BUBBLE LIGHT

Erniwati
Chapter #8

Bubble 7: Him

Vampir kutub itu masih menggandeng tanganku, bahkan setelah kami menjauh dari Deva. Tanpa kusadari, kami telah sampai di trotoar jalan raya. Perlahan aku menarik tanganku, tapi laki-laki itu tampaknya tidak menyadari, buktinya dia masih saja memegang pergelanganku erat.

“Makasih ya, Mas. Sudah nolongin lagi,” ucapku lirih sekaligus kode untuknya agar melepaskan tanganku.

Sebenarnya dalam hati aku ingin memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan. Dimulai dari kenapa dia tiba-tiba muncul di sana dan sejak kapan, lalu kenapa membawaku pergi seperti ini, dan masih banyak lagi. Tapi aku sadar diri, masa sudah ditolong (berkali-kali pula), bukannya mengucapkan terima kasih, malah menginterogasi seperti itu.

Lagipula orang sedingin es begitu, kalau tiba-tiba dikasih selusin pertanyaan, mungkin dia akan langsung membekap mulutku dan memasukkanku ke tong sampah. Eh, tapi dia kan cungkring, mana kuat dia mengangkat tubuhku. Meski tidak gemuk, olahraga telah membuat tubuhku lebih berbobot karena massa otot.

Setelah memandangku sesaat, laki-laki vampir itu melepaskan tanganku. Lalu aku duduk di kursi terdekat yang penerangannya temaram karena letaknya jauh dari lampu jalan. Niatku ingin menunggunya pergi lebih dulu. 

Di luar dugaan, ternyata dia ikut duduk di sebelahku, meskipun dengan wajah menunduk. Kedua tangannya memegangi kedua paha. Sebelumnya, aku mengira hanya tangan kanannya saja yang ditumbuhi rambut, ternyata tangan kirinya juga. Sesekali dia membenarkan letak kacamata yang menurutku tak ada yang salah dalam peletakannya. Kami saling diam dan canggung. 

Sepertinya aku harus membuka suara lebih dulu atau keheningan ini akan abadi. “Ngomong-ngomong, boleh kenalan nggak, Mas?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku, sebelum aku menyadari betapa tololnya aku.

Bibir pucatnya tersenyum kecil. “Mau kenalan dengan aku?” Dia tidak menatapku balik. Hanya mata sipitnya melirikku sekilas dari balik kacamata.

Aku menjadi kikuk. “Ya... kalau berkenan, sih. Kalau nggak, juga nggak pa-pa.” Dih! Orang ini sombong sekali!

Dia tersenyum lagi, masih dengan menunduk. ”Buat apa?”

Buat di-ruqyah! Hatiku menyahut ketus.

Sumpah, ini jawaban teraneh yang pernah kudengar seumur hidupku! Btw, bukankah orang aneh selalu melakukan hal aneh?! 

”Ya, siapa tahu, nanti Tuhan mminta saksi untuk kejadian barusan. Aku kan, harus nyebutin nama Mas,” jawabku sekenanya. Ucapan yang sungguh dipaksakan, tapi biarlah, kepalang tercetus juga.

Dia tergelak. Ini pertama kalinya kulihat pria aneh itu tertawa lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang sedikit menguning. An Achievement Award untuk Liliana Sasmita, karena telah membuat si Vampir Kutub tertawa. Meskipun sedetik kemudian, dia menutup mulutnya yang masih tertawa dengan tangan kiri.

Dia mengulurkan tangan kurusnya untuk mengajakku bersalaman. ”Lee.”

“Li.” 

Kami mengucapkannya bersamaan, kaget karena ternyata pelafalan nama kami begitu mirip! Kami pun tertawa, lalu melepas jabatan tangan.

“Kenapa nama kita sama begini?” tanyaku di sela tawa.

Dia sudah berhenti tertawa. “Memang seharusnya, kenalan itu memakai nama lengkap,” ucapnya setengah tersenyum. “Aku Jonathan Lee,” tambahnya kemudian.

“Aku Liliana Sasmita, biasa dipanggil Li.”

“Dan aku pun biasa dipanggil Lee.”

Kami tertawa lagi karena hal yang sama. Di sela tawa, ponselku berbunyi. Rilla. 

“Iya, La! Gue on the way. Bye!” ucapku cepat-cepat, bahkan sebelum sahabatku itu mengucapkan satu patah kata pun. “Hmm, ya, ya.” Telepon pun ditutup, lalu kumasukkan ponsel ke saku celana.

“Rumahmu sudah dekat, kan?” tanya Lee sesaat kemudian. Telunjuknya yang panjang menuding ke kiri.

Aku menyipitkan mata kapadanya. ”Kok, Mas tahu?” Sepersekian detik, aku bergidik ngeri! Jangan-jangan dia adalah stalker?! Buru-buru, kuempaskan pikiran menakutkan yang tak beralasan itu.

“Bener, ya? Padahal aku iseng menebak saja tadi,” jawabnya lirih.

Fiuh... ternyata dia bukan stalker. Syukurlah....

Kuperhatikan, laki-laki itu menekuri trotoar. Mungkin sudah menjadi kebiasaannya saat berbicara, Lee hampir tidak pernah memandang lawan bicaranya. “Panggil Lee aja, nggak usah ‘Mas’ segala,” sambungnya lagi.

Aku mengangguk mengerti, lalu bangkit dari kursi dan mengusap celanaku yang ada noda merah berbentuk garis pendek pada bagian paha. Ini pasti noda saus tadi siang. “Aku pulang dulu, ya. Sekali lagi, makasih atas bantuannya,” pamitku.

Lee ikut bangkit dari kursi juga. “Ayo, kuantar saja,” tawarnya lirih.

“Nggak usah, Mas. Udah deket, kok.”

Dia menatapku sebentar, pertama kalinya kami berinteraksi mata lagi setelah dari tadi dia hanya menatap trotoar. ”Lee, bukan Mas,”dia tersenyum tipis. ”Bagaimana kalau cowok yang ngeganggu kamu tadi itu nungguin di depan rumah kamu?”

Mendadak jantungku berdegup kencang. Seperti ada beduk di dalamnya yang ditabuh berulang-ulang. 

“Beneran? Nggak ngerepotin Mas, nih?”

 “Lee,” ralatnya lagi saat aku keceplosan memanggilnya.

“Eh, iya, uhm... Lee,” jawabku kikuk. 

“Nggak apa-apa.”

Toh, Lee tadi sudah menolongku. Kurasa menerima tawarannya untuk mengantarku pulang bukan ide buruk. 

Aku baru menyadari sesuatu malam ini. Ternyata, mengobrol dengan icy guy semacam Lee, bisa memberiku sensasi yang jauh berbeda dengan saat mengobrol bersama Rendra yang banyak omong. Terasa lebih mengasyikkan dan... menantang.

Kami pun lantas berjalan bersebelahan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

***                             

Hari ini Selasa, jadi aku tidak perlu masuk kerja. Kalau semua orang libur pada hari Minggu, tidak dengan kami, kuli kedai makanan dan minuman. Kami dilarang 'libur' di hari libur, yaitu akhir pekan dan tanggal merah. Konon, hari libur merupakan puncak kerepotan kami. Jadi Hera libur di hari Senin, aku di hari Selasa, dan Kiki di hari Rabu. Lihat! Libur saja tidak boleh bersamaan. Dunia kuli jelata memang kejam.

Tumben, hari ini Rilla bangun lebih pagi dari biasanya. Gadis itu berbaring di sebelahku, membuatku terpaksa membuka mata. Padahal, rencananya aku mau tidur sampai siang. “Lo, ada apa sih, La? Ganggu orang tidur aja, deh!” protesku sambil mengucek mata dan bibir manyun.

Lihat selengkapnya