Buah Bibir

Fey Mega
Chapter #12

Mendayung Sendiri

Oh, betapa senangnya Sarma, akhirnya mempunyai kawan baru selain dua orang yang menemaninya sejak remaja—siapa lagi kalau bukan Dalila dan Layla. Untuk seorang yang berkutat dengan sayuran, buah-buahan dan para hewan—wanita nyentrik itu merasa cukup bersyukur akan kehadiran teman-temannya.

Dia tidak terlahir di keluarga yang paling kaya di desa itu, juga bukan yang paling miskin. Semenjak keluarganya pindah ke Bojong gede dari kota besar Jakarta, seingatnya keluarganya selalu beridiri tenang di tempat yang sama. 

Layaknya keluarga harmonis lainnya, Sarma menjadikan patokan keindahan berkeluarga serta berpasangan hanya pada orang tuanya sendiri, dan semakin dewasa semakin dia sadar jikalau kehidupan realita di sekitarnya malah berbanding terbalik dari semua yang ia ketahui itu, nan kelam, sehingga standarnya lama-kelamaan menjadi melambung, sulit digapai oleh siapapun.

“Sar, tolong ambilkan air minum, Bapak,” Pak Darso, laki-laki tua berumur enam puluhan, berkacamata tebal, wajah menghitam sebab banyaknya kegiatan di kebun itu, melayangkan senyum tipis pada anaknya.

Sarma bukan anak yang suka membantah, bahkan cenderung penurut. Maka saat bapaknya meminta sesuatu, ia selalu dengan sukarela manut saja, walau langkahnya agak mulai berat karena lelah, seharian sudah beraktifitas di kebun bersama bapak. 

Makan siang yang disiapkan mamah pun masih hangat, tadi beliau menghampiri mereka sembari membawa hasil panen supaya bisa diolah langsung.

“Pak, istirahat dulu, lah,” serunya, saat duduk di bale-bale kebun setelah memberikan air untuk Pak Darso. Keringatnya berkucur tak terkira, bahkan handuk di lehernya sudah basah kuyup juga. Sarma merentangkan kakinya, lalu meregangkan semua badannya.

Pak Darso melanjutkan kembali memacul, memanen beberapa ubi-ubi yang sudah besar. “Tanggung, Sar. Biar besok bisa istirahat full, sebelum dijual ke pasar nih." Tahun panen selalu membuat keluarga mereka gembira suka ria.

Mata Sarma rasanya sudah sangat berat, akhirnya ia membiarkan dirinya ambruk begitu saja di atas bale-bale, pelan-pelan matanya menutup, sengatan matahari terakhir di penghujung siang menuju sore itu membuatnya nyaman. Sarma terbiasa dengan panas apalagi dingin.

Beberapa saat setelahnya.

Tepukan dipundaknyalah yang membangunkan Sarma, ia terperanjat. Pikirannya masih belum bisa menyimpulkan kenapa ia berada di tengah-tengah kebun sampai semalam ini. Ia menatap sosok manusia di sebelahnya.

Bukan. Itu bukan bapak, batinnya.

“Hai, Sarma...”

Suaranya tersekat, sehingga tak ada satu kata pun yang mampu keluar untuk menjawab sapaan itu. Sorot mata sosok di depannya mulai memincing, seolah ingin meyakinkan Sarma untuk segera menjawabnya. Namun, bukan suara yang keluar dari sosok remaja laki-laki yang duduk bersamanya di bale-bale—dari mulutnya malah berhamburan sebuah bunga-bunga dan beberapa kupu-kupu biru yang melayang di udara.

Oh, sosok itu familiar. Oh, perasaan ini agak aneh. 

“Sarma...Sarma...”

Matanya terbuka dengan sekejap, dadanya terasa sesak, kepalanya menerawang ke kanan dan ke kiri. Mimpi macam apa itu tadi? Sarma menatap bapak yang sudah siap untuk menyantap makanan yang diberikan mamah. Saat ia melihat langit, warnanya masih jingga, tak sama dengan yang ditampilkan di dalam mimpinya.

Lihat selengkapnya