Jam sebelas siang, kafe masih sepi. Seperti biasa, aku mengelap permukaan meja konter yang terbuat dari marmer berwarna hitam. Kafe ini didominasi warna gelap, hanya bunga sakura imitasi di setiap pojok ruangan dan canvas lukisan kaligrafi di tembok yang berwarna terang. Selebihnya hanya ada warna merah, hitam dan cokelat tua, bahkan bambu pun berwarna hitam.
Sesosok laki-laki muda berkemeja kotak-kotak, memasuki kafe. Aku yang bernyanyi lirih, tersentak saat melihat wajahnya, buru-buru aku menunduk dan beranjak ke belakang.
“Li, tunggu dulu!” Teriakan itu menghentikan langkahku. Suaranya masih sama setelah hampir enam bulan kami tak bertemu.
Aku berbalik badan dan melihat wajah yang pernah menghiasi layar ponselku selama setahun. Sebelum akhirnya aku men-delete semua foto dirinya, karena telah membuatku kecewa. Saat itu aku memutuskan untuk meninggalkannya.
“Dev, ka-kamu di sini?” Suaraku terbata.
Laki-laki itu tersenyum lebar. Ada binar kegirangan di wajahnya. “Li, gimana kabarmu? Ternyata kamu kerja di sini? Kenapa kamu nggak mengajar? Sekarang kamu tinggal di mana?” Dia masih sama seperti dulu, sangat senang mencecarku dengan banyak pertanyaan, padahal dia belum menjawab pertanyaanku.
Aku mendelik tajam pada mata cokelat cowok itu. “Bukan. Urusanmu.” Aku memberi penegasan pada setiap kata yang yang kuucapkan. Gigiku beradu kuat demi menahan amarah. Saat aku melihat wajahnya, matanya, dan semua tentang dirinya, membuat kejadian malam itu hadir kembali di benakku. Kejadian yang demi kebaikanku sendiri, tidak ingin kuingat-ingat lagi.
“Idih, jangan galak gitu, kenapa? Btw, kamu masih seperti dulu, makin cantik kalau galak,” ujarnya dengan wajah cengengesan. Dia terlihat santai dan seperti tak merasa bersalah sedikit pun. Kedua lengannya ditaruh di atas meja konter dengan mata masih memandangiku lekat tanpa berkedip.
Deva Mahardika, mahasiswa PGSD, teman sekelas Rilla. Dia pernah menjadi pacarku sejak tahun ketiga kuliah, dan putus saat aku lulus. Deva adalah cinta pertamaku. Orangnya manis, ramah, perhatian, dan pintar. Itulah yang membuatku tertarik dan mau menjadi pacarnya.
Hingga semakin lama aku bersama dengannya, dia menunjukkan sosok aslinya. Dia mulai suka merayu dan memintaku melakukan hal-hal mesum untuknya. Kalau sekadar gandengan tangan atau ciuman, aku masih menganggapnya wajar. Tapi, semakin lama permintaannya semakin berlebihan.
Puncaknya di suatu malam, saat hari ulang tahunnya. Kami merayakannya di Pizza Hut. Setelah pulang dari sana, dia tidak langsung mengantarku pulang, tapi malah mengajakku ke rumahnya. Kata Deva, mumpung orang tuanya tidak ada di rumah, dia mengajakku berhubungan intim. Tentu saja aku menolaknya!
Meskipun aku bukan gadis polos atau berhati sangat suci, aku masih punya akal sehat! Aku tidak akan melakukan itu kalau belum ada pernikahan. Aku tidak peduli meski orang akan menyebutku The Last Virgin on Earth sekali pun!
Bukannya menerima penolakanku, dia malah memaksa dan mencengkeram kedua tanganku. Untung saja waktu itu ada sepupunya yang tiba-tiba datang dan memergoki kami, jadi Deva melepaskanku. Masih teringat jelas di otakku, malam itu aku berlari dari rumahnya dengan penuh emosi, lalu bergegas mencari taksi untuk pulang.
Setelah kejadian itu, dia masih sering mendatangiku, tapi aku tak menanggapinya.
Akhirnya setelah melalui beberapa pertimbangan dan atas saran Rilla juga, aku meminta putus dari Deva. Aku juga ikut Rilla pindah ke sini. Kupikir kepindahanku sudah bisa menghilangkan jejak hidupku dari hidupnya. Ternyata aku salah. Sekarang dia hadir di sini, di hadapanku.
“Deva, semua sudah berlalu. Kamu punya kehidupanmu, begitu juga denganku. So, please! Jangan ganggu aku lagi sebagaimana aku nggak lagi ganggu kamu,” desisku penuh emosi.
Sebenarnya, ada rasa takut yang menyelinap ke dalam hatiku. Bagaimana kalau aku tergoda lagi pada Deva? Bagaimana kalau dia tak mau menyerah? Bagaimana kalau dia terus mengejarku? Dan masih banyak bagaimana-bagaimana lainnya.
Rasanya seperti ada bola besi berduri di kepalaku, yang semakin lama terasa semakin membesar memenuhi tengkorak kepala. Selain membuat kepalaku sesak, juga membuat sangat sakit!
“Li, aku sudah berubah. Aku janji nggak akan berbuat macam-macam lagi sama kamu. I need you. I can't live without you, Babe.” Dia mulai merengek dengan suara memelasnya yang khas. “Apa kamu tahu? Selama ini aku sudah mencarimu ke mana-mana. Dan akhirnya aku nemuin kamu di sini.”
Oh Tuhan, please! Aku orangnya tidak tegaan, apalagi bila menghadapi Deva, pacar pertamaku. Meskipun aku mempunyai kenangan kelam dengannya, tidak bisa dipungkiri, aku pun mempunyai banyak kenangan manis bersamanya. Apalagi konon, cinta pertama itu memang sulit untuk dilupakan.
“Dev, please! Pergi dari sini! Aku lagi kerja, nggak enak sama yang lain,” ucapku pelan tapi tegas. Mataku melirik Hera dan Kiki yang duduk di dapur, dalam hati aku berharap mereka muncul dan membantuku mengusir Deva.
Aku yakin sekali, mereka pasti mengintipku dan Deva karena penasaran apa yang sedang terjadi, lalu bertanya-tanya siapa yang sedang bicara denganku dan anak-anak pertanyaan lain yang siap untuk ditembakkan padaku. Terutama Hera dia pasti menginterogasiku selepas Deva pergi nanti.
Sial! Tak ada satu pun pembeli yang datang saat ini. Seandainya ada, paling tidak aku bisa menghindari Deva dan beralasan harus melayani pembeli itu. Kalau begini terus, aku bisa mati kutu karena berhadapan dengannya.
Aku sudah hafal di luar kepala, Deva bukanlah tipe orang yang mudah menyerah.
Masih teringat jelas saat aku meminta putus darinya dulu. Hampir tiga bulan setelahnya, dia terus-menerus menemui dan mengajakku balikan. Kalau aku tidak pindah ke sini dan berganti nomor ponsel serta akun media sosial, mungkin sampai saat ini dia masih mengejarku. Atau mungkin malah aku yang tidak kuat untuk terus lari darinya hingga akhirnya aku tetap menjadi pacarnya.
“Li, please. Give me one more chance. Aku janji, kali ini nggak akan ngecewain kamu lagi.” Tangannya menjulur, berusaha meraihku dari atas konter, tapi aku mundur dan menghindar.
Sepertinya, Tuhan mengabulkan doaku. Rendra datang dan berhenti sejenak. Dia memandang heran ke arah kami. Dilihat dari raut wajahnya, seakan dia memahami situasi yang terjadi. Tapi, bukannya membantuku mengusir Deva, dia malah berjalan terus ke belakang tanpa menghiraukanku.
Duh! Aku semakin pusing. Apalagi saat Deva malah memesan dua jenis minuman dan satu menu lunch andalan kafe kami. Aku tahu, dia hanya ingin mengulur waktu untuk bisa bersamaku. I know him so well.
“Li, dipanggil Pak Rendra ke kantor. Kamu menghadap sana, gih! Sebelum beliau marah-marah, biar aku yang ngelayani pelanggan.” Suara Hera ibarat hujan deras yang turun setelah kemarau panjang bertahun-tahun. Aku menghela napas lega. Rasanya seperti terselamatkan dari harimau yang hampir menerkamku.
Aku menoleh pada Hera. “Oke, Ra.” Lalu, aku mengembalikan pandanganku pada Deva. “Dev, maaf, ya. Bos manggil aku. Pesananmu diambil alih temanku, Hera. Tenang, she is the best!”
Tanpa menunggu jawaban, aku bergegas menuju kantor Rendra. Hampir dua bulan bekerja dengannya, ini pertama kalinya aku kegirangan saat dipanggil laki-laki itu. Biasanya aku menggerutu sebal.
Sesampainya di kantor Rendra, aku mengetuk pintunya yang berwarna hitam mengkilap.
“Masuk!”
Aku membuka pintu perlahan. “Ada apa ya, Pak? Kata Hera, Bapak manggil saya.” Aku berjalan mendekati mejanya yang masih rapi karena dia baru datang. Dua jam berikutnya, aku bisa pastikan permukaan meja ini akan berantakan level sebelas, bukan lagi level sepuluh.