BUBBLE LIGHT

Erniwati
Chapter #15

Bubble 14: Again

Sebenarnya apa yang terjadi pada seorang Liliana Sasmita?! Bodoh atau gila? Lee sudah mengecewakanku berkali-kali, tapi kepala dan hatiku benar-benar tidak bisa mengusir bayangannya. Puncaknya semalam, dia menerbangkanku ke angkasa, lalu mengempaskanku ke bumi dengan keras. Aku tidak hanya jatuh, tapi hancur berkeping-keping. Tidak diragukan lagi, Jonathan Lee telah berhasil meluluh-lantakkan kewarasanku. 

Semalaman aku hanya menangis dan tidak bisa tidur barang sedetik pun. Kepalaku dipenuhi benang kusut yang saking kusutnya, aku enggan memikirkan cara untuk mengurainya.

“Li, lo nggak bangun buat sarapan?” tanya Rilla yang mondar-mandir ke depan-belakang karena kasurku masih tergelar dan memenuhi sebagian besar ruang tamu.

Aku menarik selimutku ke atas hingga menutupi kepala dan berusaha untuk menjawab pertanyaan itu dengan setenang mungkin. “Lo duluan aja, gue lagi nggak enak badan.” Semoga Rilla tidak mencurigai suaraku yang parau. 

Di mataku seperti ada selotip yang menempel, membuatku kesusahan untuk sekadar membukanya.

“Mau gue antar ke dokter?” Suara gadis itu mendekat. Sepertinya dia berjongkok di sebelahku. 

Oh Tuhan, jangan biarkan dia menyibak selimutku!

Aku menelan ludah dengan susah payah. “Nggak! Paling nanti diguyur air anget juga beres.” Untuk sesaat, aku berhenti bernapas di bawah selimut.

“Ya sudah.” Diam. “Oh ya, nanti malam gue nggak pulang. Gue mau menghadiri bridal shower-nya Naila dan sekalian tidur di sana karena pestanya sampai dini hari.” 

Rilla diam lagi, seperti sedang berpikir. “Sepertinya gue pulang besok sore setelah kerja sekalian, deh. Daripada ribet di jalan. Eh, itu artinya gue harus bawa baju kerja sekalian,” ucapnya yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri. Aku mendengar langkahnya pergi ke kamar mandi tanpa menunggu respons dariku.

“Ho oh!” Sampai minggu depan juga tidak apa karena aku sangat ingin menyendiri dan tidak siap untuk diinterogasi.

Setelah Rilla pergi kerja, aku bangkit dari kasur untuk ke kamar mandi. Kulihat wajahku sembab memerah dengan mata terasa perih dan bengkak. Bagaimana aku bisa berangkat kerja dengan penampilan seperti badut begini? Tapi, aku juga tidak mungkin izin mendadak. Rendra benar-benar tidak suka kalau ada karyawannya yang izin mendadak begitu.

Aku membuka layar ponsel dan mengetik kalimat 'cara mengatasi mata sembab karena menangis' di Google. Ah, seandainya aku sepintar Lee....

Nah! Dia lagi, dia lagi! Kenapa sih dia selalu muncul di kepalaku?!

Tidak, aku harus fokus pada artikel yang perlu kubaca dan kupelajari. Dari puluhan cara yang disebutkan di Google, aku mengambil cara yang termudah. Kuresapi apa yang ditulis di artikel itu, lalu segera kupraktikkan.

Aku menuangkan sebotol air dingin ke panci, lalu dengan handuk kecil yang kubasahi dengan air dingin itu, aku mulai mengompres mataku. Sekitar dua puluh menit lebih aku mengompres. 

Meskipun tidak hilang semua, sekarang mataku sudah mendingan. Aku pun mulai mengoleskan concealer ke sekitar mata. Untung saja aku kemarin belum sempat memotong poniku yang mulai memanjang, paling tidak rambut depan itu bisa membantuku menyamarkan mata.

Semua gara-gara Lee, aku benci dia. Aku tidak akan menemuinya lagi. Tidak akan!

  ***                                                       

Untung saja seharian kafe dalam keadaan ramai, jadi tidak ada orang yang sempat mengamati wajahku. Badanku serasa dirajam. Pegal semua! Mataku pun terasa lengket, entah karena kebanyakan menangis atau kurang tidur. Aku bahkan tidak bisa membedakan keduanya.

Baru pukul sembilan dan kafe sudah sepi. Masih ada waktu tiga puluh menit lebih, sebelum kami mulai beres-beres tutup kafe. Lumayan untuk melemaskan otot kami sambil mengobrol. Hera mengambil dua kursi dari belakang dan memberikannya satu padaku. Kami duduk bersisian di belakang konter. 

Sial! Aku baru saja duduk dan mataku langsung tertuju pada meja nomor sembilan. Meja yang telah menjadi sarang Lee setiap malam. Sekarang meja itu kosong. Kubisikkan pada hati ini bahwa aku tidak merindukannya, bahkan tidak ingin melihatnya. Tapi, entah kenapa air mataku tiba-tiba meleleh keluar. Buru-buru aku menghapus air asin itu sebelum ketahuan Hera. Aku menggeser sedikit letak kursi, agar tidak bisa melihat meja nomor sembilan.

“Li, Angga ngajak aku nikah,” ucap Hera membuyarkan sosok Lee di kepalaku. Gadis itu menolehku sebentar lalu menyeruput kopi dari paper cup di tangannya.

Aku mengerjap dan mengatur napas, mencoba memberikan semua perhatianku kepada Hera. “Apa? Menikah? Emangnya kalian udah tunangan?” tanyaku dengan mimik serius dan berharap Hera tidak menangkap kekagetanku.

Hera menolehku. “Harus, ya?” Gadis itu menggeser kursinya agar bisa berhadapan denganku.

Aku mengangkat alis. “Ya... bukannya step awalnya selalu begitu? Maksud gue, orang-orang selalu melakukan itu. Tunangan, lalu menikah.” Aku bingung mau menjelaskan bagaimana lagi. 

Sepertinya semua orang mendadak ingin menikah. Rilla, lalu sekarang Hera. Sedangkan aku? Ah, sudahlah!

Gadis Solo itu menyeruput kopinya lagi, kali ini hingga menimbulkan suara. “Tapi buktinya banyak yang tunangan bertahun-tahun tapi malah nggak nikah.” Dia menatapku dari atas paper cup-nya

“Iya juga, sih.” Mataku menerawang untuk mencari kalimat selanjutnya. “Berarti kalian termasuk tim tanpa tunangan tapi menikah?” Tangan kananku mulai memainkan gelang benang di tangan kiri.

Hera hanya mengangguk-angguk, tidak ada senyum di bibirnya.

Aku tahu bahwa candaanku tadi terdengar garing. “Bagus, dong!” Aku bingung lagi. Biasanya aku selalu bisa mengimbangi lawan bicaraku dengan baik, tapi kali ini sepertinya semua kata dalam kamus otakku lenyap, menyebabkanku tidak ingat sepatah pun. Dan semua gara-gara....

“Tapi masalahnya aku nggak akan kerja di sini lagi.”

“Kenapa?” Mataku membesar seketika. Bahkan napasku tertahan sesaat. 

Otakku mulai mencari korelasi antara menikah dan bekerja, karena Rilla juga mengorbankan pekerjaannya demi menikah. Mungkin mereka tidak pernah merasakan betapa pedihnya menjadi pengangguran sepertiku dulu. Jadi mereka dengan mudahnya melepas pekerjaan begitu saja.

“Karena... Angga ngelarang,” jawab Hera yang langsung menarik pandangannya dariku.

Aku mengerutkan dahi dalam-dalam. “Lah, belum menikah aja, udah berani ngelarang gitu!” Tampaknya aku salah memilih kata.

Benar saja, Hera tampak keberatan dengan ucapanku barusan. “Maksud Angga baik, Li. Dia melarang aku bekerja kan, demi kebaikanku juga.” Matanya sedikit melotot.

Aku semakin tidak mengerti. Entah otakku yang terlalu cetek dan kebetulan juga kusut, atau Hera yang memang naif. “Maksud, lo? Dilarang kerja demi kebaikan. Emangnya kerja sebuah kejahatan?”

Wajah imut di depanku itu merengut. “Ah, sudahlah! Ngomong sama kamu mah, selalu gitu.”

Aku pun pasang wajah cemberut. “Ya udah. Berarti lo mau resign karena menikah? Meninggalkan gue sendirian tersiksa oleh Rendra.” Bayangan yang sangat mengerikan. Atau sebaliknya?! Bukankah Rendra lebih manusiawi daripada Lee?

Senyum kecil tersembul dari bibir Hera yang ber-lipgloss. “Aku bisa nunggu sampai penggantiku datang. Lagian kan, masih ada Kiki.” Hera menoleh ke arah cowok cungkring yang sedang asyik bermain game di pintu dapur. “Atau kamu jadian aja sama Bos dan langsung... nikah! Seperti aku dan Angga!” Senyum gadis itu melebar, seolah-olah apa yang diucapkannya akan menjadi solusi terbaik sepanjang masa.

Beberapa saat kemudian, kami pun mulai beres-beres seperti biasanya. Malam ini, Kiki dan Hera kebagian membersihkan ruangan depan, sedangkan aku bagian belakang.

Aku sedang mengepel lantai dengan otak yang lagi-lagi tersesaki oleh Lee. Laki-laki itu sepertinya telah mengutuk hidupku.

“Pulang bareng, ya? Kamu udah sering nolak lho, masak kali ini mau nolak lagi?” Suara Rendra menyadarkanku, lebih tepatnya menyelamatkanku dari bayangan Lee. Bosku itu sudah berdiri dengan tangan terlipat di dada, tak jauh dariku. Entah sejak kapan dia di situ.

Aku menoleh dan tersenyum tipis, bingung mau menjawab bagaimana. Hati ini merasa tidak tega untuk menolaknya, tapi aku juga belum siap untuk jalan lebih jauh dengannya. 

Kenapa yang mengajakku si Rendra? Bukan Lee.

Aku berhenti mengepel, mataku melihat kemeja kuning gading yang dipakai Rendra, lalu menunduk. “Bapak kan, bawa mobil.” Tanpa sadar aku menggigiti kuku tangan sebentar.

“Emangnya kenapa kalau aku bawa mobil? Kamu bisa bareng aku, kan?” Kepalanya memiring seperti mau mengintip wajahku. Atau isyarat agar aku mendongakkan kepala dan membalas tatapan lembutnya.

“Tapi kan, rumah saya dekat sini aja, Pak. Kalau pake mobil, malah jauh karena harus muter-muter.” Semoga Rendra menerima alasanku.

“Ya udah, kita nggak usah langsung pulang,” sambarnya asal. Dia selalu saja begitu!

Lihat selengkapnya