“Dua minggu lagi gue nikah, lo harus datang, ya.” Ucapan Rilla, bagai petir di pagi hari.
Aku tahu, dia sudah bertunangan dua bulan lalu, tapi apakah harus secepat ini menikah?! Bukannya pernikahan merupakan peristiwa sakral yang—semua orang inginnya—sekali seumur hidup? Lalu kenapa harus buru-buru?
Aku dan Rilla sedang duduk sarapan di tikar plastik yang Rilla gelar di ruangan depan alias kamarku. Menu kami hari ini adalah kue serabi yang baru saja kubeli dari warung Mang Jaka, yang jualan beraneka macam kue, di depan rumah Bu Haji--Si Madam Kontrakan
Aku menelan makanan di mulutku. “Apa? Secepat itu? Terus gimana dengan pekerjaan lo, La? Cuti atau resign? Eh, calon laki lo kerjanya di Cirebon, kan?” Sambil mengambil sebiji kue serabi dari kantong kertas, aku memberondong Rilla dengan banyak pertanyaan.
Rilla menghentikan kegiatan mengunyahnya dan menggelengkan kepalanya. “Itu pertanyaan atau daftar belanjaan? Banyak amat.” Gadis itu mengunyah sebentar makanan di dalam mulutnya lalu menelannya. “Iya, dia sudah PNS di salah satu rumah sakit daerah di Cirebon,” lanjutnya dengan nada bangga. Aku bisa melihat mata berbinarnya yang memandang ke atas, seperti membayangkan seseorang atau sesuatu.
“Dokter, ya?”
“Perawat. Emangnya dokter doang yang kerja di rumah sakit?” jawabnya sedikit sewot, seakan-akan tersinggung dengan penyebutan kata ‘dokter’.
Aku menyeruput teh manis dari mug yang kupegang. “Berarti lo resign, dong? Setahu gue, mutasi PNS kan, nggak mudah,” ujarku dengan memandangi gadis yang wajahnya tidak memperlihatkan kesumpekan sedikit pun. Berbanding terbalik denganku. Maksudku, wajahku setelah Lee tidak mengacuhkanku lagi.
Rilla meletakkan mug bergambar dirinya yang bertoga di lantai, di samping kantong kertas yang sekarang serabinya tinggal dua biji. “Iya. Gue resign dan balik kampung,” jawabnya dengan penuh kemantapan. Sungguh, aku masih tidak habis pikir, bagaimana dia bisa seyakin itu pada pertunangannya yang menurutku sedikit absurd dan buru-buru. Bayangkan saja, di zaman serba canggih begini, masih ada cowok dan cewek yang dengan senang hati dijodohkan oleh keluarga mereka.
“Lo tega ninggalin gue sendirian?” Aku memasang wajah cemberut.
Rilla menyelonjorkan kakinya yang sedari tadi bersila. Senyum gadis itu melebar. “Ya, makanya buruan nikah. Sama bos lo yang datang kemarin itu juga boleh. Kayaknya dia udah mapan dan matang deh, Li. Tepat banget untuk cewek santai kayak lo. Bisa ngelindungin dan ngebimbing banget.”
Untung saja Rilla tidak mengenal Lee, atau dia pasti akan bilang, “Tidak seperti Lee, yang berpenyakitan, kekanak-kanakan, dan kemapanannya juga masih dipertanyakan.”
Aku mendengkus kesal. “Ngaco! Sing eling, Buk!” Kuraih sebiji serabi dan kugigit sekali. “Tapi emang lo bisa resign secepat itu? Dua minggu, Buk. Meski honorer, kayaknya juga nggak bisa secepat itu kali, kecuali... lewat belakang.” Kuseperuput tehku sekali lagi.
Rilla pintar sekali membuat teh. Warna dan rasanya selalu pas. Seperti Lee, meskipun versi tehnya berbeda. Alternative universe, katanya. Mataku selalu hangat dan hatiku sesak setiap mengingatnya. Dan hal ini terjadi berulang-ulang, sejak hari itu. Bahkan aku sempat memimpikan laki-laki itu lagi, beberapa kali, setelah kami tidak bertemu lagi. Aneh! Rasanya semua terulang kembali.
“Gue udah nyerahin surat pengunduran diri ke yayasan sejak sebulan lalu, dan mereka ngasih gue waktu lima minggu.” Jawaban Rilla menyeretku dari serangkaian bayangan Lee.
“Berarti, tinggal seminggu lagi umur kerjaan lo?”
Rilla mengangguk cepat dan meraih mug tehnya, lantas menyeruputnya hingga mengeluarkan suara. “Yup!”
Aku merasa seperti baru tersadarkan pada hal yang selama ini tidak pernah kupikirkan. “Kenapa lo baru bilang hari ini? Kenapa nggak kemarin-kemarin, Bu Guru Rilla?”
Rilla mendesah kasar lalu memutar bola matanya. “Gimana gue mau bilang? Elonya sibuk mulu. Malam pulangnya selalu larut, Selasa juga nggak pernah di rumah. Kayaknya akhir-akhir ini lo repot melulu, deh? Saat hari kerja maupun libur. Lihat mata lo, kantungnya udah setebal bantal gue.”
“Iya deh, gue khilaf. Gue minta maaf,” ucapku pasrah. Dalam hati aku merasa tertohok. Omelan Rilla serasa membuka fakta yang entah sengaja atau tidak sudah kulupakan selama ini. Terutama sejak pertemananku dengan Lee. Semua karena Lee. Dia yang membuatku tidak ada waktu untuk Rilla, keluargaku, bahkan untuk diriku sendiri. Dia yang membuatku kurang tidur. Dia yang membuatku jarang ada di rumah. Dia yang sekarang mendiamkan dan membekukanku. Dia! Seorang Jonathan Lee.
“Li, lo punya tas baru?” Suara Rilla yang sedikit meninggi, membuatku tersadar dan mengerjap beberapa kali. Untung saja gadis itu tidak memperhatikan ekspresi wajahku.
“Apaan, sih?” jawabku pura-pura sebal.
“Tuh!” Rilla menunjuk pada tas yang kuletakkan di atas kursi plastik. Tadi aku memasukkan kunci kafe ke dalamnya, karena hari ini giliranku membuka pintu kafe. Dan, aku lupa untuk mengembalikan tas itu ke lemari.
“Oh, itu.” Aku bingung mau ngomong apa lagi. Otakku benar-benar tidak bisa berfungsi dengan baik. Dan, Lee lagi-lagi adalah penyebabnya.
Mata Rilla masih tersesat pada tas, jadi dia tidak menghiraukanku. “Gila! Fossil! Lo nemu duit? Atau dapat tips dollar? Lo udah kaya ya, sekarang?” cerocos Rilla mulai membuat gatal telingaku.
Sekarang, aku harus bilang apa? Tidak mungkin kan, aku bilang tas itu hadiah dari Rendra. Bisa-bisa Rilla akan menyiapkan pertunanganku dengan laki-laki itu. I know her so well.
“Preloved. Mencicil lima kali, Buk!” Syukurlah, kali ini otakku mau bersekutu. “Temen gue dapat hadiah dari doinya, baru dipakai empat kali dan sudah bosan.” Aku mencebik. “Menurut gue sih, bukannya bosan, tapi dia udah dibeliin tas baru yang lebih mahal oleh selingkuhannya. Jadi yang ini dicairin buat smoothing rambut,” bohongku semakin lancar dan berlebihan.
Rilla manggut-manggut polos. “Lucky banget, lo! Kalau ada lagi, gue juga mau. Buat kado lo ke gue juga nggak pa-pa,” ucapnya sambil terkekeh. Gadis itu memungut satu-satunya kue serabi di depan kami dan menggigitkan pelan.
Reaksi yang diberikan Rilla bisa sedikit menghiburku. Dengan tersenyum lebar aku menjawab, “Dih, ngarep! Kado mah, terserah gue.” Aku berdiri dan lekas melakukan peregangan pada badanku yang terasa kaku semua.
Gadis itu hanya memandangiku tanpa tertarik sedikit pun untuk ikut peregangan. Rilla memang tidak suka olahraga. Dia lebih suka duduk berjam-jam sambil membaca buku atau menonton film. Mungkin kalau dipertemukan dengan Lee, mereka akan cocok.
Ah, kenapa laki-laki itu lagi yang masuk ke otakku?
“Bukannya teman spesial boleh memilih kado?” canda Rilla menyelamatkanku.
“Bubble Lee seratus porsi. Bagaimana?” selorohku asal.
“Buat mandi, ya?
“Isi kolam juga boleh.”
Tawa kami pun pecah. Kutatap wajah gadis tirus itu lekat. Sebentar lagi, dia akan pergi meninggalkanku. Seperti Lee yang meninggalkanku. Aku sendiri tidak tahu harus ke mana mencurahkan isi hati. Apakah aku harus jujur kepada Rilla tentang Lee? Setidaknya gadis itu bisa sedikit menghiburku dan meringankan isi hatiku. Tapi, hubunganku dan Lee kan, our little secret. Kalau kuceritakan pada Rilla, namanya bukan secret lagi dong?!