Akhirnya, Liliana Sasmita berumur dua puluh tiga tahun. Hari ini ulang tahunku, meskipun tidak seorang pun memberikan ucapan selamat kepadaku. Tidak banyak orang tahu hari ini aku berulang tahun, hanya Rilla, Deva, dan orang tuaku.
Akhir-akhir ini Rilla sibuk dengan persiapan tahun ajaran baru, jadi mungkin dia lupa hari ulang tahunku. Deva, sejak kemunculannya malam itu, dia tidak menampakkan batang hidungnya lagi. Selain kemungkinan dia sudah menyerah karena aku sudah punya pacar, Rilla juga pernah bercerita padaku bahwa dia telah membuat kesepakatan dengan pria itu untuk tidak lagi menemuiku.
Aku pernah bertanya tentang isi kesepakatannya itu, tapi Rilla hanya bilang bahwa itu rahasia antara dirinya dan Deva. Dan aku hanya bisa menerima rahasia mereka. Sedangkan Bapak dan Ibuk, seumur hidupku, mereka tidak pernah peduli dengan yang namanya ulang tahun. Kami memang tidak terbiasa dengan acara tahunan itu.
Aku memang memilih untuk tidak memublikasikan tanggal lahirku. Selain karena tidak terbiasa sejak kecil, aku juga tidak punya cukup uang untuk mentraktir banyak orang atau sekadar membalas kado.
Aku masih teringat jelas kejadian saat SMA dulu. Kala itu aku pernah sekali merayakan ulang tahun (itu pun karena dipaksa teman-teman) dan menerima banyak kado. Alhasil, tabunganku ludes untuk mentraktir teman sekelas dan setahun berikutnya, aku harus berjuang mengumpulkan uang untuk membeli kado balasan bagi orang yang telah memberiku kado.
Di kafe hanya ada aku dan Kiki. Hari ini Senin, jadi Hera tidak masuk kerja. Rendra juga seharian tidak datang ke kafe. Laki-laki itu semakin ke sini sikapnya semakin manis saja kepadaku. Selalu bisa membuatku malu, senang sekaligus sebal dengan semua celoteh dan perintahnya. Dan pizza-nya juga.
Menurut berita terakhir--yang kudengar dari Hera, laki-laki itu selain matang juga mapan. Hera mengikuti akun Instagram Rendra, jadi gadis itu tahu banyak tentangnya. Tidak sepertiku.
Seperti kejadian dua hari yang lalu. Aku baru saja datang ke kafe, saat Hera langsung menyambutku di entrance sambil menceritakan update terbaru tentang Rendra. “Dengerin, Li! Baru dua bulan lalu, Pak Bos membeli rumah di daerah Mayestik. Eh, kemarin dia berganti mobil. Nggak tanggung-tanggung, mobilnya sekarang Pajero sport. Gila nggak, tuh?” ucap Hera menggebu-gebu, seperti orang yang baru saja menemukan berlian di jalan.
Aku masih terus berjalan sambil memutar bola mata. “Biasa aja, kali!”
Hera membulatkan matanya ke arahku. “Biasa gimana? Kayaknya, kalau aku belum pacaran lama dengan Angga, pasti aku sudah deketin dia.” Pandangan gadis itu ke atas, seperti orang yang menceritakan mimpinya.
“Makanya, kusaranin kamu baik-baik dengannya, Li! Sepertinya, dia memang ada rasa sama kamu,” lanjutnya lagi, masih dengan semangat yang sama.
Aku meletakkan tasku di loker dan mulai memakai celemek kerja. “Dih, hari ini lo norak banget, deh. Yang namanya perasaan dan cinta itu nggak sesimple itu, Ra. Matang dan mapan itu keren, tapi kalau kitanya nggak klik, nggak cinta, nggak tertarik, dan seratus nggak lainnya, buat apaaa? Nggak ada gunanya kita maksain diri, kecuali... lo cuma mau hartanya doang,” celotehku panjang lebar. Omelanku sepertinya berhasil membungkam mulut Hera karena dia tidak membahas Rendra lebih lanjut.
Seperti jadwal biasanya, setiap Senin, kiki akan lebih banyak bertugas di belakang, sedangkan aku di bagian depan. Untung saja, kafe malam ini tidak seramai siang tadi. Kakiku sudah terasa menjadi sarang ribuan semut yang tidak pernah tidur, yang terus-terusan merayapi sekujur kaki.
Jam baru menunjukkan pukul tujuh, tapi Lee sudah muncul di pintu kafe. Meski sudah berteman akrab, kami sepakat untuk tidak memperlihatkannya di kafe. Kami ingin pertemanan kami menjadi 'our little secret' saja, tidak perlu semua orang tahu. Termasuk Rilla dan rekan kerjaku di Bubble Lee.
Aku juga sudah hafal dengan menu pesanan Lee, jadi sudah tidak pernah menanyakannya lagi. Satu kali aku pernah bertanya padanya, kenapa dia harus membuat jadwal pesanan seperti itu? Saat itu dia menjawab bahwa hal itu akan melatihnya disiplin. Tentu saja aku tergelak saat mendengarnya, tapi setelah mengetahui penjelasannya lebih lanjut —yang menurutku sangat filosofis—aku berhenti tertawa dan mengangguk setuju.
Laki-laki cungkring itu berdiri di depan kasir, menyapaku dengan sorot mata teduh dan lembut, yang selalu berhasil membuat wajahku terasa menghangat. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar, dia mulai membuka suara. “Besok kamu libur, kan?” tanyanya lirih.
Beberapa kali, Lee berseloroh bahwa bench chair trotoar lebih membuatnya nyaman untuk mengobrol denganku daripada Bubble Lee.
Aku mengangguk. “Kamu mulai hafal dengan jadwalku ya, Pak?” ledekku sambil mengetik pesanannya.
Lee merengut. “Apa aku sama nyebelinnya dengan bos kamu itu? Sampai kamu memberiku nama panggilan yang sama?” Tangannya menyodorkan kartu debet padaku. “Ke rumahku, ya? Besok, aku mau masak menu spesial buat kamu,” lanjutnya masih dengan senyuman manis tersungging di bibir.
Mataku membulat penuh binar. “What? Yang bener?” Kuserahkan kembali kartu debetnya yang berwarna gold dengan selembar struk pembelian.
Dia mengangguk dengan senyuman lebar yang menggambarkan kepuasan karena telah berhasil membuatku terpesona.
“Kamu mau masak apa?” Kutaruh kedua tanganku di atas konter.
“Kamu maunya apa?” Sudah menjadi kebiasaan Lee akhir-akhir ini, setiap ditanya dia akan bertanya balik.
Dengan tersenyum lebar aku menjawab, “Aku sih, terserah. Asalkan enak.”
“Masakan Taiwan, gimana?” Manusia vampir itu bertanya dengan mata berkilat, seolah-olah idenya yang terhebat di dunia.
Aku mengacungkan jempol. “Mantul!”
Dahi Lee menampilkan beberapa kerutan yang dalam. “Mantul itu apaan?” tanyanya sambil memasukkan dompet cokelat —yang sejak tadi dipegangnya—ke saku celana.