Di dalam sebuah ruangan berwarna putih dengan lampu yang cukup terang menyoroti beberapa muda dan mudi di balai desa Bojong Gede, terlihat sebuah papan hitam dengan coretan kapur sudah menghiasi atasnya—debu kapurnya bahkan melayang kesana-kemari tertiup angin semilir yang tak sengaja lewat.
12 anak unggulan di desa itu sedang serius mendiskusikan sesuatu. Sebuah mahakarya yang setiap tahun dirancang begitu pelik sehingga setiap menyelesaikannya, rasanya bagai memenangkan misi di medan perang.
Galih terduduk serius di kursi plastik berwarna hijau, kaki yang satu di atas kaki yang lainnya bak kasanova—kepalanya sedikit terangkat dengan satu tangan di dagunya, seraya menyimak apa yang Retno jelaskan di papan tulis.
“Hari ini cukup segitu aja dulu, ada yang mau ditanyain?”
Hening.
Sakti mengangkat tangannya tinggi-tinggi, Galih tak bergeming dan hanya menggerakkan sedikit ujung matanya. Pria manis itu masih muak melihat sikap Sakti yang seolah tidak terjadi apa-apa, apalagi mengharapkan permintaan maaf—toh Sakti selalu merasa kekuasaan orang tuanya di kawasan ini bisa membuatnya lepas dari tanggung jawab.
Retno menyimpan kapur ditangannya, badannya sedikit condong ke depan, seperti siap untuk menjawab apapun pertanyaan yang akan dilayangkan Sakti padanya.
“Pulangnya mau bareng enggak?”
Dan suasana balai desa pun langsung riuh oleh teriakan serta siulan dari anggota karang taruna yang lain. Oh, betapa memuakkannya kalimat itu bagi Galih, sehingga tangannya yang tadinya di dagu pun langsung bersedekap—sorot matanya tajam, sedetik ia merasa Retno menatapnya linglung, sebelum wanita cantik itu mengangguk canggung ke arah Sakti.
Rapat kali itu pun berakhir begitu saja. Dan menurut Galih, diskusi kali ini berujung tanpa kesepakatan apapun, boro-boro menemui hasil mengenai hajat besar pemilihan RT, atau lomba 17 agustus dan panggung—yang tadi dibahas baru sebatas jabatan serta apa yang akan dikerjakan. Rancangan sama saja dengan wacana, kalau belum terlaksana. Galih itu praktikal, dirinya membenci teori tanpa perhitungan yang jelas.
“Lih, enggak panas emang lihat Retno dibonceng sama Sakti begitu?” Danar, salah satu temannya berbisik, mereka berdua menatap bayangan Sakti dan Retno yang lambat-laun mulai menjauh.
Sebuah ratapan di raut mukanya berusaha Galih rahasiakan. Lalu ia menyeringai, tertawa meledek. “Buat apa panas, Nar? Malah miris enggak sih, masa cuma beberapa meter dari rumah aja harus pakai motor?”
Raut wajah Danar semakin meledek. “Coba nanti stalk tiktok Retno deh, pasti dia update lagi naik motor sama Sakti, akhir-akhir ini, tuh anak ngelihatin banget kalau doyan cowok tajir macem gitu.”
“Macem mana? Enggak usah fitnah. Mereka, kan, emang sobatan dari kecil.”
Danar menyikut Galih. “Masih aja dibela. Udah ah, aku duluan, ya. Bye!”
Pemuda berjerawat dengan rambut cepak itu pun pamit, di susul dengan pamitan beberapa anggota karang taruna yang lainnya. Galih memandang langit sebentar, ia membayangkan dirinya berada di dalam sebuah film cinta segitiga yang tragis semacam ‘Tenggelamnya Kapal Van der Wijck’ dan tentu saja dia yang menjadi Zainuddin.
Tiba-tiba saja ada yang memukul cukup keras punggungnya, sehingga keseimbangan tubuhnya bergoyang sedikit ke depan, Galih terpekik kemudian berusaha menegakkan tubuhnya. “Sial,” gumamnya, lumayan kesal. Lalu membalikkan badan, dilihatnya Laras dengan senyuman merekah, tangannya membentuk ‘peace sign’ tanda perdamaian.
Galih mengembuskan napas, tak menghiraukan gangguan kecil barusan. Dan berjalan pulang seolah-olah kejadian tadi tak pernah benar-benar ada. Sementara Laras dengan kaki pendeknya, berusaha menyeimbangkan jalannya.
“Lih,” lirihnya.
“Hm.”