BUBBLE LIGHT

Erniwati
Chapter #3

Bubble 2: Dilemma

Aku menyeruput teh manis dari cangkir bergambar diriku yang memakai toga wisuda. Pandanganku berpindah dari cangkir yang kugenggam dengan kedua telapak tangan, ke tembok di depanku yang cat putihnya telah mengelupas di mana-mana. Pikiranku mendadak melayang mundur ke lima tahun lalu.

“Nduk, Bapak dan Ibuk ndak pengin apa-apa darimu, kecuali kamu menjadi sarjana. Kalau kamu jadi sarjana, itu artinya kamu bakal mendapatkan pekerjaan bagus dan terhormat. Pekerjaan yang patut jadi kebanggaan kami sebagai orangtuamu,” kata Bapak pagi itu. Sesekali beliau menyeruput kopi hitam seduhan Ibuk. Meskipun umurnya sudah setengah abad, tapi tubuhnya masih kuat. Beliau juga tak ada masalah apa pun dengan kesehatannya.

“Betul, Nduk. Dan alangkah bahagianya hati Ibuk, kalau kamu bisa jadi guru seperti harapan Ibuk. Kamu tahu kan, Ibuk dulu sangat ingin menjadi guru? Tapi apa boleh buat? Boro-boro jadi guru, sekolah SD pun Ibuk ndak sampai lulus. Padahal zaman Ibuk dulu, kalau jadi guru tuh, ndak perlu kuliah. Cukup sampai SPG¹ aja. Kalau sekarang, SPG itu seperti SMA, gitu. Apa boleh buat, kemiskinan menghancurkan semua cita-cita.” Ibuk yang sedari tadi duduk mengupas singkong di samping Bapak menimpali, atau lebih tepatnya, beliau sedang curhat.

Aku bukan anak pintar yang langganan juara kelas atau anak yang bisa jadi kebanggaan setiap orang tua. Tapi, sebisa mungkin aku menuruti apa keinginan orang tua. Lagipula, kemauan mereka kan, tidak terlalu susah untuk dipenuhi. Jauh lebih ringan dari kelelahan mereka setiap hari untuk memenuhi kebutuhanku. Selain itu, mereka juga tidak menuntut juara atau prestasi apa-apa dariku, sebagaimana kebanyakan orangtua zaman sekarang, yang menjadikan anaknya sebagai alat lomba dan pamer prestasi, entah dalam pendidikan, pola asuh, maupun penampilan.

Bapak menyandarkan tubuhnya ke tembok, lalu berdeham. “Kamu kan, satu-satunya harapan kami. Kebahagiaan dan masa depanmu adalah yang terpenting bagi kami.” Matanya memandangku lembut dan teduh. Ibuk juga memandangku dengan cara yang sama.

Aku memang terlahir tunggal, tidak punya saudara kandung. Kata Ibuk sih, setelah melahirkanku, beliau hamil lagi dua kali, tapi keduanya keguguran.

Bapak dan ibuku bermata pencaharian sebagai petani. Jadi sudah sewajarnya, kalau menginginkan anaknya untuk menjadi sarjana. Meskipun menurutku, tidak ada yang salah juga bila aku menjadi petani. Bukannya petani juga pekerjaan mulia?! Tapi buat apa juga, aku mendebat mereka. Menurut mereka, lulusan sarjana bisa lebih mudah mendapat pekerjaan yang bagus, tidak akan kepayahan seperti mereka. Mungkin mereka belum menyadari, kalau bekerja memakai otak itu sama menyiksanya dengan bekerja menggunakan tenaga.

Selain karena aku generasi pertama di keluarga yang menjadi sarjana, di daerah kami memang jarang ada anak perempuan yang melanjutkan kuliah, apalagi sampai ke ibukota. Kebanyakan dari mereka, akan langsung bekerja ke luar kota atau pulau selepas lulus SMA. Bahkan, ada beberapa yang memalsukan umur dan berangkat bekerja ke luar negeri sebagai TKI karena di kampungku, materi lebih dihargai daripada edukasi. Sad but it’s true.

Semula aku ingin kuliah di Madiun atau Surabaya saja, tidak mau jauh-jauh ke Jakarta. Namun, Bapak bersikeras menginginkanku pergi ke ibukota. Katanya, salah satu ambisinya dulu adalah menaklukkan ibukota. Menurut Bapak, orang yang bisa bertahan di ibukota akan mampu bertahan di belahan bumi mana pun, karena ibukota merupakan parameter tersulit dalam menjalani hidup.

See! Seorang Liliana Sasmita adalah korban ambisi orang tuanya. Dia menjadi sarjana pendidikan karena meneruskan ambisi ibunya, dan mesti bertahan di ibukota, demi meneruskan ambisi bapaknya.

Aku sendiri sih, fine-fine saja, tak sedikit pun merasa terbebani oleh semua itu. Malah sebaliknya, aku bersyukur sekali punya orang tua yang berkemauan tinggi dalam hal edukasi dan memberi kesempatan serta fasilitas pada anaknya untuk meraih apa yang dulu tak bisa mereka raih. Dan, aku juga harusnya sangat senang bisa menuruti dan membahagiakan orang yang telah melahirkan dan membesarkanku.

Orang tuaku mati-matian menabung untuk membiayaiku sekolah. Tak hanya itu, mereka juga harus memendam rasa rindu, perasaan khawatir dan tak tega, saat harus melepasku jauh dari mereka.

“Kamu ndak akan berkembang, kalau hanya nduwel² di Madiun saja. Kamu harus mencicipi Jakarta. Hanya ibukota yang mampu melatih mental kita dengan baik, sekaligus menjanjikan ribuan harapan dan kesempatan yang ndak bisa kamu dapatkan di kampung halamanmu ini,” kata Bapak saat mengantar keberangkatanku di Stasiun Madiun. 

Beliau mengucapkannya di antara raungan sirine kereta api yang datang dan pergi, dan juga di antara derap kaki penumpang yang ingin naik dan turun kereta, begitu juga dengan puluhan pedagang brem dan nasi pecel yang tak mau mengalah sedikit pun dari penumpang dan pengunjung.

Tak banyak juga kan, orangtua yang tak pernah menuntut nilai dan prestasi dari anak seperti orang tuaku. Bagi mereka, yang penting kuliah dan jadi sarjana, soal nilai dan prestasi bukan yang utama.

“Yang penting kamu bahagia dan jadi sarjana, Nduk. Soal prestasi, kalau mampu ya, bagus. Kalau ndak ya, ndak usah dipaksa. Nanti akibatnya malah ndak baik. Alon-alon sing penting klakon.³”

Itulah kenapa, selama ini aku berbohong kepada mereka dengan mengatakan bahwa sekarang aku sudah bekerja dan mengajar di salah satu sekolah negeri di Jakarta. Dan itulah kenapa juga, aku tak berani meminta uang ke mereka, meskipun aku hampir mati kelaparan di sini. 

Sebenarnya semua ini kulakukan hanya karena ingin membahagiakan mereka saja, tak ada maksud lain. Terus sekarang aku harus mengecewakan mereka dengan bekerja jadi pelayan kafe?! Sing eling! 

Lihat selengkapnya