Tiba-tiba, kekalutan merangsekku. Menjerat akal sehat dan segala logika yang ada. Menggoyahkan benteng pertahanan yang telah kubangun dengan susah payah selama ini. Rintihan dan keluhannya yang penuh kesenduan, meraung hingga memekakkan telingaku. Membuat dadaku bergemuruh, mengalahkan jerit kewarasanku yang tersisa tak seberapa.
Hatiku terus memohon dan merayu. “Ayolah, Li! Tolong dia! Selamatkan dia! Bantu dia! Kamu satu-satunya yang bisa melakukannya!”
Aku berlari dengan seluruh tenaga yang tersisa. Dengan seluruh sadar yang kian meronta. Aku berlari menembus hamparan kabut dini hari yang putih pekat. Menerjang gang sempit yang gelap dan sepi, memasabodohkan pandangan bapak-bapak yang pulang dari ronda malam, menabrak gerombolan pedagang yang hendak berangkat ke pasar pagi, mengabaikan klakson dan makian para sopir angkot, bajaj, ojek, bus kota, taksi, dan semua penghuni jalanan dini hari yang tak juga sepi.
Rumah yang biasanya kucapai dalam waktu tiga puluh menit itu, kali ini bisa kucapai dalam waktu separuhnya saja. Lima belas menit lebih cepat dari biasanya. Hebat! Meski aku sudah lama tidak jogging, kekuatan kakiku ternyata masih bisa diandalkan. Tapi, bagaimana dengan kekuatan hatiku? Kekuatan otakku?
Akhirnya aku sampai juga di depan ‘kastil Corvin’-nya yang temaram. Ah, seandainya dia mendengarku menyebut nama rumahnya. Seandainya dia tahu apa yang kurasakan sekarang. Seandainya dia paham apa yang kuinginkan saat ini. Seandainya dan hanya... seandainya.