Namaku Rea Fiona, 26 tahun. Setiap pagi, langkahku selalu berhenti sejenak di depan kaca ruang tamu—bukan untuk memastikan penampilan sempurna, hanya sekadar memastikan bahwa aku masih mengenali diriku sendiri di tengah rutinitas yang makin padat. Kulitku putih bersih, dengan satu tahi lalat kecil di pipi kiri yang sering jadi bahan komentar orang, “manis sekali,” kata mereka. Tinggiku 155 cm, tubuhku tidak gemuk tapi juga jauh dari kategori kurus; cukup untuk membuatku terlihat rapi saat mengenakan seragam kantor.
Sudah 20 bulan aku bekerja di perusahaan yang memproduksi berbagai perlengkapan bayi, di bagian perencanaan. Tempat yang membuatku hafal warna-warna pastel, aroma bedak, dan suara riuh lembut dari ruang produksi. Kadang aku berpikir, lucu juga—setiap hari aku merencanakan kebutuhan jutaan bayi di luar sana, sementara hidupku sendiri masih terasa seperti halaman kosong yang belum benar-benar kupetakan.
Tapi pagi itu berbeda. Ada sesuatu yang menunggu di balik rutinitas… aku bisa merasakannya, bahkan sebelum aku membuka pintu rumah dan melangkah keluar.
Rekan kerjaku sebagian besar adalah ibu-ibu. Mereka selalu bercerita tentang putra-putri mereka sambil memilih sampel popok atau botol bayi, memastikan produk yang kami rencanakan benar-benar yang terbaik. Sementara aku… alasanku bekerja di sini awalnya jauh lebih sederhana: aku memang suka melihat produk bayi yang lucu-lucu. Ada kebahagiaan kecil setiap kali aku memegang pakaian bayi berwarna pastel atau boneka gajah mungil yang lembut.
Tapi beberapa bulan terakhir, alasanku datang ke kantor tidak lagi sesederhana itu.
Aku tidak tahu kapan tepatnya semuanya mulai berubah. Hanya saja, tiba-tiba aku menyadari diriku menunggu suara langkah seseorang di koridor, atau menoleh tanpa sadar setiap mendengar suara bariton yang tenang memanggil seseorang. Riyu Junanda—ketua tim kami yang baru menjabat sekitar satu tahun. Sebelumnya dia berada di tim lain, dan aku bahkan hampir tidak pernah memperhatikannya.
Namun sekarang… sulit untuk tidak memperhatikan.
Senyumnya selalu ada, seperti sesuatu yang melekat alami pada wajahnya. Usianya 28 tahun, kulitnya putih, tinggi sekitar 180 cm. Wajah oval, alis tebal yang memberi kesan tegas, hidung mancung, dan potongan rambut comma hair yang entah mengapa selalu terlihat rapi, bahkan di hari-hari sibuk.
Tentu saja Riyu tidak tahu perasaanku. Tidak ada orang lain yang tahu. Dan aku memastikan tidak ada satupun sikapku yang memberi petunjuk.
Perasaanku padanya hanya hidup dalam diam… dalam tatapan singkat yang tak pernah tertangkap, dan detak-detak kecil yang selalu kusimpan rapat-rapat.
Awalnya kupikir semua ini hanya karena aku sudah lama menjomblo. Terakhir kali aku berpacaran—itu pun hubungan singkat—masih saat kuliah, tiga atau empat tahun lalu. Jadi wajar, pikirku, jika aku mudah tertarik pada pria tampan yang kebetulan ada di dekatku.
Sesederhana itu. Atau… setidaknya kupikir begitu.
Tapi ternyata tidak sesederhana itu.
Perasaan yang tadinya kukira cuma ketertarikan singkat perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih sulit dikendalikan. Ada hari-hari ketika aku mendengar suara langkah Riyu di koridor, dan tiba-tiba jantungku seperti memukul-mukul dadaku sendiri. Ada momen ketika dia sekadar memanggil namaku dalam rapat, dan seluruh tubuhku terasa hangat seperti baru saja berlari.
Yang paling merepotkan adalah momen-momen kecil… momen yang seharusnya tidak berarti apa-apa.
Saat dia lewat di belakang kursiku. Saat dia berdiri di sebelahku membuka file. Saat dia tersenyum sambil mengucap “pagi, Rea,” seolah itu hal biasa.
Di momen-momen itu, jantungku menjadi sangat berisik, seolah mencoba memberi tahu sesuatu yang belum berani kuakui pada diri sendiri.
Sejak kapan aku merasakan ini semua? Entahlah. Yang kutahu, rasanya makin sulit mengabaikannya.
Lift kantor berhenti di lantai tujuh dengan bunyi ting pelan. Aku melangkah keluar bersama beberapa rekan kerja lain. Seperti biasa, aroma kopi dari pantry langsung menyambut, bercampur dengan wangi tisu basah bayi yang entah kenapa selalu terasa bersih dan menenangkan.
“Pagi, Rea,” sapa Bu Winda sambil menenteng tas besar. Ibu dua anak itu selalu datang paling pagi.
“Pagi, Bu,” jawabku sambil tersenyum.
“Kamu kelihatan segar hari ini. Masih muda emang enak,” katanya sambil tertawa kecil.
Aku hanya tertawa sopan. Komentar seperti itu sudah terlalu sering kudengar.
Aku menyalakan komputer, membuka spreadsheet perencanaan produksi bulan depan. Belum lima menit aku duduk, Bu Rini dari meja sebelah sudah memutar kursinya.