Buah Bibir

Fey Mega
Chapter #13

Campur Tangan Pihak Lain

Sepertinya waktu untuk bersantai yang menyenangkan bagi Juhairah Labibah memang ditakdirkan sangatlah minim, buktinya wanita dengan rambut ikal sempurna itu sudah memasuki kehidupan nyatanya lagi. Hidup yang menurutnya ingin sekali dia hindari, sayangnya keinginan itu sukar dilaksanakan—tanggung jawab dipundaknyalah yang menjadi jawaban terakhir Juhairah, sebuah cengkraman kuat dari segala niatnya untuk menyerah.

Hari Juhairah masih berlangsung seperti hari-hari sebelumnya, ia menyiapkan sarapan untuk suami dan anaknya, mencuci pakaian, merapikan rumah dan segala macam di dalamnya. Setelah mandi dan menatap sendu kepergian Narnia untuk sekolah, Juhairah bergegas menyusul ke acara yang sengaja diadakan desa sebelum pemilihan RT.

Mereka berkumpul di halaman depan rumah Pak Surya.

Ada sebuah harapan yang menyelinap, tapi asa itu redup sesampainya ia di tempat tujuan. Oh, batinnya. Seluruh tubuhnya lesu—Juhairah mengharapkan kedatangan Layla, Dalila dan Sarma. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang nampak ada di sana. Dengan berat dan langkah yang lesu, ia menghampiri Buk Harum. 

“Buk Juha! Sini!” tukasnya, sedikit antusias.

Setelah sore yang dilaluinya bersama ketiga ibu muda beberapa hari kemarin, muncul sebuah ide gagasan baru di benak Juhairah. Hal itu banyak terpendam dan tak pernah terhiraukan. Namun, untuk sekarang ia lebih memilih untuk menyimpannya rapat-rapat kemudian dituangkan pada waktu yang paling tepat.

Karena canggung, kuku-kuku tangan Juhairah mencengkram kuat ujung dasternya. Kemudian ia duduk di samping Harum, setelah memberikan senyum yang paling canggung. Terlihat sudah banyak warga yang berkumpul di sana, ada beberapa yang ia kenal, ada juga yang baru dikenalnya.

Buk Endang dan Buk Endah, anehnya hari ini cukup akur. 

“Oh, Buk Juha! Kemana dayang-dayangnya?” sinis Buk Endang. Matanya melirik ke sana-kemari layaknya mencari dukungan atas kalimat ofensifnya tersebut.

Juhairah langsung mengerti, bukan, dia bukan tokoh protagonis wanita yang polos seperti di cerita-cerita dongeng. Setidaknya, cara berpikirnya mulai matang setelah segala cobaan menerpanya. Mungkin, Juhairah sepuluh tahun yang lalu akan mudah diinjak-injak—sayangnya sosoknya yang itu sudah lama menghilang bersamaan dengan mimpinya yang ikut sirna juga.

Juhairah lalu meluapkan tawa pendek, matanya langsung menatap Endang. “Saya bukan ratu, kenapa butuh dayang-dayang? Mereka itu kawan, malah termasuk warga yang baik toh—” sengaja ia berhenti sejenak, untuk melihat dengan jelas reaksi Endang. Saat reaksi yang diberikan sudah sesuai dengan yang ada di imajinasinya, Juhairah melanjutkan kalimat menggantungnya tadi. “—enggak suka ikut campur, santai dan bersikap manusiawi aja gitu. Bukan begitu, Buk Har?”

Harum celingak-celinguk, sementara semua perhatian sudah tertuju pada mereka.

“Warga yang baik gimana sih, lagi ada acara kerja bakti juga enggak pernah ikut.” Buk Endah ikut mengangguk, saat kata-kata itu terlempar dari mulut Buk Endang sang biang kerok. “Lagian kok bisa sih langsung nyimpulin kalau saya lagi ngomongin mereka, berarti faktanya Buk Juha sudah masuk sekte aneh kaya gitu,” lanjutnya Buk Endang, nyerocos.

Sial.

“Buk Juha seumuran sama mereka, tapi kita yakin kalian itu beda, jangan mudah kehasut, ya, Buk,” nada Buk Endah yang mendayu itu cukup lembut, hanya saja inti dari kata-katanya sangat menyakitkan hati. Buk Endah tampak lemah-lembut, tapi kelakuannya tak jauh berbeda dengan Buk Endang yang suka ngelantur kalau ngomong.

Juhairah bisa merasakan sorot mata iba Buk Harum, sedangkan mereka berdua ada di pihak yang lemah dan tak dapat melawan. 

“Eh, udah udah. Pak Surya dateng tuh,” lirih Buk Imas, yang sejak tadi menyimak sambil angguk-angguk setuju. Air mukanya khawatir, mulutnya komat-kamit tak keruan sembari membereskan bendera merah-putih yang akan dirangkai di jalanan.

Juhairah memejamkan matanya kuat-kuat, lalu menghampiri Pak Surya. Dilihatnya tatapan penuh kedengkian yang terpancar dari kumpulan ibu-ibu di depannya. Ia merasa lebih nyaman di dekat pemimpin yang akan hilang kekuasaannya—ketimbang manusia yang sedang berlomba mendapatkan kekuasaan itu.

“Wah udah akrab nih sama member baru kita ini.” Bangga Pak Surya. “Damar kerja?” bisik Pak Surya kali ini. Juhairah hanya mengangguk, wajar saja sudah banyak yang mengenal Damar, toh suaminya itu dibesarkan di lingkungan ini sebelum kedua orang tuanya meninggal.

Mulanya agak canggung, tapi semakin siang, kegiatan kerja bakti itu semakin seru dan Juhairah pun mulai sedikit nyaman, sebab ia berusaha menghindari segerombolan ibu-ibu ceriwis dan lebih memilih bergabung dengan golongan senja, terutama Nenek Markonah.

Ibu-ibu dari mulai yang baru menikah, baru janda, sudah lama menikah atau sudah lama menjanda—bersatu untuk merangkai bendera serta pernak-pernik tujuh belasan di jalan-jalan desa, semua yang akan memperindah desa Bojong Gede dikala kemerdekaan Indonesia, juga pemilihan RT nantinya.

Lihat selengkapnya