“Perfecto!” gumamku sambil memandangi wajahku di spion mobil boks yang sedang parkir sembarangan. Tenang, tidak ada orang di sekitar, kok! Biasanya aku membawa cermin kecil di tas, tapi kali ini lupa. Mungkin karena saking gugupku tadi. Setelah merapikan pakaianku yang sedikit kusut di pintu kaca depan, aku menuju kafe bergaya oriental yang terletak di depan eskalator.
Bubble Lee, kalau dilihat dari namanya, mungkin mirip-mirip dengan bubble tea ala Chatime, atau kalau diterjemahkan ala Bu Guru Rilla, menjadi teh susu mutiara.
Aku pernah meminumnya sekali, zaman masih kuliah dulu, itu pun karena ikutan teman. Harganya yang lumayan jahat di kantong, membuatku berpikir banyak kali sebelum membelinya.
Masalah rasanya, ya jelas sangat enak, terutama untuk lidahku yang jarang tersentuh international taste. Semoga saja aku diterima bekerja dan bisa merasakannya setiap hari. Aku bilang begitu karena aku pernah dengar, kalau pekerja di kedai makanan dan minuman bisa mendapatkan jatah satu porsi menu yang dijual kedai tersebut.
Setelah sampai di pintu masuk, dadaku mulai deg-degan tak keruan. Aku menoleh kanan-kiri, sepi, tidak ada seorang pun. Hanya lagu-lagu mandarin lawas yang terdengar dari berbagai sudut ruangan. Saat berdiri di sini, rasanya seperti berada di salah satu kafe di daerah Tiongkok atau Taiwan atau sejenisnya, karena aura orientalnya yang kental sekali.
Ada empat lampion besar dan empat lampion kecil menggantung di langit-langit. Dua lukisan kaligrafi China berpigura hitam, menggantung memenuhi sebagian besar dinding sisi kanan. Sedangkan dinding sisi kiri tertutup partisi kayu yang juga berwarna hitam dengan latar belakang merah.
Di ujung ruangan, ada bar sekaligus konter kasir setinggi dada. Di atasnya, selain berderet produk kemasan, terdapat patung kuda dari giok kemerahan dan pot kecil bambu hias berpita merah. Konter itu disambung dengan etalase kue yang panjangnya hampir satu meter yang di dalamnya berisi aneka dessert dan salad buah.
Di sebelahnya lagi, masih ada rak tiga tingkatan yang berisi dua keranjang kecil berisi roti di setiap tingkat. Setelah rak roti, ada area kosong selebar satu meter yang digunakan sebagai akses jalan ke bagian belakang.
Konsep tempat duduknya pun beragam. Ada kursi yang terbuat dari bambu, kayu, dan sofa empuk berbahan kulit dengan berbagai bentuk meja yang sesuai dengan kursinya. Empat pot besar bunga sakura imitasi menghiasi setiap pojok ruangan. Warna perabotnya didominasi hitam dan merah.
“Halo! Ada yang bisa saya bantu?” Seorang perempuan bercelemek hitam, dengan tulisan Bubble Lee di bagian tengah, mengagetkanku. Perempuan itu juga memakai chef headscarf mungil dengan warna dan tulisan yang sama, yang diikat di bawah kucir kudanya. Sebuah poni yang menyembul dari bawah headscarf menutupi dahi dan kedua alisnya. Wajahnya yang bulat dengan pipi chubby, membuat perempuan itu tampak imut.
“Halo. Maaf, saya datang mau melamar kerja,” jawabku sedikit canggung. ”Kemarin saya melihat pengumuman di depan, katanya kafe ini sedang memerlukan pegawai.”
“Oh... begitu. Iya, kami memang sedang mencari tambahan pegawai. Tunggu sebentar, ya,” balasnya ramah dengan logat Jawa yang kental. Lalu, perempuan itu pun berjalan menuju bagian belakang kafe.
“Terima kasih,” kataku, tapi tak ada jawaban karena gadis itu keburu pergi dari hadapanku.
***
Laki-laki di hadapanku itu berkemeja biru motif garis dengan celana kain berwarna cokelat tua. Rambutnya hitam ber-gel dengan model side part yang tersisir rapi. Matanya yang bulat menatapku tajam. “Jadi kamu lulusan tahun ini? Sudah mengirimkan banyak lamaran kerja dan belum mendapatkan panggilan?”
Aku mengangguk kikuk, mencoba untuk tetap tersenyum. “Betul, Pak...,” ucapku hati-hati.
Dia berdeham beberapa kali. “Itu artinya…, misalnya kamu keterima kerja di sini, terus tiba-tiba mendapat panggilan kerja, apa kamu akan keluar dari sini?” Senyum sinis tersembul dari bibir tebalnya. Terlihat jelas ekspresi kesal di wajah kotaknya. Sial, ternyata pertanyaan darinya itu adalah pertanyaan jebakan.
Duh! Aku harus berhati-hati dalam menjawab semua pertanyaan darinya.
“Ng-nggak juga, Mas... eh, Pak. Saya kan sudah melamar ke sini, otomatis saya akan berkomitmen untuk lanjut kerja di sini bila memang diterima. Saya akan melanjutkan kerja di sini sampai... sampai—–” Aku mulai panik. Bingung mau menjawab apa. Ya Tuhan, beri aku kelancaran. Please.
Orang yang mewawancaraiku saat ini, tidak lain dan tidak bukan adalah laki-laki yang kutanyai saat aku mampir ke sini sore kemarin. And do you know what? Dia itu ternyata manajer operasional kafe ini. Aku melihat tulisan itu di name tag-nya.
Namanya Farendra Abadi. Kalau dilihat dari wajahnya, laki-laki itu berumur sekitar tiga puluhan. Tampangnya pas-pasan dengan hidung yang juga pas-pasan, tidak mancung ataupun pesek. Mata bulat dan rahang kokoh bercambang, menyempurnakan wajah kotak orang itu. Perawakan tubuhnya tinggi, model kemejanya yang slim fit menampakkan dada bidang dan tubuhnya yang atletis. Kulitnya sawo matang khas Indonesia raya.
Sebenarnya aku sedikit bingung, ini kafe sungguhan atau abal-abal? Karena aku tidak menemukan banyak staf di sini, sebagaimana kafe-kafe lainnya. Si cewek tadi, lalu pemuda cungkring yang bercelemek sama dengan si cewek, dan Bapak Manajer bernama Rendra di hadapanku. Sudah, hanya tiga orang saja. Atau memang aku belum melihat staf lainnya?
“Sampai apa, hayo?” Laki-laki itu bertanya lagi, kali ini nadanya seperti meledek.