Sudah pukul dua dini hari dan aku masih terjaga. Meskipun dua malam tidak tidur, mataku tetap terbuka lebar seolah diganduli bola besi. Di sini aku sekarang, sendiri, kesepian, dan insomnia.
Tadi, Rendra menurunkanku di jalan depan karena mobilnya tidak bisa masuk gang. Dan dia juga tidak bisa turun untuk mengantarku sampai pintu kontrakan karena tidak menemukan tempat untuk memarkir mobilnya.
Aku beranjak ke dapur untuk menyeduh teh hangat. Sebenarnya aku ingin duduk di luar, menikmati udara malam, tapi aku malu kalau ada tetangga yang lewat. Bang Oji yang tinggal di rumah sebelah, suka pulang dini hari, karena kerja di pabrik yang bagian shift malam.
Aku menyeruput teh panas dari cangkir yang kupegang dengan kedua tangan. Lalu kupejamkan mata dan memikirkan semua kejadian yang telah terjadi akhir-akhir ini. Semuanya membentuk kaleidoskop yang berputar-putar di kepalaku. Mulai dari Deva, wisuda, pindahan, menganggur, Bubble Lee, hingga akhirnya sampai pada titik Rendra. Dan Lee.
Ponselku bergetar. Gambar kaligrafi Mandarin terpampang di layar android-ku. Lee. Kenapa dia meneleponku di jam segini? Bukannya dia menghindariku? Mataku menatap layar ponsel dengan nanar. Aku ingin mengangkatnya, tapi hatiku melarang.
Setelah berpikir sejenak, aku mengangkat ponsel. Saat hendak menggeser ikon hijau ke atas, panggilan itu keburu mati. “Sial!” gumamku sambil membanting ponsel ke kasur.
Seharusnya aku tadi lebih cepat mengangkatnya. Siapa tahu saja, Lee mau berbicara denganku. Atau mungkin dia butuh sesuatu dariku.
Kepalaku makin pusing, kutenggak teh yang mulai dingin itu sampai tandas. Sambil mengigiti kuku, aku mondar-mandir di dalam kamar seperti orang bingung. Menimbang untuk menelepon Lee balik atau tidak.
Arggh!!!
Tidak semestinya aku berpikir demikian. Seharusnya aku memikirkan Rendra. Pria itu memintaku menjadi pacarnya. Dia juga memberiku waktu untuk menjawabnya. Rendra yang menyukai kuliner kesukaanku, Rendra yang matang dan mapan, Rendra yang sehat dan tampan, Rendra yang gentle dan tidak kekanak-kanakan. Satu lagi, Rendra yang bisa keluar rumah setiap saat, tidak peduli siang atau malam.
Aku membanting tubuh ke kasur dan menatap langit-langit. Pikiranku kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu.
“Ndra, boleh pulang sekarang?” Keberadaan Lee beserta pengamatannya membuatku sangat tidak nyaman.
Rendra mengerutkan alis tebalnya. “Kenapa?” tanyanya dengan pandangan tertanam padaku.
“Aku ngantuk dan kecapekan.”
Semestinya aku ngantuk berat karena semalam aku tidak tidur sama sekali. Tapi, sepertinya kombinasi Rendra dan Lee, malah benar-benar mampu membuat mataku melek seperti orang yang berkecukupan tidur.
Laki-laki itu berdiri, lalu berjalan menuju kasir untuk membayar makanan kami. Aku yang berjalan di belakang Rendra, berkali-kali menoleh pada Lee di pojok belakang. Sama, laki-laki kurus itu pun membalas pandanganku. Beberapa kali mata kami bertemu. Tapi dia tidak juga bangkit untuk menyapaku. Aku bersyukur, setelah membayar Rendra langsung berjalan lurus keluar, tidak memperhatikan tingkahku yang masih berusaha menengok ke arah Lee.
Sesampainya di mobil, Rendra berseloroh tentang beberapa hal yang aku tidak begitu paham. Lebih tepatnya, aku tidak memperhatikannya.
Seluruh otakku bekerja demi mencari tahu kenapa Lee tadi ada di sana? Akhirnya kupejamkan mata dan pura-pura tidur, hanya untuk membuat Rendra diam.
Kebisuanku berlanjut hingga kami sampai rumah. Saat mau pulang Rendra berkata, “Kalau nggak enak badan, besok nggak usah dipaksa masuk kerja. Istirahat aja di rumah. Dan kalau perlu apa-apa kamu telepon aku, ya?” Rendra yang manis dan pengertian!
Sebagai wanita normal, seharusnya aku meleleh, kan? Mendengar semua simpati dan gombalan Rendra. Tapi aku tidak merasakan apa-apa. Mungkin aku sudah terkena virus seorang Jonathan Lee, hingga diriku tidak bisa bersikap normal lagi.
Ponselku kembali bergetar. Lee lagi. Kali ini langsung kuangkat, “Halo!” Tapi tidak terdengar suara laki-laki itu. Aku diam menunggunya untuk berucap, tapi masih tidak ada suara. Akhirnya aku mengalah. “Lee....”
Masih sama. Tidak ada suaranya hingga telepon mati.
Aku membanting ponsel itu sekali lagi. Sejenak kemudian aku ingin meneleponnya. Aku sudah menutul namanya di layar android, tapi sedetik kemudian kuurungkan. “Paling tadi hanya kepencet nggak sengaja!” gumamku. Hingga jam menunjukkan pukul tiga, aku masih kelimpungan tidak bisa tidur.
Aku duduk di kasur dan bersandar pada dinding. Kulipat kakiku dan kupeluk. Sesekali menggigiti kukuku yang sudah geripis jelek. Lima menit kemudian, aku bangkit dan kembali mondar-mandir. Masih sama, Lee lebih mendominasi otakku daripada Rendra.
Sekilas di kepalaku muncul bayangan Lee sedang kambuh, tapi segera kutepis saat mengingat kejadian di angkringan tadi. Kukatakan pada diriku keras-keras. “Dia. Sehat-sehat. Saja.”
Aku duduk di kursi plastik dan memejamkan mata, mencoba mengeluarkan Lee dari kepalaku dan menggantinya dengan Rendra. “Aku harus move on. Aku harus melupakan Lee. Aku harus memilih Rendra,” ucapku lebih keras dari yang tadi. Mungkin kalau Rilla ada di rumah, dia pasti akan mendengar apa yang kuucapkan.
Aku beranjak ke kamar mandi untuk mengguyur badan agar lebih segar. Semoga setelah ini aku bisa tidur tenang. Niatku sudah bulat, aku memilih Rendra. Besok aku harus memberi jawaban “iya” untuk laki-laki itu.
Aku baru berjalan tiga langkah, saat ponselku berbunyi lagi. Semula aku ingin mengabaikannya karena aku menduga itu pasti Lee. Tapi, mendadak bayangan Bapak dan Ibuk yang suka meneleponku sebelum subuh melintas di kepala.
Aku berbalik badan dan meraih ponselku. Lee lagi. Aku membanting ponsel itu ke kasur dan aku ingin berbalik langkah. Namun, kakiku serasa berat seperti tertancap di tanah. Mataku pun seperti terpatri pada gambar kaligrafi dengan tulisan J. Lee di bawahnya itu.
Dan tanganku seolah-olah bergerak sendiri, memungut ponsel itu dan menarik ikon telepon berwarna hijau ke atas. Kutempelkan benda pintar itu ke telinga kanan. Diam, aku berharap akan mendengar suara dari sana. Hingga beberapa detik kemudian, masih sama. hening, tidak ada suara apa pun. Aku mendengkus sebal.
Aku berniat menjauhkan android itu dari telingaku, saat terdengar suara benda jatuh dari seberang sana. Suara benda yang pecah. Ada apa? Apakah Lee mengamuk? Tapi kalau mengamuk, kenapa dia harus memencet ponsel?
Panggilan itu menggantung, lalu mati.
Aku menghela napas panjang dan menjatuhkan badanku ke kasur lagi. Kupandangi langit-langit kamar, seolah menanti sebuah jawaban muncul dari sana. Jawaban dari pertanyanku, 'apa yang harus kulakukan?'
***
Pukul 4.17 dini hari dan Liliana Sasmita sudah berada di depan pintu rumah Jonathan Lee. Laki-laki yang mendadak menjauhinya tanpa sebab maupun kata. Sosok yang tiba-tiba pergi setelah menciumnya. Liliana yang tolol! Pasti sekarang semesta sedang menertawakannya, mengejeknya, bahkan mengutuknya?
Aku membuka pintu pelan. Sekilas, mataku membelalak tidak percaya. Ruang tamu berantakan, beberapa barang berserakan di mana-mana, ada dua atau tiga yang pecah di lantai. Aku tidak menemukan Lee. Aku hanya melihat sneaker-nya yang berwarna hitam, tercecer, satu di belakang pintu dan satunya lagi di dekat dispenser. Hampir empat meter jarak dua benda itu berjauhan.