BUBBLE LIGHT

Erniwati
Chapter #5

Bubble 4: Weirdo

Aku sedang membuat Tuna Mayo Sandwich pesanan pembeli, saat Rendra datang menghampiri. “Kamu sudah seminggu kerja di sini kan, Li? Sekarang, coba buatkan untukku seporsi Salty Leek Pancake!” Laki-laki itu tiba-tiba sudah berdiri di sampingku dengan tangan terlipat di dada.

Selama aku bekerja di sini, dia hanya dua kali datang ke kafe, kemarin lusa dan hari ini. Meskipun begitu, dia sudah menyuruhku puluhan kali, mulai dari mengelap meja yang tidak kotor, membersihkan lantai yang baru saja dipel, dan yang paling banyak adalah membuatkan sesuatu untuknya.

And do you know what? Tak satu pun dari puluhan pekerjaan itu, yang luput dari komplainnya. Walaupun dia mengucapkannya sambil tertawa, tetap saja hal itu membuatku dongkol. Sungguh, dia tidak seperti kesan pertama saat kami jumpa. Jauh!

“Li? Kamu denger perintahku, kan?” ulangnya lagi. See! Dia semakin menyebalkan saja, kan?!

Aku memutar mata. “Iya, Pak. Saya dengar. Tapi tangan saya kan, masih megang pesanan konsumen,” jawabku sambil berusaha keras untuk tidak menaikkan volume suara.

“Ya, panggil saja Hera! Dia lagi nggak ada kerjaan kayaknya,” tukas laki-laki itu sekenanya.

“Jadi Hera saja yang bikinin Salty Leek Pancake-nya ya, Pak?” tanyaku sambil meletakkan sandwich di piring saji.

“Jangan dia! Kamu!” pekiknya dengan mata mendelik padaku. “Maksudku, biar dia saja yang membuat pesanan konsumen itu,” ralatnya dengan suara yang sudah kembali normal.

“Sudah selesai kok, Pak.” Aku berjalan ke depan untuk mengantar pesanan. Dalam hati aku berharap, semoga ada seseorang yang menelepon Rendra dan memintanya pergi dari sini.

Sial! Harapanku zonk! Saat kembali ke dapur, laki-laki berkemeja hijau muda itu masih di sana. Dia tampak sedang memeriksa isi kulkas dan lemari.

Aku ingin berbalik ke konter dan bergabung dengan Kiki dan Hera, tapi manajer itu menoleh ke arahku. “Kapan pesananku dibuat, Li?”

“Iya... sekarang, Pak.” Dengan mengigiti bibir bawah, aku mengambil bungkusan frozen food dari freezer. Setelah memanasi crepe maker, kukeluarkan selembar dadar beku dan menaruhnya di atas besi pipih itu. Tak lupa kukecilkan apinya agar dadar bisa matang sempurna tanpa gosong. Lalu....

Syukurlah! Doaku terkabul. Ponsel bosku berdering dan membuatnya melangkah pergi ke ruangan sempitnya. Oh iya, aku belum bilang ya, bahwa Rendra mempunyai kantor di kafe ini, meskipun sempit. Letaknya bersebelahan dengan gudang.

Sambil mengelap keringat di telapak tanganku dengan celemek, aku menghela napas lega. Ternyata, bekerja di depan mata atasan, bisa menghasilkan keringat seperti jogging tiga putaran.

Hera yang tidak punya pekerjaan di depan, mendekatiku. “Eh, Li! Ngapain Pak Rendra nyuruh-nyuruh kamu terus, ya? Padahal aku dan Kiki juga ada, lho.” ucap Hera setengah berbisik. Matanya beberapa kali melirik ke arah kantor Rendra.

Aku mengangkat bahu sambil mencebik. “Mana gue tahu. Mungkin itu caranya menguji karyawan baru, kali.”

“Tapi, aku dulu nggak begitu.”

“Ya... karena lo istimewa, kali.” Kubalik pancake yang sudah tampak menguning.

Namanya pancake, tapi penampakannya lebih mirip roti canai atau dadar gulung. Bedanya, dadar ini lebih keras dan ada irisan daun bawang yang dicampurkan pada adonannya.

“Bukannya kebalik? Mungkin kamu yang istimewa.” Hera memandangiku tanpa kedip.

Aku memutar mata. “Ngaco! Sing eling, Buk!”

Pancake sudah matang. Kugulung dadar itu lalu kupindahkan ke piring saji. Setelah kupotong menjadi beberapa bagian, kutaburi irisan daun bawang dan lada hitam. Tidak lupa, saucer mini yang berisi saus tiram kuletakkan di sebelahnya, persis seperti yang diajarkan Hera padaku.

See, gue murid lo yang paling pandai, kan?” Aku menyengir lebar pada Hera yang berkacak pinggang, sambil berlalu mengantarkan pesanan Pak Manajer.

      ***

Kiki dan Hera sibuk melayani pembeli di depan, meninggalkanku sendirian di dapur dengan banyak pekerjaan. Mulai dari mengiris buah untuk jus dan salad, merajang daun bawang, sampai merebus bubble.

Aku memasukkan butiran mutiara hitam kering itu ke dalam air, lalu kuaduk-aduk agar tidak lengket. “Bener juga kata Rilla semalam,” gumamku sambil mengelap keringat di dahi. 

Berdiri di depan kompor gas itu, memang salah satu cara tercepat untuk berkeringat. Seperti spa.

Lihat selengkapnya