dan sering mabuk-mabukkan.
Ketiga, di umur belia, Dalila harus menanggung perihnya perceraian dan juga merananya ditinggalkan anaknya karena penyakit gizi buruk.
Untungnya Dalila bukanlah wanita yang gampang menyerah, perjalanan cintanya tidak berhenti sampai di situ—banyak laki-laki yang ingin menikahinya, tapi sayangnya mereka memiliki watak yang sama persis dengan mantan suami sebelumnya, yaitu begajulan tak ada juntrungannya.
Nasib masih memberinya rasa manis, sebab selang beberapa tahun dari situ Dalila menemukan ‘the chosen one’ versinya, mereka pun menikah dan dikarunia anak cantik yang sampai sekarang masih setia menemaninya.
Jagat raya selalu bisa menyeimbangkan langkahnya, maka ketika kebahagiaan mulai menembus kehidupan Dalila, Abdul sang suami dan juga Mawar anaknya—diberi kepedihan sekali lagi, kali ini bukan karena perceraian, melainkan kematian orang tersayang Dalila untuk yang kedua kalinya—setelah kematian anak pertamanya, kali ini suami terbaiknya mati kena serangan jantung saat ia bekerja sebagai Cleaning Service di Cibinong Mall.
“Mah, kalau Mawar ikutan cari uang gimana?” gadis berambut Dora dengan alis tebalnya itu mengusulkan ide, sambil menyeruput es kelapanya.
“Bukan ide bagus, Sayangku.”
Mawar merengus. “Tapi kita butuh uang, Mah,” rengeknya, mencoba meyakinkan lagi.
Es kelapa yang dibeli seharga lima ribu rupiah, ditaruh di mangkuk bermotif ayam jago, masing-masing dari mereka memegang sendok selagi menyerok es kelapanya secara bergantian.
“Darimana datangnya usulan dan kesimpulan kalau kita sebutuh itu sama uang, War?” Dalila membiarkan sendoknya bersandar pada sisi-sisi mangkuk, sedangkan tangannya meraih kepala Mawar, mengusap rambutnya perlahan—alisnya sedikit terangkat.
Mawar mendesah. “Beberapa hari yang lalu, aku denger ibu-ibu ngomongin keuangan kita di depan rumah Buk Imas—”
“Terus?” Dalila bertanya hati-hati.
“Pas aku lewat mereka bisik-bisik, tapi masih kedengeran.”
Dalila kemudian berpindah ke sebelah Mawar, merangkulnya. “Enggak usah diladenin, Sayang. Mereka belum tentu benar, kan?”
“Tapi mereka tahu kalau Mawar nunggak SPP dua bulan, Mah.”
Dalila sedikit terperanjat. “Nanti pasti dibayar, ini Mamah lagi usaha. Mawar masih sembilan tahun, masih SD—topik obrolannya enggak usah seberat ini dulu.”
Lalu hening.
Mawar tiba-tiba berseri-seri. “Aku suka banget sama Narnia.” Terkadang kedewasaan dan pemahaman seseorang tidak dapat diukur dari usianya, melainkan sebagaimana peran orang-orang terdekatnya bersikap, manusia bisa dibentuk sedini mungkin—sementara Mawar memang sudah terbukti memiliki kecerdasan di atas rata-rata untuk anak seumurannya. Berbeda dengan ibunya, otak dan paras Mawar lebih condong mirip ke ayahnya, mungkin itulah kenapa Dalila sangat sukar untuk merelakan Abdul.
“Mamah juga suka, karena akhirnya Mawar punya teman.”
“Teman.” Wajah Mawar semakin berseri-seri. “Oh, iya. Besok tanggal merah. Mamah libur, kan? Jangan bilang—”
Dengan sekejap, Dalila beranjak kemudian berlari kecil keluar. Pasalnya ibu muda itu hendak mengangkat jemuran, karena cuaca sudah mulai gerimis. “Bantuin dulu, War!” teriaknya dengan tangan yang kerepotan.
Mawar terseok-seok mendatangi Dalila, meraih pakaiannya untuk disimpan di keranjang yang berada di dalam kamar. Walau dengan aktivitas tersebut, pikiran Mawar maupun Dalila masih terhenti di pertanyaan terakhir barusan. Sesuatu yang selalu menggantung dan insting seorang ibu mengatakan kalau penolakan berulang kali akan membuat luka dihati anaknya sulit sembuh.
Lantas mengapa mereka selalu membiarkan pertanyaan menyakitkan terjawab otomatis oleh sebuah kediaman, Mawar mulai membenci hal tersebut dan Dalila sangat mengetahuinya, bahkan sekarang ia mulai memaklumi ketidaksukaan Mawar perihal ketersediaan waktunya untuk keluarga.
Dalila single mom atau single fighter. Meski hanya bekerja sebagai tiketing di travel kecil dengan gaji UMR, ditambah dia juga harus mengirimi orang tuanya yang tinggal di Depok sejumlah uang untuk menyambung keuangan minim mereka.