Buah Bibir

Fey Mega
Chapter #7

Birokrasi Membelenggu

Semenjak kejadian yang menimpanya perihal Narnia, Juhairah malas untuk menjalin atau membuat relasi di desa ini. Sudah dua hari, dia lebih memilih untuk bermeditasi di sangkarnya. Bahkan, dia tak mengeluarkan banyak kata-kata kepada suami dan anaknya. Hanya sekadar komunikasi dasar saja.

Ia trauma, terkejut, khawatir—lebih-lebih Juhairah tak bisa menerka perasaan yang lainnya, semua berputar terus lalu berbenturan satu sama lain. Semua itu mengakar sehingga menggerogoti perutnya hingga mual, pikirannya dipenuhi prasangka. Di umur tiga puluh tahun, ia dihadiahi keremajaan anak perempuannya—rasanya Juhairah belum siap berada di fase itu.

Tatkala liburan tiba, Damar menyibukkan dirinya bersama burung-burung peliharaannya, hobi baru suaminya yang cukup membuat Juhairah jengah. Sementara Narnia sedang dikamarnya—mengerjakan PR seperti biasanya.

Juhairah menatap Pegasus, kuda putih itu semakin kekar—cahayanya mampu membuat perempuan berambut ikal, bermata bulat, dan kulit kecokelatan itu terjaga dari kelimpungannya. Diseruputnya kopi hitam di atas nampan, tapi ia menyemburkan kembali kopinya—bukan karena pahit, melainkan masih panas-panasnya.

“Kopi seenak apapun kalau diminum selagi panas akan membuat lidahmu kebas, Juhairah,” Pegasus berkata sembari menyibakkan jambulnya. “Ingat, sama halnya dengan masalah yang ada di dunia manusia, diamkan sampai mereda dulu, baru setelahnya kamu bisa mencari solusinya dengan hati yang tenang dan akal yang benar-benar waras.”

Pegasus selalu mengakhiri kalimatnya dengan ringkikan, ciri khas seekor kuda. Itu juga menandakan betapa seriusnya masalah ini, ketakutannya terhadap diskriminasi perempuan yang dialaminya semasa hidup akan dialami jua oleh Narnia, menjadikan senjata mematikan yang justru membuat hubungan anak dan ibu bisa merenggang.

 Juhairah menatap kopi yang telah ia semburkan tadi. “Mungkin aku sudah terlanjur menyemburkan hal yang kurang tepat.”

“Mungkin kamu juga bisa mengepel lantainya?”

Gotcha, momen menemukan titik temu.

“Buk Juha, sini mampir!” saut Nenek Markonah dari seberang. Rumahnya tepat berada di seberang rumah Juhairah, sehingga ketika Juhairah sedang duduk di bangku teras, Nenek Markonah selalu meracau tak keruan padanya. “Sini!” lalu rayuan nenek itu mulai terdengar agak memaksa.

Karena takut durhaka, akhirnya ia luluh juga. Tak lupa untuk menutup pintu rumahnya, sekelebat Juhairah mengecek keadaan Narnia dari jendela kamar yang mengarah ke jalanan, kemudian pada suaminya yang berada di kebun sebelah rumah mereka—aman.

Saat tiba di teras Nenek Markonah, wanita tua tersebut langsung memberikan sebuah rantang. “Kata Pak Damar, sudah dua hari Ibu sakit? Pantas enggak pernah kelihatan, ini ada sedikit makanan. Kakek Muhlis berpesan kalau tetangga baru juga harus dapat jatah.” Ketika senyum Nenek Markonah terlempar cuma-cuma, di saat itu juga Juhairah memutuskan untuk menarik kata-katanya selama dua hari ke belakang, ia akan tetap bertetangga dengan baik dengan siapapun tanpa terkecuali.

“Makasih banyak, Nek. Kalau butuh apa-apa hubungin kita saja, teriak juga enggak apa-apa.” Diterimalah rantang tersebut, kebetulan sudah dua hari ini dia tidak memasak, ternyata tanpa sadar satu per satu prinsipnya soal hidup sudah mulai tergugurkan semenjak tinggal di desa ini. Juhairah menatap penampilan Nenek Markonah, sepertinya perempuan tua itu hendak pergi. “Mau ke mana, Nek? Sudah rapi begitu.”

“Ke balai desa.”

“Untuk?”

“Pembagian sembako, Buk Juha ikut saja. Lumayan toh kalau ada yang gratis begini.” Nenek Markonah berbicara sambil memakai sendalnya, berpamitan dengan suaminya yang sedang beristirahat sebelum berangkat bekerja di taksi online.

“Pamit, Kek Muhlis,” sopan Juhairah.

Setelah berpamitan singkat pada anak dan suaminya, kemudian menaruh makanan pemberian tetangga lansianya di piring. Juhairah tak lupa menuliskan notes ‘makanan ada di balik tudung saji’ lalu ditempelkannya kata-kata tersebut di pintu kulkas.

Sesungguhnya Juhairah masih malas untuk bertemu manusia lainnya, tetapi ajakan Nenek Markonah sudah bukan persuasif lagi, lebih mengarah ke ancaman.

“Kalau enggak ikut disangkanya Buk Juha enggak menghargai pengurus RT, lho.” Dan ancaman lain dan ancaman lain, padahal Juhairah hanya mengangguk-ngangguk dan melangkahkan kakinya secara berat hati. Sepertinya wanita tua ini hanya butuh ditemani saja.

It’s okay! Enggak ada ruginya juga, benaknya.

Jarak antara rumah mereka dengan balai desanya itu cukup jauh juga, banyak rumah dan bangunan yang harus dilalui. Dapat dipastikan kalau suasana gang sedang sepi, semuanya bermuara di balai desa.

“Maling!” suara renta Nenek Markonah melengking, agak sumbang.

Refleks Juhairah lumayan akurat, sebab ketika matanya melotot dan hatinya berdegup dengan ritme yang sangat cepat—ia meninggalkan Nenek Markonah dan berlari semampunya. Kejar-mengejar, kaki sang maling dan Juhairah tak terhentikan.

“Berhenti kau maling!” 

“Enggak bisa!” jawab sang maling.

“Berhenti, saya lelah!”

“Saya belum lelah!” 

Dan kejar-kejaran tersebut berlanjut, melewati jembatan, melewati kali, melewati rumah Dalila, Sarma, dan banyak lagi. Rasanya Juhairah dan sang maling sedang berada di sirkuit olimpiade lari cepat. Juhairah berjiwa kompetitif, maka saat sang maling lengah—ia menarik rambut gondrongnya. 

Mereka berdua ambruk, menabrak meja penuh sembako.

Semua mata tertuju pada keduanya, segala perasaan membuncah. Bagaimana tidak, mereka sedang asyik mengantre dan berebut. Tiba-tiba dilayangkan dua tubuh secara kasar dari langit, bukan dalam artian harfiah.

“Tertangkap kamu, maling!”

Lihat selengkapnya