Buah Bibir

Fey Mega
Chapter #5

Tahta Tertinggi Komunikasi

Juhairah lumayan perfeksionis, bahkan dalam hal masak-memasak. Ia tak pernah mempercayakan job desk rumah tangganya yang satu itu di kerjakan oleh orang lain, misalnya saja membeli makanan siap saji, makanan warteg atau lebih ekstremnya; makanan frozen food.

Maka, selama sebulan ini bisa diperkirakan dia sama sekali tak pernah tahu ada toko frozen food yang dimiliki Layla. Sebuah kesempurnaan tak pernah abadi, Juhairah selalu menyadari hal itu. Bukan karena ia sok jago, tetapi Juhairah merasa dapur adalah kuasa terakhir yang tersisa darinya. Wanita tiga puluh tahun itu suka sekali mencurahkan segalanya ketika memasak. Baginya semua itu ialah karya seni.

Setelah kemarin berlaga pahlawan di depan Dalila, ia langsung jatuh sakit. Kehujanan karena lupa meminjam payung dan malah ngobrol ngalor-ngidul. Damar berpesan padanya agar berdiam di rumah dan tak melakukan apapun. Namun, bukanlah Juhairah namanya kalau nasihat suaminya untuk beristirahat itu ia turuti. Maka ketika Damar pamit untuk bekerja, Juhairah memutuskan untuk membeli sesuatu agar bisa dimakan.

“Bun, kata Papah jangan kemana-mana, kan, tadi?” Narnia keheranan. 

Bahkan Damar menyuruh anaknya itu untuk menemani Juhairah dan bolos sekolah. Mulut Narnia masih asyik mengunyah puding cokelatnya dengan penuh kenikmatan.

Juhairah menaikkan pundaknya. “Dapur tetap harus mengepul...”

“Gimana kalau makan frozen food?”

“Kurang sehat, jatah makan junk food dan frozen food kita hanya satu bulan sekali, mungkin bulan depan lagi, ya, Nak.”

Narnia sedikit kecewa. “Tapi masak itu lebih sederhana. Bunda lagi sakit, kan?”

Juhairah sedikit luluh, mungkin juga karena badannya semakin nge-drop. Juhairah kerap kali merasa minder dengan kecerdasan bocah-bocah generasi Z, generasi Alpha atau generasi seterusnya, hampir kebanyakan dari mereka mempunyai kecerdasan yang lumayan sistematis—terutama contoh langsung yang ditunjukkan anak semata wayangnya yang berusia sembilan tahunan itu.

Pada akhirnya, Juhairah menyerah. Sulit sekali baginya untuk mengakui kebenaran anaknya, mungkin sikap tersebut terbentuk secara turun-temurun di dalam keluarganya. Wanita di awal umur tiga puluh tahunannya itu bermuka pucat, matanya berair, hidungnya tersumbat. Langkahnya saat mengikuti Narnia cukup gontai. Energi anaknya itu meluap-luap, secara sekilas Juhairah menangkap sebuah catatan kecil yang terlipat dalam genggaman kecil anaknya. Berdehamlah dia, menyiapkan kata-kata yang tak terlalu menyinggung. “Dek, itu apa yang ada di tangan?”

Juhairah menatap muka Narnia yang secara sekejap saja langsung berubah agak tersipu malu-malu, semakin curigalah ia dibuatnya. “Dek?”

“Anu...”

Langkah mereka terhenti di tengah-tengah perkebunan pohon pisang, tak jauh dari rumah mereka. Juhairah mendesah, tak menyangka kalau dirinya sudah masuk ke dalam plot rencana apapun itu yang dibuat Narnia agar ia pergi ke toko Frozen Food ini.

“Jujur aja, enggak akan dimarahin kok.”

Narnia tertunduk sebentar, kemudian kedua tangan yang sejak tadi berada di belakang badannya mulai berpindah ke arah sebaliknya. Benar saja, ada sebuah kertas merah muda yang terlipat sempurna di genggamannya. “Ini surat, Bun.”

“Apa anak toko Frozen Food itu temen sekolah kamu?”

Narnia menggeleng. “Bunda enggak bakal ngerti.”

Oh, sungguh memilukan. Masa muda Juhairah semakin terasa jauh sesaat kalimat itu terlontar di bibir Narnia. Dia pernah mengalami semua itu, Juhairah juga pernah muda dan tentunya ia belum sekaku sekarang. “Bunda kira surat-menyurat udah enggak laku lagi di era sekarang. Lagipula kamu masih SD, enggak usah aneh-aneh,” tegas Juhairah yang kemudian berlalu meninggalkan Narnia yang tak bergeming.

Juhairah menoleh ke belakang, ada kegelian sekaligus sedih saat menyadari kalau anaknya sudah bukan anak-anak lagi. “Cepat, Narnia!” teriaknya dan berjalan semakin cepat.

Ya, karena merasa malu. Akhirnya Narnia berlari mengejar ketertinggalannya dengan menginjak surat sederhana yang isinya ‘Kak Galih, Narnia kagum’—sangat sederhana, sangat singkat. Kalimat yang memancarkan keluguan anak kecil yang baru mengenal kata kagum.

“Ini tempatnya?”

“Iya, Bun. Narnia pengin sosis, ya?” rajuknya.

Juhairah mengabaikan rajukan itu, lalu masuk ke dalam toko atau lebih tepatnya rumah yang disulap menjadi toko yang cukup kecil itu, tanpa aba-aba. “Permisi!” 

“Selamat datang di toko Frozen Food Layla Bahroni, semua yang Anda butuhkan perihal makanan beku, akan kami bantu.” 

Oh, amboi!

Betapa kagetnya Juhairah saat suara berat menyapanya di ambang pintu. Refleks Juhairah langsung memukul wajah sosok itu dengan cukup keras sampai orangnya tersungkur ke belakang.

“Kak Galih!” Narnia memekik. Dibantunya sosok itu berdiri, untungnya teriakan Narnia menyadarkan kebingungan Juhairah yang kemudian meminta maaf yang dicampur rasa malu.

“Hal kaya gini sudah biasa terjadi kok, tenang saja, Buk.” Galih menyunggingkan senyum ciri khasnya, sehingga gingsul yang semula bersembunyi secara otomatis terpamerkan dengan bangga. “Oh, jadi ini ibunya Narnia, ya?”

Juhairah memang memiliki tingkat empati yang cukup tipis, baginya setelah maafnya diterima, ia harus melanjutkan kehidupan ke menit selanjutnya. “Ada karage yang pedas enggak, ya?”

Galih kelimpungan, baru kali ini ada mamah muda yang mengabaikan kharismanya. Biasanya, orang-orang di sekitarnya menjadikannya pusat perhatian karena rupa dan cara bicaranya yang indah. 

Bisa dipastikan kalau Narnia hanya fokus tersenyum dan manahan salah tingkahnya. Kisah cinta belia, terlalu belia sehingga kebanyakan orang menganggapnya cinta monyet. Fenomena yang sudah berlangsung cukup lama, bisa dipastikan media sosial-lah yang mempercepat prosesnya.

Juhairah sedang fokus melihat-lihat, Galih fokus menjelaskan dan Narnia fokus pada Galih yang sedang menjelaskan.

Terdengarlah sebuah tawa yang bersautan, kemudian langkah kaki mengiringinya.

“Gimana? Mawar suka enggak gaunnya?” tanya Layla, antusias. Layla, Mawar dan Dalila muncul dibalik tirai penyekat ruangan.

Terlihat betapa senangnya Mawar karena gaun Elsa Frozen yang dikenakannya. “Suka banget! Makasih, ya, Tante Idah!” Layla merangkul Mawar, sembari tersenyum tulus pada Dalila yang berada di ambang tangis harunya.

“Dalila?”

Lihat selengkapnya