Dulu, sebelum mengenal Lee, aku selalu menghabiskan hari libur dengan tidur seharian di kamar, sambil berharap aku bisa mengenyahkan penyakit encokku ketika bangun. Tapi semenjak aku mengenal pria itu, hari Selasa-ku tidak sama lagi. Aku selalu terbangun di pagi hari, seperti saat kerja dan tidak bisa tidur kembali.
Kepalaku dipenuhi dengan gambaran Lee yang duduk sendirian di ruang tamu temaramnya. Dan hal itu selalu berhasil membuatku merasa kasihan dan ingin mengunjunginya. Mungkin aku tidak bisa meringankan beban penyakit yang menimpa laki-laki itu, tapi aku bisa menemaninya dalam melewati kesepian.
Tidak jarang, setelah aku pulang kerja, kami bertemu dan duduk di kursi trotoar barang satu jam, hanya untuk mengobrol tentang recehanku ataupun hal-hal yang dia ketahui. Atau untuk saling mengeluh kenapa langit Jakarta jarang menampakkan bintangnya, tidak seperti langit Madiun (kataku) dan langit Taiwan (katanya).
Laki-laki itu tidak bisa berceloteh ringan sepertiku, sebagaimana aku tidak bisa membahas hal berat sepertinya. Tapi, kami saling menyimak dan menganggukkan kepala. Dia akan tertawa dengan kedodolanku dan aku berusaha sebisa mungkin menyimak perkataannya, meskipun seringnya aku mengantuk lebih dulu. Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku merasa nyaman saat bersamanya? Apakah hanya karena aku merasa kasihan kepadanya?
Tepat pukul delapan, aku sudah berdiri di bibir pintu rumah Lee. Hari ini dia memakai kaus lengan pendek hitam bertuliskan huruf Mandarin dan celana training yang juga hitam dengan tiga garis vertikal putih di dua sisinya. Ini pertama kalinya aku melihat lengan bawahnya yang ternyata tidak ditumbuhi rambut seperti punggung tangannya.
Aku pernah membaca kalau penderita porfiria kulit memang akan ditumbuhi rambut dikulit yang sering terekspos sinar matahari. Lee pernah bilang, bahwa dia juga pernah mengalami kulitnya melepuh, saat dirinya memaksa untuk berada di bawah sinar matahari.
“Sori, aku ngebangunin kamu, ya?”
Laki-laki itu menyembulkan kepalanya dari balik pintu. “Nggak, aku sudah bangun sejak subuh tadi dan nggak bisa tidur lagi. Jadi aku bersih-bersih rumah saja.” Dia memberiku jalan untuk masuk.
Meskipun habis bersih-bersih, laki-laki itu tetap tidak berkeringat. Bahkan hidungku masih menangkap aroma sabun dari tubuhnya. Kuulurkan kantong plastik merah bening, berisi dua bungkusan kertas minyak berkaret kepadanya. “Aku tadi membeli nasi rames pada ibu yang mangkal di depan pos satpam Galenia. Kata Hera, nasi rames buatannya enak banget,” ucapku sambil menoleh ke arahnya yang berjalan di sampingku. “Kamu bersih-bersih sendirian?”
Lee mengambil kantong nasi rames dari tanganku. “Memangnya harus sama siapa? Kamu?”
Aku tertawa lebar sambil memukul pundaknya. “Boleh. Asal kamu bisa mencabut kutukan encok ini dari tubuh aku.”
Dia terkekeh lalu berjalan lebih dulu menuju dispenser. Tangannya mengambil dua mug merah bertuliskan 101 dari lemari dan meletakkannya di meja kecil di depannya. “Kopi atau susu?”
“Terserah.” Sedetik kemudian aku berubah pikiran. “Nggak ada teh?” tanyaku mengangkat alis.
“Teh diminum setelah makan, bukan sebelum atau saat makan,” katanya sambil menuang sekotak kecil susu segar ke dalam salah satu cangkir.
Aku memutar bola mata. “Tapi kami meminum teh bersamaan saat makan.” Aku menyengir lebar. “Ngomong-ngomong kamu pernah ke warteg, nggak? Makan, lalu minumnya es teh manis. Enak banget, tahu?”
“Itu bukan teh, tapi minuman penyegar.” Dia menatapku dengan cangkir kosong di tangannya. “Kamu mau minum apa?”
Aku masih belum mau menyerah. “Tapi kan, bahannya juga teh,” bantahku dengan mata melotot.
“Oke, anggap saja itu teh versi alternative universe.” Bibirnya tersenyum lantas bersiul kecil, mengabaikan argumenku yang baginya mungkin terkesan lucu.
Aku memutar mata lagi dan mendengkus kesal, tapi akhirnya aku ikut tertawa juga, karena Lee tertawa. Aku sangat suka melihatnya tertawa, mungkin karena saat dia tertawa, wajahnya agak sedikit kemerahan, tidak sepucat vampir lagi. Hal itu membuat wajah Lee, yang tidak seberapa tampan, terlihat lebih alive! Seperti wajah kebanyakan orang di luar sana.
“Kamu mau minum susu atau kopi? Fyi, aku tidak punya teh manis,” ucapnya sambil masih tersenyum. Aku tahu ini ketiga kalinya, Lee bertanya padaku, tapi wajahnya sama sekali tidak menampakkan gurat kekesalan sedikit pun. “Oh ya, satu lagi. Nasi rames itu lebih cocok dijadikan menu makan siang atau malam. Rasanya terlalu berat untuk dijadikan menu sarapan.” Laki-laki itu menaruh bungkusan nasi rames, masing-masing di atas piring keramik cokelat. “Tapi, selama makannya sama kamu, aku tak peduli jenis makanannya,” ralatnya kemudian diselingi dengan cengiran lebar dari bibir pucatnya.
Aku yang semula ingin protes, harus tersipu dan mengurungkannya.
Selesai sarapan, kami melakukan ritual “pertunjukan” minum teh hingga pukul dua belas. Selanjutnya, aku dan Lee duduk sambil mengobrol di ruang tamu.
Sudah empat kali aku ke sini, tapi belum pernah sekali pun aku diajaknya melihat bagian lain dari rumah ini. Aku hanya berkisar di ruang tamu, ruang makan yang tidak terpakai, dan dapurnya yang juga jarang digunakan.
“Hari ini kamu nggak ada acara?” tanyaku asal, demi membuatnya berbicara atau sekadar tertawa.
Lee menoleh dan menyipitkan matanya yang sudah sipit, kepadaku. Kedua alisnya yang tak seberapa tebal pun bertaut. “Memangnya aku pernah ada acara di siang hari? Terutama Selasa. Kan...,” dia tampak kebingungan untuk meneruskan kalimatnya. “Uhm... maksudku, aku nggak ada acara apa pun hari ini, bahkan sampai malam nanti.”
Aku tersenyum kecil. “Lee, kamu nggak pengin lihat keadaan luar, gitu? Meski sekadar melihatnya melalui jendela mobil yang nggunain kaca film?” Aku berpikir sejenak untuk mencari kalimat yang pas. “Maksudku, kamu nggak kangen sama... matahari?”
Aku mengangkat kedua kakiku ke atas sofa dan memeluk kedua lutut. Sesekali kupandangi gelang merah di pergelangan kiriku. Lalu, aku membayangkan kalau pergelangan Lee yang putih kurus itu memakai gelang yang sama sepertiku.
Laki-laki itu mendengkus lalu membuang pandangannya pada tembok abu-abu di ujung ruangan. “Nggak. Aku berada di posisi yang paling nyaman dan aman, saat sendiri dan berdiam di dalam rumah, di duniaku. Dan, aku nggak butuh apa-apa lagi.”
Tidak berapa lama kemudian, Lee yang duduk di sebelah kananku, memiringkan tubuhnya dan menghadap lurus ke arahku yang sejak tadi menghadap padanya dengan punggung bersandar pada tanganan sofa yang tingginya sampai bawah pundakku.
“Berarti aku mengganggumu, dong?” Aku sedikit merengut.
Lee tergelak beberapa detik. “Ya, jelas nggak. Aku justru merasa terberkahi, karena kamu sudah mau berteman denganku. At least, aku tidak sendirian all day long.”
Kutaruh daguku di atas lutut dan menatapnya lembut. “Emangnya kamu nggak punya temen yang ngajakin kamu hang out, nonton, makan, atau sekadar ngopi bareng, gitu?”
Wajahnya menunduk. “Aku nggak punya teman.”
“Nggak satu pun?”
Dia memggeleng pelan. “Hanya satu. Kamu.” Mata cokelat sipit itu menatapku lekat. Kesenduan di dalamnya seakan melesat keluar dan menghunjam dadaku yang sudah terpenuhi rasa kasihan.
Jemari kananku memainkan benang merah di pergelanganku. “Kamu nggak suka berteman, ya?”
Pria itu mengangguk cepat. Matanya memandangi gelangku sebentar, lalu beralih ke wajahku. “Dan nggak ada yang mau mengajakku berteman. Manusia normal nggak bakalan mau berteman dengan manusia vampir pesakitan sepertiku.” Dia memang paling pintar kalau disuruh membuat kesimpulan!
“Berarti aku nggak normal, dong?” Aku berharap kalimatku bisa membuatnya tertawa. Tapi aku harus kecewa karena dia hanya tersenyum tipis dengan mengedikkan bahu kurusnya. “Kenapa sih, kamu selalu bilang begitu, Lee? Semua orang itu berhak ditemani dan menemani orang lain,” lanjutku kemudian. Aku mengulurkan tangan kanan untuk mengelus-elus bahu kurusnya yang menurun.
“Oh ya?” tanyanya yang hanya kujawab dengan anggukan dan senyuman lembut.
Kami saling diam. Selama beberapa saat kami hanya berpandangan, seakan mencoba membaca isi pikiran satu sama lain dan menyimpulkannya. Lee adalah tipe orang yang hanya mau berbicara setelah ditabuh dengan pertanyaan atau pernyataan.
“Gimana kalau aku bantu kamu bersih-bersih? Jangan mellow gini, dong! Nggak asyik, tahu?” Hatiku tidak akan kuat melihatmu begini.
Sial! Bukannya badanku encok semua? Lalu kenapa aku menawarkan diri untuk membantunya?!
Berhasil. Lee tersenyum dengan ekspresi wajah seperti orang yang keberatan. “Jangan. Aku nggak akan kuat membayarmu.” Laki-laki itu menyengir lebih lebar.
“Bayar aja dengan senyuman kamu.” Ups.... Satu kalimat tololku meluncur tanpa kusadari. “Maksudku... aku terlalu kaya untuk menerima santunan gaji darimu.”
Lee terbatuk. “Tenang saja. Aku bisa melanjutkannya kapan-kapan.”
Kuturunkan kakiku dari sofa. “Ya, udah! Daripada aku merasa bersalah dan merutuki dosaku, mending kamu terusin kerjaan kamu. Tenang aja, aku bukan perusuh, kok. Aku akan menjadi penontonmu yang baik.” Sekarang aku sudah berdiri di hadapannya dengan tangan melipat di dada, seolah-olah menunggunya bangkit dan mulai bekerja.