Ada banyak sekali pilihan yang diperlihatkan cukup jelas oleh Sang Pencipta pada Juhairah, di saat itu juga. Namun, bukan malah mempertimbangkannya baik-baik, otaknya malah sibuk berpikir. Sehingga ketika orang lain yang tidak terlibat dalam proses berpikir itu akan menganggapnya sedang melamun.
Tawa.
Obrolan ringan.
Makanan enak.
Angin yang sejuk.
Teman dan lingkungan baru.
Semua itu berputar-putar di atas kepalanya yang mulai terasa pusing, saat tangannya meraih kepalanya dan meremas dahinya cukup kuat. Ia merasa ada sosok yang mendekatinya, hawa di sekitarnya langsung berubah agak canggung, terutama saat sosok itu berbisik.
“Buk Juha, maaf, ya, untuk sikapku yang kemarin-kemarin.”
Juhairah merasakan embusan dingin mengenai tengkuknya, ia sedikit bergidik. Kemudian tawa menggelegar, memecah kecanggungannya. Juhairah menoleh, matanya menangkap sebuah senyum dengan mata bulan sabit milik Layla.
Apa yang merasuki perempuan berkerudung itu? Mengapa tingkahnya sangat sulit ditebak? Tak pernah di dalam hidupnya, Juhairah merasa kecil di sebuah lingkungan yang bahkan tidak sebesar itu juga.
“Ekspresinya lucu,” enteng Layla. Untuk pertama kalinya Juhairah melihat senyum menghiasi wajah tetangganya itu, apalagi melayangkan sebuah candaan bahkan tak ada dalam daftar bayangannya sekalipun.
Dalila tersenyum cukup lega, bahunya yang semula menegang pun sudah bisa rileks. Ada kekhawatiran yang cukup besar di hati wanita nan rupawan itu, pasalnya ialah yang punya ide gagasan untuk mengajak Juhairah ke perkumpulan tongkrongannya.
Sementara, Sarma tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya. “Wow, hewan, hewan apa yang deket sama temannya?” hal itu membuat semua kepala menoleh pada Sarma yang berusaha menahan senyumannya. Saat semua terdiam tanpa jawaban, wanita tomboy itu pun menjawab sendiri pertanyaan itu. “A crab.” Dengan bangga Sarma menyeringai, kedua tangannya bersedekap layaknya girl boss.
Namun, beberapa detik berlalu. Tak ada respon tawa yang terlontar. Maka Sarma mulai kebingungan, celangak-celinguk mencari sebuah keadilan atas jokes tadi.
“Eugh, jokes mamak-mamak itu lagi,” celetuk Layla, sembari mengatur posisi duduknya dan merasa malu atas kelakuan Sarma.
Dalila merasa iba, sehingga ditepuknyalah punggung Sarma beberapa kali sambil tersenyum kasihan. “Lain kali jangan terlalu banyak googling candaan kaya gitu. Merusak suasana, Ma.” Hal itu otomatis mendapat tanggapan tajam dari Sarma, bahunya terjatuh malu.
Tetapi, sebuah gelak tawa pecah.
Tak lain tak bukan berasal dari wanita tiga puluhan tahun dengan rambut ikal di depan Sarma, ia memegangi perutnya karena tak tahan akan kejenakaan interaksi mereka. Dan merasa kembali pada masa-masa di Bandung, ketika dunianya tidak sesulit sekarang.
“Nah! Lucu, kan?” sombong Sarma, matanya menyoroti Layla dan Dalila yang kebingungan sembari menatap Juhairah yang tak kunjung usai tawanya.
“Mungkin lagi banyak masalah,” bisik Dalila. “Enggak mungkin jokes kaya gitu mempan sama siapapun kecuali bapak-bapak aneh di pos ronda sana.”
Sarma cemberut, tapi senyumnya merekah lagi. “Akhirnya ketemu sama orang satu frekuensi, selamat bergabung ke perkumpulan kita, Buk Juha!”