Buah Bibir

Fey Mega
Chapter #9

Yang Datang dan Meninggalkan

Bapak Layla dimakamkan tak jauh dari tempat tinggalnya, dulu rumah itu memang peninggalan ayahanda pihak Layla. Namun, berhubung ibunya menikah lagi dan pindah ke Depok. Layla akhirnya berusaha untuk membeli rumah itu dengan mengangsurnya—walau semua keluarganya hijrah ke Depok dan meninggalkannya sendiri bersama kenangan-kenangan masa lalunya. 

Pagi itu Bojong gede sedang gerimis, tanah pemakaman pun berubah menjadi tanah merah penuh lumpur-lumpur dengan segala binatang melata yang menggeliat. Layla memutuskan untuk berpakaian serba hitam, bahkan payungnya ikut hitam. 

Setelah doa-doa terpanjatkan, mamah Layla yang sejak tadi membisu mulai berusaha mencairkan suasana. “Lay, kapan mampir ke Depok? Semuanya udah nungguin kamu, lho.” Layla merasakan sepasang mata yang menyorotinya, tapi ia mengabaikan tatapan itu dan terus melanjutkan ritual menaburkan bunga beserta air doa.

Bahroni yang merasa tak enak hati pun mewakilkan Layla untuk menjawab pertanyaan itu. “Mungkin lebaran tahun ini, Mah. Kita usahain.”

“Benar, Lay?” tanya Mamah Layla.

Hal itu membuat Layla mendongak dari keseriusannya, matanya mulai memerah. Menahan semuanya untuk meluap memang pekerjaan sulit dan cukup melelahkan. 

Kemudian Layla berdiri, matanya masih menatap tajam sosok wanita setengah baya di depannya. Ia mengangguk pelan ketika mata mereka bertemu. Wanita tua dengan setelan bak ABG di depannya memberikan senyum simpul. Sedikit senang oleh perkembangan hubungan mereka, yang sebelumnya bahkan lebih buruk dari ini.

Lalu, mereka semua berdiri sebelum memberikan sorotan mata haru untuk terakhir kalinya dan meninggalkan tempat itu lalu menuju ke kendaraan masing-masing. Layla menoleh sebentar ke arah mobil Avanza milik bapak tirinya yang sedang asyik pada telepon genggamnya. Ketika sosok di dalam mobil hendak menatap Layla balik, ia buru-buru memalingkan wajah. 

Mamahnya mendekat sebelum ia masuk mobil. “Lay, jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi kita yang ada di Depok.”

“Kenapa?”

Hanya itu, setelah hampir satu jam mereka dipertemukan lagi—Layla baru membuka suaranya.

“Maksudnya?” Mamahnya bingung.

“Kenapa selalu berpura-pura peduli? Jangan terlalu berusaha keras untuk memperbaiki sesuatu yang kamu tak tahu rusaknya di bagian mana.” Setelah kalimat ambigunya itu, Layla langsung bergegas menaiki motor, terlihat Bahroni sudah stand by dengan raut muka yang penuh rasa heran. 

Sebelum pamit, Bahroni sempat ngobrol sebentar dengan bapak tirinya. Walau sudah susah payah mencoba merukunkan kembali hubungan Layla dan keluarganya—sampai saat ini keinginan itu masih belum tercapai.

“Jalan, Bang,” sontak Layla.

“Tapi, kamu belum salim sama Bapak.”

Lihat selengkapnya