BUBBLE LIGHT

Erniwati
Chapter #6

Bubble 5: Coincidence

Kiki sedang mengepel lantai dapur dan mencuci kamar mandi, karena malam ini memang gilirannya. Sedangkan Hera, pergi ke gerbang utama untuk mengambil barang dari mobil Rendra. Awalnya sih, laki-laki itu menginginkan diriku yang mengambilnya, tapi kebetulan aku sedang membuat pesanan pembeli, jadi Hera yang ke sana. Kebetulan yang pantas disyukuri, bukan?!

Aku mulai merasa tidak nyaman dengan Rendra, jadi sebisa mungkin aku menghindarinya. Untung saja, laki-laki itu tidak ke sini setiap hari. Kata Hera sih, Rendra memang kepercayaan bos, jadi dia memegang kendali beberapa cabang.

Sambil bergumam mengikuti lagu Tian Mi Mi-nya Teresa Teng di Audio, aku mondar-mandir di antara coffee maker dan mesin kasir sambil mengetik pesan buat Rilla. Aku ingin menawarinya segelas Taro Bubble Milk Tea saat pulang nanti karena jatah minumanku kemarin belum kuambil. Lumayan, bisa dipakai untuk menyenangkan Rilla.

Mataku mendongak, saat ada sesosok berdiri di depan kasir. Si Weirdo! Duh! Kenapa dia datang di saat aku yang berdiri di belakang mesin kasir begini? Apakah ini kebetulan juga?! Kenapa dia datang sekarang? Kenapa tidak sepuluh menit yang lalu, atau sepuluh menit ke depan? Saat Kiki atau Hera yang berada di tempat ini, bukan aku. Kebetulan yang menyebalkan!

Setelah kejadian dia menolongku saat terjatuh seminggu yang lalu, aku sudah tiga kali memimpikannya. Aneh banget, kan? Bayangkan saja, ada orang aneh yang bahkan belum kamu kenal--hanya karena pernah menolongmu sekali--lalu tiba-tiba masuk dalam mimpimu. Dan, bukan sekali atau dua, tapi tiga kali! Laki-laki itu masuk dalam mimpiku tiga kali dalam tiga hari berturut-turut!

Makanya setelah mimpi yang terakhir, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak berinteraksi dengannya. Seperti tidak melayani pembayaran atau mengantar makanannya, bahkan aku tidak mau untuk sekadar melihatnya. Dan berhasil, hingga saat ini.

Setelah berusaha menenangkan diri dengan mengucap doa dalam hati sebisanya, aku pun menyapanya. “Halo. Maaf, saya belum tahu menu Jumat anda, nggak pa-pa, kan?” sapaku sok ramah, menatap laki-laki aneh yang berdiri di depanku.

Meskipun dia tidak mungkin basa-basi atau sekadar menjawab pertanyaanku, tapi tadinya aku masih berharap dia akan tersenyum sedikit padaku. Ternyata tidak! Mungkin dia memang terlahir tanpa senyum, atau aku saja yang terlalu banyak berharap.

Dia berdeham. “Jumat. Hazelnut Chocolate Bubble Milk Tea, large, dua, dan Chicken Cheese Sandwich. Meja nomor….”

“Sembilan,” sahutku dengan senyuman dipaksakan. “Atau mungkin anda mau meninggalkan daftar menu pesanan di sini? Jadi saya tidak perlu bolak-balik bertanya untuk menu besok dan seterusnya.” Aku masih berharap dia akan menjawab tawaranku atau sekadar mengucapkan terima kasih. Dan lagi-lagi, zonk besar. Poor me.

Si Weirdo menggeleng pelan, lalu berjalan menuju tempatnya seperti biasa. Hari ini laki-laki aneh itu masih memakai jaket yang sama, tapi dengan topi berbeda. Kalau biasanya, topi hitam bertulis NY, kali ini dia memakai topi biru bertulis CA. Dugaanku sih, semua topinya mungkin bertuliskan inisial kota begitu.

Aku sudah selesai membuat pesanannya. Sial, Kiki belum selesai dan Hera pun belum juga balik. Jadi, dengan terpaksa aku mengantarkannya ke meja nomor sembilan. Kurapikan celemek dan bajuku, agar tak tersangkut di meja seperti waktu itu. Done! Semua beres dan aku kembali ke belakang kasir. 

Tak lama kemudian, ada seorang pemuda yang datang marah-marah.

“Lo ini gimana, sih?! Jadi kasir itu yang pinter, dong! Lihat!” Dia menyodorkan kertas struk di hadapanku. “Duit gue kan, gocap, kalau harga minumannya dua puluh dua, itu artinya gue seharusnya nerima kembalian dua lapan, kan?! Nah, tadi lo ngasih gue cuman due enem. Kurang dua rebu.” Pemuda yang kira-kira berumuran dua puluh tahunan dengan rambut cokelat model Korea, mengomel seperti emak-emak.

Baru kali ini aku berjumpa pemuda ganteng ala oppa, tapi mulutnya seperti emak-emak begini. Padahal yang melayaninya tadi sore kan Hera, bukan aku. Lagian, kenapa tidak dicek di sini tadi? Kenapa baru sekarang datang dan komplain?!

“Maaf. Yang melayani anda tadi kan, teman saya, bukan saya. Nah, kebetulan dia masih keluar. Apakah anda bersedia menunggunya sebentar? Saya akan meneleponnya.” Sambil terus menahan emosi, aku menjelaskannya perlahan.

Pemuda itu mendengkus kesal. “Apa bedanya? Kalian kan, sama-sama pegawai di sini. Ya, tanggung jawab harus dibagi rata. Kesalahannya ya kesalahan lo juga. Pakai banyak alasan segala.” Dengan mata mendelik, dia menggebrak meja konter dengan tangan kirinya.

Aku menatapnya lekat, hanya untuk memastikan sekali lagi, bahwa yang berdiri di hadapanku ini manusia asli zaman sekarang. Bukan makhluk jadi-jadian dari planet lain yang tak tahu aturan main di bumi. “Ya nggak bisa begitu—” ucapku belum selesai.

“Nggak bisa gimana? Orang uangnya juga masuk ke laci yang sama.” Pemuda itu memotong ucapanku.

Hanya karena uang dua ribu dan aku harus membunuh mood-ku? No way! Aku merogoh saku celanaku untuk mengambil uang dua ribuan, lalu kuserahkan selembar uang kertas bergambar MH. Tamrin kepadanya.

“Jangan diladeni.” Si Weirdo sudah berdiri di samping pemuda tadi. “Tolong dibaca baik-baik kertas struk-nya. Bukankah di situ tertulis kalau komplain hanya dilayani saat masih berada di tempat? Bukan setelah keluar dari sini,” jelasnya panjang-lebar, masih dengan suara rendah.

Wajah pemuda itu tampak memerah. “Kamu jangan turut campur, ya! Ini bukan urusanmu.”

Lihat selengkapnya