Porfiria atau bahasa aslinya adalah Porphyria. Aku tidak pernah mendengar kata itu seumur hidupku. Meskipun kemarin, Lee sempat menjelaskan panjang lebar tentang penyakit, atau lebih tepatnya, kelainan bawaan itu. Hampir seluruh perhatianku saat itu tercurah pada keadaannya, bukan penjelasannya. Hanya sedikit dari penjelasannya yang kupahami.
Setelah Rilla berangkat kerja, aku duduk di kasur, bersandar pada dinding dan membuka Google di layar android-ku. Akhir-akhir ini, aku memang jarang sekali membuka mesin pencarian itu, waktu online-ku lebih banyak habis di Instagram dan WhatsApp.
Aku mengetik kata porfiria, dan munculah banyak penjelasan tentang hal itu. Aku masih punya banyak waktu, jadi aku bertekad untuk membacanya satu per satu hingga aku bisa memahami apa yang dialami oleh Lee.
Kata Lee kemarin, porfiria adalah jenis penyakit keturunan kelainan darah, biasa disebut dengan penyakit vampir atau vampire disease. Di salah satu artikel yang sedang kubaca ini dijelaskan bahwa porfiria adalah sekumpulan kelainan yang disebabkan oleh penumpukan zat porfirin¹, yang mana berdampak negatif pada kulit dan sistem saraf manusia. Tubuh membutuhkan porfirin untuk menghasilkan heme² yang akan digunakan oleh hemoglobin atau sel darah merah untuk membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.
Masalahnya, yang terjadi pada porfiria adalah kekurangan enzim yang mengubah porfirin menjadi heme. Kekurangan enzim itulah yang menyebabkan produksi heme tidak mencukupi. Porfirin pun kemudian menumpuk di dalam tubuh, tapi tidak bisa digunakan dengan maksimal dalam pembuatan heme, karena ada kekurangan salah satu atau lebih zat enzimnya.
Penyakit ini didapatkan dari faktor keturunan atau genetika. Berdasarkan dampaknya, jenis penyakit ini ada tiga: porfiria kulit, saraf, atau campuran keduanya. Kalau sudah menyerang saraf, maka akan dikategorikan akut dan memerlukan perawatan khusus dan intensif. Penyakit ini menyerang antara 1 sampai 100 dari 50.000 orang di dunia.
Jonathan Lee, termasuk penderita porfiria kulit atau disebut Porphyria Cutanea Tarda atau PCT. Penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Satu-satunya yang perlu dilakukan hanyalah menghindari penyebab kambuh atau bertambah parahnya dengan cara menghindari sinar matahari atau lampu yang sangat terang, seperti Lee malam itu. Selain sinar matahari dan lampu terang, gaya hidup seperti alkohol, merokok, dan stress atau penyakit lain seperti HIV dan hepatitis C juga bisa menjadi pemicu potensial kambuhnya penyakit ini.
Masih kata Lee, biasanya dia akan merasakan gatal dan nyeri di kulit yang tertimpa cahaya atau sinar, kadang kulitnya sampai memerah atau agak melepuh seperti luka terbakar. Penderita porfiria juga akan ditumbuhi rambut pada bagian kulit yang sering tertimpa sinar atau cahaya, hingga warna kulitnya (yang terkena sinar) akan sedikit menggelap.
Soal lemas dan muntahnya kemarin, itu bukan dari porfiria yang dialami Lee, melainkan dari efek obat dan kelelahan. Dia seharian sibuk mengerjakan sesuatu sehingga menyebabkan lupa makan dan minum obat. Jadi kesimpulan versi Lee, malam itu dia dalam keadaan kelelahan, kelaparan, stres, lupa minum obat, dan terkena sinar terang. That's why, PCT-nya kambuh. Pantas saja, saat aku ingin membawanya ke rumah sakit, dia malah kukuh menolak.
Kemarin aku juga bertanya, kenapa dia tidak pergi meninggalkan kafe, saat tahu kalau kami akan menyalakan lampu terang? Katanya, dia lagi fokus mengerjakan sesuatu jadi malas bangkit. Lagi pula, dulu juga pernah terpapar sinar terang begitu dan tidak terjadi apa-apa dengannya. Mungkin penyebab kejadian malam itu lebih karena stress kelelahan dan lupa minum obat, bukan karena lampu terang semata.
Waktu mendengar ucapan Lee kemarin, aku bisa sedikit bernapas lega karena penyakitnya tidak terkategori porfiria akut yang menyerang saraf tubuh. Walaupun sesungguhnya, hal itu tidak sepenuhnya membuat kekhawatiranku sirna.
Lee terdiagnosa porfiria pada umur delapan belas tahun. Berarti sudah delapan tahun dia tidak merasakan hangatnya mentari ataupun terangnya sinar lampu.
Kemarin, kami berbincang di rumahnya sampai malam. Lebih tepatnya, sampai kami selesai makan malam, karena setelah itu aku harus pulang.
“Bagaimana rasanya, Lee?” tanyaku kemarin saat kami makan siang. Kami memesan makanan lewat ojek online, jadi aku dan Lee tidak perlu keluar rumah. Ternyata dia penyuka sushi, jadi dia memesan makanan khas Jepang itu dan aku sendiri memesan mi ramen.
Dia memasukkan sepotong seafood sushi ke dalam mulutnya dengan sumpit. “Rasa apa?” tanyanya balik dengan mulut penuh makanan, sehingga suaranya tidak begitu jelas. Matanya yang tak berkacamata memandangku penasaran.
Aku mengaduk-aduk mi ramen dengan sumpit sambil melihat hidungnya yang ternyata sedikit bengkok. “Ya... itu. Hmmm, tentang penyakitmu...?” ucapku ragu dan hati-hati.
Tangannya meletakkan sumpitnya di piring. Setelah mengambil napas panjang, dia pun menjawab, “Rasanya hidup nggak adil dan jahat. Lalu, sepanjang waktu, aku hanya ingin marah dan bertanya-tanya pada Tuhan, kenapa harus aku yang mengalami semua itu? Aku akan semakin kesal saat mengetahui fakta bahwa orang-orang menjulukiku vampir.”
Aku tersedak kuah mi yang pedas, membuatku mengeluarkan air mata dan ingus. Kerongkonganku seperti terbakar. Semoga orang yang dimaksudnya itu bukan aku!
Sambil mengelap mulut, aku membersit ingus dengan beberapa lembar tisu sekaligus. Sial, mendadak mi ramen ini rasanya pedas sekali! Setelah kekalutanku mereda, aku berbicara lagi, “Kamu hebat, ya...? Sanggup melalui semua itu selama ini. Pasti nggak mudah.”
Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, bibir pucatnya menyembulkan senyuman miris. “Mau gimana lagi? Aku nggak punya pilihan untuk nggak melaluinya. Aku terpaksa.”
Aku meletakkan sumpit di atas mangkuk dan memandanginya lagi. “Bukannya setiap orang memiliki moment ‘terpaksa’nya sendiri-sendiri. Untuk grow up... demi kebaikan orang itu sendiri? Kamu yang harus ngalami porfiria, dan aku yang harus kerja di kafe, bukan jadi guru.” Setelahnya, aku bercerita bagaimana aku mesti rela melepas harapanku untuk mengajar, dan malah ‘tersesat’ bekerja di kafe.
“Tapi kalau kamu nggak bekerja di sana, mungkin kita nggak akan pernah ketemu. Iya, kan?” ucapnya setelah mendengarkan ceritaku dengan saksama.
“Dan kalau kamu nggak punya PCT, mungkin sekarang aku nggak di sini!”
***
Jangan sering-sering berbohong, bisa saja kebohonganmu itu jadi kenyataan yang menyebalkan. Itulah yag terjadi padaku saat ini. Kemarin pagi, aku berbohong pada Rilla bahwa di kafe ada pembenahan gudang. And do you know what? Hal itu menjadi nyata! Baru saja aku sampai pintu kafe, Hera sudah memberitahuku tentang tugas pergudangan!
“Buat apa gudang dirapiin? Udah kayak perusahaan gede aja,” sungutku sambil berjalan terus ke ruang belakang.
Hera mengekorku sambil men-scroll ponsel. “Tanyakan pada bos yang berkuasa!” Gadis itu cekikikan, entah karena konten layar ponsel atau jawabannya untukku.
Aku menarik bibir bawah. “Siapa? Rendra? Perasaan, dia bukan bosnya, deh!” Setelah meletakkan tas di loker, aku meraih celemek hitam yang menggantung di dinding dan memakainya.
Hera menyengir lebar. “Rendra itu perpanjangan tangan si Big Bos.”
Setelah persiapan pembukaan kafe sudah beres semua. Kiki bertugas di kafe bagian depan, sedangkan aku dan Hera bekerja membenahi isi gudang sambil mendata barang.
Sembari menata barang di rak, Hera memberondongku dengan selusin pertanyaan yang semuanya tentang Lee malam itu. Pasti Kiki sudah laporan semuanya pada Hera, dari A sampai Z.
Gadis itu ingin mendengar rekap ulangnya dariku. Menurut Hera sih, Kiki bukanlah story teller yang berbakat. Selain itu, Kiki hanya melihat sebagian cerita, jadi kurang seru, rasanya seperti digantung. Dasar, Hera lebay!
Dengan terpaksa, aku menceritakan kembali kisah Jonathan Lee saat kambuh di Bubble Lee, tentu saja tidak semua kuceritakan. Hanya kronologi di kafe, taksi, dan sedikit tambahan tentang alamat rumah dan keadaan sekitarnya saja. Sudah! Soal keadaan di dalam rumah dan hal lain tentang Lee, termasuk penyakit yang diidap laki-laki itu, aku sembunyikan baik-baik dari Hera. Entahlah, aku tidak suka berbagi kisah tentang Lee. Aku ingin kisah ini menjadi rahasiaku saja.
“Kasihan, ya? Anak semuda itu sudah sakit-sakitan. Eh, tapi aku sudah menebaknya dari awal, sih. Dari wajah dan tubuhnya juga sudah kelihatan,” cerocos Hera sambil menumpuk kemasan creamer di sebelah tumpukan kaleng susu.
Aku mendengkus kesal. Dengan mata masih fokus pada kolom daftar barang pada buku di tangan, aku menanggapinya asal. “Tapi, kayaknya nggak parah, kok. Buktinya dia nggak mau dibawa ke rumah sakit. Eh, creamer ada berapa box, Ra?”
Hera menghitung ulang tumpukan kotak MaxCreamer yang berwarna merah-putih di depannya. “Dua puluh.” Mata bulatnya menatapku sebentar. “Dia malu kali, Li!”
“Kita lihat aja nanti, dia datang atau nggak.” Semoga saja dia datang dengan keadaan yang baik-baik saja. Sambil terus mengulang kalimat harapanku dalam hati, kualihkan pandanganku dari Hera ke kolom barang.
“Semoga saja nggak!” ucap Hera yang mulai menata botol saus.
“Kenapa?” pekikku, yang kusesali sedetik kemudian. Kenapa aku mesti bertanya, pakai memekik pula, sih?!
Hera menoleh ke arahku. “Orang aneh begitu. Apalagi sekarang malah semakin menakutkan. Untung aja malam itu kamu yang di sini. Coba kalau aku, pasti udah panik sampai pingsan.”
Syukurlah, Hera tidak mencurigai intonasi di ucapanku sebelumnya. Aku membayangkan apa yang akan terjadi kalau Hera tahu aku berkunjung ke rumah Lee sampai jam delapan malam.
Sebenarnya Lee masih ingin mengajakku menonton film di rumahnya. Tapi, selain karena capek, aku juga tahu diri. Pesan Ibuk, perempuan yang baik itu, tidak boleh kebablasan kalau main ke rumah orang. Jangan sampai kemalaman.
Hera komat-kamit saat menghitung tumpukan paper cup. “Eh, Li! Kamu tahu tidak...?” tanyanya lagi di sela pekerjaan.
“Apa lagi?” Semoga bukan tentang Lee lagi!
“Makanya, tunggu dulu sampai aku selesai ngomong.” Gadis berponi itu memutar mata malas-malasan, bibirnya manyun.