Buah Bibir

Fey Mega
Chapter #8

Prahara Sebuah Kidung

Tak terasa kita sudah sampai pada sudut pandang kisah Layla Hamidah. Sang pemerhati di antara lautan topeng manusia-manusia yang pernah ia temui selama hidupnya. Meski hidup yang Layla jalani masih belum terlalu panjang jikalau dibandingkan dengan lansia-lansia yang berada di Bojong Gede, tapi pengalaman yang sudah ia lewati tak kalah hebat.

“Seratus ribu... Seratus lima puluh ribu... Seratus tujuh puluh lima ribu...” Wanita berkerudung gamis dengan kacamata yang hampir menutupi sebagian air mukanya itu, mengerutkan kening. Malam itu, dia sama sekali tak bisa mengumpulkan pikirannya yang berkeliaran entah ke mana.

Bahroni terkikik sedikit. “Mau sampai kapan sih kamu bolak-balik ngitung uangnya? Padahal ada Galih tuh di kamarnya, suruh dia aja yang buat laporan hari ini.” Mata suami Layla yang bertubuh gempal itu masih tertuju pada layar HP.

Layla mendesah, kerutan di keningnya semakin tampak jelas. “Ah, kasihan. Galih lagi fokus belajar.” Padahal jauh di dalam hatinya, Layla tahu kalau Galih sedang susah payah membuat puisi, entah untuk tujuan apa dan itu masih menjadi misteri bagi Layla.

Akhirnya ia menyerah, disimpannya buku laporan keuangan toko beserta uang kasnya di dalam lemari pakaiannya. 

Bahroni pun tersenyum cukup lega, istrinya terkadang suka memikul beban seorang diri. Padahal meminta bantuan bukan sesuatu yang memalukan untuk dilakukan, terlebih terhadap suami sendiri. “Lay, besok pagi kita ke makam bapak. Nanti mamah nunggu di sana langsung. Kebetulan aku sudah ambil cuti.”

Layla mengangguk ragu. “Mereka orang tuaku, Bang.” Jawaban itu terlontar begitu saja, bersamaan dengan langkah kaki yang mengantarkannya ke ambang pintu kamar.

Bahroni mengembuskan napas, raut wajahnya tak dapat diterka. “Iya, secara otomatis mereka orang tuaku juga, kita sudah menikah, Lay. Aku ingetin, takutnya kamu tiba-tiba amnesia.”

Layla mengangguk. “Aneh aja, padahal HP-ku selalu aktif...”

Dan Bahroni tertegun, sebab Layla sering salah paham. Atensinya bahkan suka berubah-ubah secara drastis. Terkadang hubungan mereka seperti dua orang yang sedang berlari dengan kecepatan yang tak berirama. Suatu hari Layla berlari cepat sedangkan Bahroni lari santai, hari berikutnya Bahroni hendak mengejar ketertinggalan sedangkan Layla memutuskan untuk beristirahat.

Maka bisa disimpulkan kalau fase pernikahan mereka masih dalam tahap adaptasi. Namun proses adaptasi tersebut menjadi lambat lantaran kesibukan masing-masing. Di awal-awal pernikahan, mereka sangat harmonis. Sebelum keluarga dari pihak Bahroni menekan kejiwaan Layla, mereka semua secara konstan selalu menagih lahirnya seorang buah hati.

Tahun pertama Layla masih menjawab sopan dengan senyuman.

Tahun kedua Layla mulai risih diberantai pertanyaan-pertanyaan dengan nada serupa.

Dan ditahun ketiga, tahun 2022 atau yang sedang mereka jalani sekarang ini, Layla sudah mulai bodo amat dan menjawab seada-adanya semua desakan mereka.

Karena hal itulah Layla mengerti bahwa menjadi wanita di situasi seperti yang dialaminya sekarang ini adalah sebuah mimpi buruk yang bahkan tak pernah di anggap serius oleh kebanyakan orang. Layla tak mau membahas isu sensitif itu kecuali dengan sahabat-sahabatnya.

Dibukanya pintu kamar Galih setelah mengetuknya pelan. “Lih...”

Pria muda nan manis itu mendongak dari meja belajarnya. “Iya?”

Lihat selengkapnya