BUBBLE LIGHT

Erniwati
Chapter #9

Bubble 8: Pain

Tidak sampai lima belas menit, taksi telah berhenti di depan rumah minimalis berlantai dua. Dindingnya bercat hitam, dengan gerbang tidak terkunci. Dari luar, rumah itu terlihat gelap dan sepi, seperti tak berpenghuni. Mungkin Lee lah satu-satunya orang yang tinggal di sana. Aku bisa paham kenapa kondisi rumahnya tampak gelap begini, kejadian di kafe tadi membuatku menyimpulkan bahwa laki-laki itu tidak menyukai cahaya.

Laki-laki itu menyerahkan serangkaian kunci kepadaku. Dengan bantuan sorot lampu jalan, aku memeriksa satu per satu anak kunci di tanganku. Hingga akhirnya aku mendapati satu yang ada tulisan 'Home' di kertas kecil yang ditempel memakai selotip pada tangkai kunci. Setelah berhasil membuka pintu, aku membantu Lee masuk ke rumahnya. Dia sudah bertenaga untuk berjalan sendiri, meskipun masih perlu kupapah. Sepertinya keadaan pria itu sudah lebih baik daripada saat di kafe tadi.

Gelap! Aku mencari-cari tombol sakelar di dinding. Ketemu satu, tapi hanya lampu temaram yang menyala. Aku membantu Lee duduk di sofa kulit di ruang tamu lalu meletakkan barang Lee dan tasku di meja. Selanjutnya aku beranjak mencari sakelar lainnya agar bisa menambah penerangan lampu di rumah ini.  

Aku menemukan dua tombol sakelar, tapi keduanya tidak berfungsi. “Lee, tombol untuk lampu yang lebih terang di sebelah mana, ya?” Aku menoleh kepada Lee yang menyandarkan punggung dan kepalanya ke sandaran sofa.

“Nggak ada,” jawabnya lirih. 

What?! Rumah sebagus ini tidak memiliki lampu yang memadai. Lelucon macam apa ini?

“Tolong ambilkan aku obat di laci bawah aquarium, Li. Kalau nggak bisa melihat dengan jelas, kamu bisa memakai lampu ponsel,” tambahnya lagi yang membuatku memutar mata dengan refleks. 

Namanya Weirdo ya, tetap weird.

Aku berjalan ke tempat yang dimaksud. Dengan bantuan sinar dari ponsel, kubuka laci kayu yang juga berwarna hitam. Mungkin hitam merupakan satu-satunya warna yang disukai Lee. 

Setelah sibuk mencari, mataku membelalak pada puluhan botol obat berwarna putih yang tertata rapi di dalam laci. “Obatnya yang mana, Lee?” tanyaku menoleh kepada Lee.

“Yang berlabel biru dengan tulisan huruf Mandarin,” jawabnya lirih, tapi masih bisa kudengar dengan jelas.

Aku pun mulai mencari botol yang disebutkan Lee. Tidak sampai satu menit sudah ketemu. Aku tidak paham obat apa ini, karena semua tulisannya menggunakan huruf kanji Mandarin.

Aku mengamati botol itu sebentar, lalu berjalan ke arah Lee. “Kamu butuh berapa butir, Lee?” tanyaku setelah sampai di sampingnya. 

Pria itu membuka mata dan mengangkat kepalanya perlahan. “Berikan saja padaku, aku bisa ngambil sendiri.” Dia mengulurkan tangannya uutuk mengambil botol obat dari tanganku “Oh iya, maaf Li, bisa tolong ambilin aku air? Dispenser ada di pojok ruangan.” Laki-laki itu meletakkan kepalanya lagi ke sandaran sofa. Tampak kepayahan di setiap gerakannya.

“Oke.” Aku beranjak ke tempat dispenser yang tidak jauh dari laci tadi. “Gelasnya di mana?” Mungkin kalau penerangan rumah ini terang, aku akan mencari alat minum itu sendiri. Meskipun nasibku sedikit gelap, tapi aku tidak biasa bekerja atau mencari barang di dalam gelap seperti sekarang.

“Di lemari kecil, di sebelah kanan dispenser, rak pertama dari atas.”

Aku menuruti instruksinya, lalu kembali ke dekat Lee sambil membawa segelas air untuknya.

Setelah minum obat, Lee menaruh kepalanya kembali pada sandaran sofa. “Maaf ya Li, udah ngerepotin kamu,” ucapnya lirih. Dia mengangkat kepalanya lagi hanya untuk melihat ekspresiku. Mungkin.

“Santai aja, lagi! Nggak usah bilang begitu. Lagian, kamu juga sudah sering menolongku.” Aku memandangi wajahnya sejenak. Kasihan, masih muda begini, sudah sakit-sakitan. Entah sakit apa, aku pun tidak mengerti. 

Untuk sepuluh menit selanjutnya, kami saling diam. Canggung!

“Kamu udah baikan, Lee? Yakin, nggak mau ke dokter?” Aku berusaha memecah keheningan. Di hatiku timbul rasa khawatir, tapi tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.

Dia mengangguk lemah. “Nggak usah. Aku sudah terbiasa, kok.” Jemarinya mengusap-usap punggung tangannya secara bergantian.

“Apa? Sudah biasa?” Alisku bertaut dengan mata menyipit.

“Maksudku... ini bukanlah hal yang mengharuskanku pergi ke dokter. Akunya saja tadi yang kebablasan.” 

Aku tidak paham sama sekali dengan apa yang diucapkannya, jadi aku juga tidak tahu bagaimana menanggapinya.

Detik berikutnya, lagi-lagi keheningan menyergap kami.

***                            

Jam baru menujukkan pukul tujuh pagi tapi aku sudah berpakaian rapi. Aku mengepang rambutku menjadi dua, dengan menyisakan sedikit rambut bagian terluar agar terkesan berantakan alami. Lalu aku menyisir poniku memakai jari tangan. Begini enaknya mempunyai rambut lurus, aku bisa hidup tenang tanpa sisir dalam waktu yang relatif lama karena rambutku mudah diatur dan tidak gampang berantakan. Rilla selalu bilang bahwa rambutku mirip iklan sampo.

“Semalam lo lembur ya, Li?” Seperti biasa, suara Rilla selalu menyambut pagiku dengan segala bentuk kekepoannya. Mungkin sisi lain dari kepeduliannya padaku.

Semalam aku sampai rumah pukul dua belas. Aku langsung mandi, lalu beraktivitas segala macam, hingga akhirnya beres sekitar pukul dua dini hari. Sialnya, aku malah tidak bisa tidur sampai pukul lima pagi. Pikiranku dipenuhi dengan pria vampir itu. Aku khawatir dengan keadaannya. Dia sepertinya hidup sendirian di rumah itu. Ke mana keluarganya, ya? 

Pemikiran soal dia yang mungkin perantau sepertiku, membuatku bertambah mengkhawatirkannya.

“Li, are you okay? Akhir-akhir ini lo suka gagal fokus, deh! Ditanyain suka kagak nyambung, kadang malah nggak ngejawab. What's up, Girl?” Rilla menepuk bahuku. Gadis itu berkalung handuk dengan rambut dijepit asal ke atas.

Aku berusaha menyembunyikan kekagetanku dengan menyengir lebar. “Masa, sih? Mungkin aku perlu minum air putih lebih banyak.” 

“Dan sekarang juga mau lembur lagi?” tanyanya lagi.

“Iya....” Aku mulai berputus asa untuk mengabaikan Rilla.

“Tumben, kafe gituan juga ada lembur, ya? Emang ada acara apa, sih?” Sepertinya gadis itu memang ngotot ingin tahu. Keras kepala!

Sial! Lama-lama seorang Amerilla Shihab semakin menyebalkan. “Emang harus ada acara, baru boleh lembur?!” Aku mengusap gelang merahku yang mulai kusam di pergelangan. Aku harus membeli satu yang baru kalau gajian nanti.

Dia berdeham dan menyandarkan bahunya ke dinding. “Lebih tepatnya, harus ada alasan kenapa yang punya kafe nyuruh lo lembur.”

Sebenarnya aku mau bilang, ”Tanyain aja ke bos gue!” Tapi, setelah kupikir ulang, aku takut kalau dia menanggapinya dengan serius dan benar-benar berniat menanyakannya. Karena, sejak pertunangan dadakannya, gadis itu makin serius sekali. 

“Oke. Lembur terjadi karena ada perapian gudang. Di mana barang lama dirapikan atau dikeluarkan karena barang baru akan datang hari ini. Masih ada pertanyaan, Buk?” jelasku pada Rilla.

“Oh pantas saja, jam segini lo udah rapi. Ya, sudah. Lumayan, buat tambahan jajan.”

Aku mengamati diriku sendiri di cermin yang menempel pada dinding. Sebuah Hoodie merah marun bergambar Mickey Mouse dan jeans belel hitam membalut tubuh tinggi semampaiku. “Ralat/ Buat bayar kontrakan dan makan, Buk. Jajanku kan, nggak semahal itu.” Kupasang wajah manyun, agar gadis itu tahu diri dan bergegas pergi saja.

Rilla terkekeh sambil garuk-garuk kepala. Sudah jam segini, boro-boro rambutnya dirapikan, dia mandi saja belum. Padahal gadis itu membutuhkan waktu paling lama untuk menata rambutnya.

Aku membuka kedua kaki dan melakukan peregangan otot. “Lo sendiri, nggak ada kerja. Kok jam segini belum rapi?” Mataku memandanginya dari ujung kaki sampai ujung rambut.

“Ada. Tapi gue dapat jam rada siang, jadi santai. Hari ini kan, Selasa. Lo lupa, ya?” Dia memutar matanya. Kakinya seakan-akan terpatri di tanah, tidak mau pergi meninggalkanku sendirian dengan tenang.

“Oh iya, ya.” Once again! Kenapa aku tulalit begini, sih? Setiap Selasa, temanku itu berangkatnya pukul sepuluh pagi. Mungkin sakit encok yang keseringan juga bisa menyebabkan otak tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Lihat selengkapnya