BUBBLE LIGHT

Erniwati
Chapter #11

Bubble 10: Unexpected

Sungguh, aku tidak begitu mendengar apa yang dikatakan Hera dalam perjalanan pulang kami. Untung saja dia tidak bertanya apa-apa, sehingga aku tidak perlu malu ketahuan. Seluruh otakku terisi oleh Lee. Aku khawatir pria cungkring itu akan tersinggung atau marah padaku. 

Gila! Aku sepertinya benar-benar gila. Aku baru mengenalnya beberapa hari yang lalu, dan sekarang pikiranku sudah tersesaki ribuan hal tentangnya. Dulu, aku pernah mengalami hal ini, saat dengan Deva, tapi tidak sampai separah ini. Rasanya seperti mendapatkan mainan baru yang membuat hatiku diliputi kekhawatiran kalau mainan itu akan rusak atau hilang.

Satu lagi yang aneh, sebelum aku dan Lee berkenalan, dia sering hadir di dalam tidurku. Tapi, setelah kenal dan berteman dengannya, aku tidak memimpikannya lagi. Aneh, kan? 

Mungkin, Lee memiliki jin jahat di dalam tubuhnya yang bertugas menyiksa orang yang membencinya. Buktinya, setelah aku tidak membencinya, kejadian itu tidak menimpaku lagi. Atau karena sudah menyiksaku di alam sadar, jadi alam mimpiku terbebaskan. Liliana mulai gila!

Aku dan Hera berpisah di perempatan pertama. Dia belok ke kanan, sedangkan aku belok ke kiri, tapi aku hanya berjalan beberapa langkah. Setelah kira-kira dua menit, aku menengok ke belakang. Ketika Hera sudah berbelok memasuki gang kecil, aku berbalik jalan ke perempatan dan meneruskan langkahku di jalan semula yang lurus. Rumah Lee masih dua puluh menit dari sini kalau jalan kaki.

Sebenarnya, aku bisa saja lewat jalan depan kontrakanku, malah lebih dekat. Tapi resiko dilihat Rilla dan tetangga, membuatku memilih jalur yang lebih jauh tapi aman. Seharusnya aku tadi meminta Lee untuk menungguku di bench chair trotoar saja. Jadi aku tidak perlu berjalan terlalu jauh sampai ke rumahnya seperti ini.

Bergegas, aku menyusuri trotoar Permata Hijau. Jalanan masih ramai, meskipun sudah hampir pukul setengah sebelas malam. Bibirku langsung tersenyum lebar saat dari kejauhan kulihat Lee duduk di bench chair, sekitar sepuluh meter di depanku. 

Bagaimana dia bisa ada di situ? Bagaimana dia tahu apa yang kupikirkan? Apakah ini yang dinamakan dengan Law of Attraction?! 

Melihat kedatanganku, laki-laki berkacamata itu berdiri dan tersenyum lebar. Dia mementangkan kedua tangannya, seakan ingin menyambut dan memelukku. Tapi sedetik kemudian, dia menurunkan tangan dan memasukkannya ke saku samping celana kargonya yang berwarna navy. Pria itu masih memakai jaket dan topi yang sama seperti biasanya.

“Kok, kamu di sini? Atau aku emang salah ketik tadi?” Senyumku masih mengembang lebar. Padahal baru sehari aku tidak melihatnya, tapi rasanya sudah seperti berhari- hari saja.

Dia tersenyum lalu menunduk sebentar. “Nggak. Aku hanya menduga saja, kamu akan lewat sini.” Pria itu menatapku sebentar. “Mau jalan ke rumah atau duduk di sini dulu?” Tangannya menunjuk bench chair yang baru saja didudukinya. Kursi tempat kami berkenalan beberapa waktu lalu.

Bagaimana dugaannya bisa pas begitu, ya? Setelah berpikir sejenak, aku pun memutuskan untuk duduk di kursi saja. Tidak berapa lama pun dia ikut duduk di sebelahku.

“Tidak mau duduk di berandaku?” kata Lee memiringkan badannya agar bisa berhadapan denganku.

Aku menggeleng cepat. “Sepertinya di sini lebih enak, deh!” Dan lebih aman juga, daripada duduk berdua dengan pria asing di rumahnya pada pertengahan malam.

“Kamu sayang banget sama teman kamu, ya?” tanyanya setelah kami diam sesaat. Dia menumpangkan lengan kanannya di sandaran kursi berwarna cokelat itu, dengan pandangan ke arahku, lalu ke dudukan kursi di antara kami.

Keningku mengernyit. “Lah, dia aja baik sama aku, masa aku harus jahatin dia?!” Kenapa dia berkata begitu, ya? Apakah karena aku memilih pulang bareng Hera daripada dengannya? Tapi, akhirnya kan, kami bertemu juga, malah lebih santai.

Dia tertawa kecil sambil mengusap wajahnya. “Trus, saat kamu bilang nggak waras itu, maksud kamu... bos kafe?” tanyanya.

Sebenarnya aku mau bilang, 'Dan kamu juga, saat belum menjadi temanku,' tapi aku mengurungkannya. Aku hanya tersenyum tanpa sepatah kata. Kepalaku juga tidak mengangguk maupun menggeleng, bingung mau menjawab bagaimana.

“Bosnya kenapa? Galak?”

“Enggak!” Aku menggeleng cepat. Rendra tidak galak sama sekali.

“Terus?” Kali ini sorot matanya menatapku tanpa kedip, seperti seorang kakak yang menginterogasi adiknya

Apakah harus kubilang kalau Rendra sepertinya tertarik denganku dan beberapa kali mengerjaiku hanya karena ingin bersamaku. 

Tapi jangan-jangan itu hanya perasaanku saja. Bagaimana kalau Lee bilang, 'Ah, Li, pede amat kamu. Paling juga di mata Rendra, kamu itu gadis dodol yang lumayan buat dijadikan bahan hiburan, tapi tidak untuk dijadikan pasangan’ ”Dengan susah payah aku menelan ludah. Otakku berpikir keras, mencari jawaban yang tepat untuk Lee.

“Li...?” Suara rendah Lee mengagetkanku. Dia masih menatapku dengan wajah yang seakan-akan menunggu jawabanku, yang menurutku tidak terlalu penting itu.

Aku gelagapan dengan muka yang mungkin sudah merona sekarang. “Eh, iya! Maksudku, enggak! Dia ramah tapi suka memerintah, kerjaannya hanya nanya-nanya dan memerintah. Mana kerjaan banyak, sedangkan tenaga terbatas, nggak sesuai banget dengan gaji, deh! Serasa jadi romusha di zaman Jepang. Poor me.” Akhirnya aku malah menumpahkan beberapa kekesalanku.

Dia terkekeh dan membenahi letak kacamatanya, seperti biasa. “Ya, namanya juga bos.”

Mataku melotot pada Lee. “Emang kalau bos, bisa seenak jidatnya, gitu?!” Aku mengembuskan napas kasar.

Tertawanya semakin keras, sampai membuat orang yang berjalan di depan kami menoleh kepadanya. “Oh... jadi itulah kenapa tempo hari kamu berniat ingin membuka kafe sendiri dan keluar dari sana?” Lee memperbaiki duduknya. Sekarang dia menghadapkan tubuhnya ke depan dan menyandarkan punggungnya ke belakang. Sepertinya laki-laki itu ingin memberiku kesempatan untuk menyembunyikan rasa tersipuku

Kututup wajahku dengan kedua tangan karena malu. “Lah, kamu masih inget, ya? Aku aja udah hampir lupa kalau pernah ngucapin kalimat itu.” Sebenarnya aku tidak sepenuhnya lupa. Hanya malu saja kalau harus mengakuinya.

Sekarang Lee hanya tertawa kecil. Mungkin tenaganya sudah habis untuk beberapa kali tertawa keras tadi.

“Kenapa dilupakan? Bukannya bagus, kalau kamu berpikir setingkat lebih maju dari yang lainnya? Sementara orang lain berpikir untuk sebuah pekerjaan bagus, kamu berpikir untuk usaha yang bagus. Kalau kamu menjadi pengusaha, kamu akan memberi manfaat lebih untuk sesama.” Dia meluruskan kedua kakinya ke depan, lalu menumpangkan kaki kanan di atas kaki kiri. Tangannya terlipat di dadanya.

Apakah Lee sorang motivator? Haruskah kubilang padanya, kalau aku tercipta untuk menjadi guru? Sebuah profesi yang juga bisa memberi manfaat bagi sesama.

Nyatanya, aku hanya bisa tersenyum sambil menatap langit. Kakiku ikut berselonjor, tapi aku tidak menumpuknya.

“Emangnya di langit ada apa, sih?” Ucapannya membuatku menoleh kepadanya yang sekarang juga melihat ke langit.

“Siapa tahu aja, ada bintang jatuh,” jawabku asal, lalu aku ikut mendongak ke langit lagi.

Nonsense.”

“Kan, bintang jatuh itu benar adanya? Sebuah peristiwa alam.” Aku berpikir sejenak. “Sepertinya aku mempelajari hal itu di sekolah.” Aku tak boleh kalah.

Laki-laki itu tampak salah tingkah. “Kamu nggak salah, meskipun aku tahu, yang kamu maksud bukan itu.” Dia seperti meragukan ucapannya. “Bintang jatuh itu sendiri, merupakan pemahaman yang salah. Yang ada hanya, meteor yang sedang hancur terbakar di atmosfer bumi, bukan bintang sungguhan,” jelasnya dengan mata tertuju pada trotoar.

Aku tidak ingin mendengar penjelasannya tentang meteor akan menjadi seperti penjelasannya tentang teh tempo hari. Jadi aku mengalihkan topik. “Kamu nggak percaya keajaiban ya, Lee?” Aku menolehnya lagi.

Dia memandang lurus ke depan dengan mulut mengatup rapat dan kelihatan seperti menerawang. Sesaat kemudian, laki-laki itu melepas kacamatanya dan memijit-mijit lekukan di antara kedua mata sipitnya. Seperti orang kelelahan.

“Aku sudah terlalu lama memercayainya, bahkan sampai kalah dan kelelahan.” Dia jeda dan mengambil napas dalam. “Terkadang, bayangan kita akan sebuah keajaiban, berhasil menipu kita yang seharusnya bekerja keras, malah berdiam dan menunggu keajaiban itu datang.” 

Tangannya mengembalikan kacamata oval itu ke tempat semula.

Kenapa suasananya malah jadi mencekam begini, ya?! Sepertinya topik yang kupilih tadi salah lagi. Mulutku mengatup diam dengan tangan memainkan gelang merah di pergelangan kiri. Aku menoleh padanya lagi, sekarang mata laki-laki itu menatap jalanan yang sudah mulai berkurang kendaraannya.

Lihat selengkapnya