Hari pemilihan RT semakin dekat, masyarakat di Bojong Gede sudah mulai terpolarisasi. Ada kubu Endang dan suami, ada kubu Endah dan suami, ada yang masih setia yaitu kubu Pak RT Suryana 3 periode dan sudah bisa ditebak kalau kaum remaja yang lajang dan baru punya KTP berada di kubu golongan putih yang biasa disingkat menjadi Golput—mereka tak mau kerepotan memikirkan intrik-intrik kampungan yang dilayangkan para orang dewasa. Malahan kubu kaum remaja, terlihat lebih santai dan berkutat dengan permasalahan yang ada di media sosial saja, lebih cenderung berani di medsos ketimbang berkontribusi di intrik dunia nyata.
Dalila, Layla dan Sarma. Memutuskan untuk masuk ke golongan putih, sehingga jiwa mereka termudakan. Mamah-mamah muda yang kerap berkumpul di bale-bale yang terletak di halaman toko Layla. Mereka bertiga memandang langit, sembari curhat. Kegiatan yang setiap sore mereka lakukan, kalau sedang tidak sibuk.
Sementara Galih, berlatih membaca puisi di depan anak-anak SD. Sesekali memalingkan pandangannya ke luar jendela, manatap nanar sang pemilik puisi kemudian kembali ke karya-karyanya lagi. Begitu terus sejak tadi.
“Mawar mau ikut olimpiade matematika, dia mirip Ayahnya banget,” Dalila bercerita dengan kebanggaan yang tersirat gamblang.
“Selamat, ya. Untung Mawar mirip Abdul. Seenggaknya IQ anakmu bakal menyelamatkan kalian.” Sarma enteng saja, rambutnya di ikat, gayanya pun slengean.
Dalila mencubit tangan Sarma. “Setidaknya aku cantik.”
“Itu saja?” goda Sarma.
“Iya, itu saja. Aku bakal memeluk hal satu-satunya itu sampai mati. Tua pun enggak bakal menghalangiku!” Dalila menamparnya dengan balasan yang tak kalah nyeleneh. Candaan macam itu sudahlah lumrah di antara pertemanan mereka, walau masih ada beberapa yang menyakitkan, tapi karena rasa sayanglah semua itu tertolerir. “Terus apa yang bakal kamu peluk dong? Selain sawah sama ayam-ayam jelekmu itu?”
“Sialan,” rutuk Sarma, merasa kalah.
“Selamat, Ila...” lirih Layla, kemudian suasana sedikit berkabut seiring suara serak Layla terucap. Senyuman tipis menaungi mereka semua, kali ini ketiganya memandangi kembali langit-langit. “Kapan takdir membawa kebahagiaan buat kita, ya?”
“Kurang bahagia apa sih kita?” Sarma mulai tersinggung, kepalanya menoleh pada Layla yang kerudungnya tersibak angin—bak model video klip. “Setidaknya kita selalu menghindari masalah yang ada di desa ini, apalagi musim pemilihan RT makin dekat.”
Layla tersedak tawanya sendiri. “Kita udah saling tahu kesedihan masing-masing, menurut kamu, Ma. Apa benar kita yang menghindar dari mereka atau kita yang terasing sih? Coba renungkan.”
“Kita eksklusif.” Dalila mulai serius.
“Nah! Itu kata yang tepat.” Kemudian Dalila dan Sarma tos—gembira sekaligus merasa menang.
Untuk wanita di akhir dua puluh dan awal tiga puluhan, sikap mereka cukup terbuka. Menurut mereka, umur bukanlah penghalang untuk menikmati hidup, apalagi pertemanan mereka yang sudah terjalin sejak kecil.
“Oke, terserah. Coba pikir deh, kamu Sarma—masih lajang di usia tiga puluh dua dengan orang tua yang sakit, ditambah harus ngurus ladang dan ayam-ayam, tiap hari bau tai ayam.”
“Hei! Jangan kelewatan!” Sarma jengkel.