Aku baru saja pulang dari jogging, saat pemandangan di depan kontrakan membuat langkahku terhenti di ujung gang. Tampak Bu Haji dan Rilla sedang bercakap. Pasti masalah uang sewa yang dua bulan belum kami bayar.
Tepatnya Rilla yang dua bulan belum bayar. Sedangkan aku sudah empat bulan, karena dua bulan awal sudah dibayar penuh oleh Rilla.
Soal utangku pada Rilla, sewa kontrakan bukanlah satu-satunya. Untuk kebutuhan sehari-hari pun, aku juga berutang padanya. Oh Tuhan, aku tak pernah bermimpi diriku ini akan menjadi kaya raya bak sosialita. Tapi, bukan berarti juga aku pernah membayangkan diriku, seorang Liliana Sasmita, akan se-helpless dan se-kere ini!
Lima bulan sudah aku lulus kuliah dan menyandang gelar S. Pd.AUD¹, tapi tak satu pun pekerjaan yang kudapatkan. Padahal sudah puluhan surat lamaran kerja kukirim ke berbagai lembaga dan sekolah. Akan tetapi, tak satu pun panggilan wawancara dapat kuikuti.
Konon setelah PAUD² diwajibkan oleh pemerintah, prospek pekerjaan guru PAUD akan semakin banyak dan cemerlang. Tapi mana buktinya?! Yang ada malah jumlah guru melebihi kapasitas, sementara jumlah lembaga PAUD masih jalan di tempat.
Kalau tahu begini, aku dulu mengambil PGSD saja seperti Rilla. Meski honorer, dia bisa memperoleh pekerjaan lebih cepat. Masih bisa mendapatkan pekerjaan sampingan untuk mengajar les juga. Ya, ya... kembali ke hukum alam, penyesalan selalu di belakang, kalau di depan namanya pendaftaran.
Aku bersembunyi dan mengintip di balik tembok rumah tetangga, menunggu Bu Haji, si Madam Kontrakan, pergi. Kulihat perempuan setengah baya itu mendengkus kesal. “Ye sudah, maunye pegimane? Kapan aye harus ke sini lagi dan kagak akan kecewa?! Pan keluarge aye juga butuh makan, Neng!” Perempuan berjilbab ungu sedada itu menatap Rilla dengan galak.
“Saya janji, Bu! Selasa depan saya bayar. Gajian saya kan tanggal 2, masih hari Senin. Saya mohon ya, Bu. Kali iniii saja!”
Aku bisa mendengar suara Rilla yang parau. Bahkan dari tempatku berdiri, aku bisa melihat bibirnya yang bergetar dan wajahnya yang memelas sendu. Betapa kasihan gadis itu. Dan betapa jahatnya aku.
Bu Haji tampak diam sesaat, seperti sedang mempertimbangkan sebuah keputusan. Setelah hampir dua menit tak bersuara, wanita setengah baya itu akhirnya membuka mulut. “Beneran, ye? Kagak boleh bo-ong, ye!” ucapnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah Rilla. Temanku itu hanya mengangguk-angguk patuh.
Sesaat kemudian, si Madam Kontrakan pergi, meninggalkan Rilla yang berdiri dengan kepala menunduk.
Lihat saja, sebentar lagi gadis itu pasti akan memuntahkan semua kekesalannya padaku. Seperti biasanya.
Aku tidak menyalahkannya, sih. Memang sudah sewajarnya begitu. Aku, si benalu, pantas menerima semua itu.
Banyak yang bilang ibukota identik dengan hamparan kesempatan dan masa depan penuh harapan. Namun, nyatanya mana?! Aku sudah membuktikannya. Yang ada hanyalah kesempitan. Jangankan masa depan, untuk masa sekarang saja aku tidak punya clue sama sekali.
Hmm... mungkin aku terlalu sering mendengarkan kata orang alias konon katanya. Atau mungkin nama ibukotanya perlu di-ruqyah. Atau akunya?! Entahlah. Tanyakan saja pada tikus-tikus obesitas di got!
***
“Enak lo ya, Li? Setiap si Madam Kontrakan ke sini, lo pasti kabur. Membiarkan gue teraniaya sendirian,” omel Rilla saat aku memasuki rumah. Gadis itu duduk bersidekap di satu-satunya kursi plastik di rumah kontrakan kami.
Rumah kontrakan kami berukuran 3 x 5 meter persegi yang disekat oleh papan tripleks menjadi tiga bagian ke belakang. Kamar pertama seharusnya ruang tamu, tapi karena tak ada tamu dan Rilla tidurnya tak bisa diam, maka ruangan itu berubah menjadi kamarku.
Ruangan kedua menjadi kamar tidur Rilla. Dan ruangan ketiga, yang paling belakang, merupakan dapur super kecil yang bersebelahan dengan kamar mandi.
Rumah ini berlantai semen kasar yang retak sana-sini dan atapnya berupa asbes buluk yang sudah bocor. Bila musim hujan tiba, lantai kamar selalu dimasuki air dari dua arah, atas dan luar. Yang dari luar terjadi karena lantai luar lebih tinggi daripada lantai dalam rumah. Kenapa bisa begitu? Tanyakan saja pada Madam Kontrakan, si empunya.
“Kok kabur? Gue kan, nggak tahu kalau dia mau ke sini. Lo juga nggak bilang, kan? Jadi, apa gue masih bisa disebut kabur, Bu Guru Rilla Sayang?” elakku lirih dengan tangan meremas-remas ujung kaus. Perasaan canggung mulai menyergapku.
Bukannya menanggapi alasanku, Rilla malah bertanya hal lain. “Lo udah ada duit, kan? Please deh, Li! Masa harus gue lagi yang bayarin? Mana bulan ini gue ada dua kondangan lagi! Lo ngertiin gue, dong!” Rilla menatapku tanpa kedip. Aku tahu, sekesal apa pun Rilla padaku, dia tetap tidak akan tega mengusirku.