BUBBLE LIGHT

Erniwati
Chapter #17

Bubble 16: Together

“Kamu nggak kerja?” tanya Lee sambil menyendokkan ketoprak ke mulutnya perlahan. “Hari ini bukan Selasa, kan?”

Aku menyeruput es teh manis buatan Bang Slamet, warung kopi dekat lampu merah. “Nggak. Sekarang udah jam sembilan dan aku belum siap-siap kerja.” Aku mendongak kepadanya. 

“Lagian, aku juga ngantuk banget. Dua hari dua malam aku nggak tidur.” Aku menutup mulutku yang tiba-tiba menguap. “Hari ini harus kutebus. Aku mau tidur sampai besok pagi,” ucapku lebih kepada diriku sendiri.

“Emangnya kamu udah izin?”

“Udah!”

Saat di warung ketoprak tadi, aku sudah mengirim pesan WA pada Rendra yang langsung dibalas “Oke,” dan ditambah emotikon smile tiga biji. Tentu saja, aku tidak berani mengatakan hal itu pada Lee. Toh, dia juga tidak bertanya.

Aku mendengar tawa kecil dari mulutnya yang telah kosong. Kalau dilihat dari betapa lahapnya dia makan, sepertinya Lee memang sangat kelaparan. Dibanding punyaku yang masih separuh lebih, ketopraknya sudah hampir habis.

Setelah melahap sendok terakhir, dia bertanya, “Kamu nggak tidur gara-gara mikirin aku, ya? Atau Rendra?” Seulas senyum yang membarenginya, membuatku yakin bahwa dia hanya bercanda.

Sambil mengunyah aku menjawab, “Ngaku nggak, ya?” Aku menyeringai padanya.

Dia terkekeh. “Nggak ngaku juga udah ketahuan.” Pria itu menenggak air mineral dalam botol hingga tinggal separuh.

Aku meletakkan sendok di atas ketoprak karena ingin mengencangkan kucir rambutku. “Kamu sendiri? Kenapa nelepon aku berkali-kali?”

Lee berdeham. “Yang pertama sengaja, sedangkan yang kedua,” dia berjeda bentar, “masih sengaja sih, meski tingkat kesengajaannya nggak seperti yang pertama.”

“Yang terakhir?” sambarku dengan mata masih memandangi jakunnya yang bergerak-gerak di leher panjangnya.

Sekarang tangannya ditumpangkan di meja, setelah menggeser kotak styrofoam ke samping. “Kayaknya nggak sengaja. Saat itu aku habis nerima telepon dari klien dan tanpa sadar aku memencet nama kamu.” Kalau dilihat dari ekspresi wajahnya sih, sepertinya dia jujur.

Sebenarnya aku ingin bilang alasannya agak tidak masuk di akal, tapi aku takut membuatnya sedih karena malu. Lagian, hal itu sudah terjadi, dan berefek positif pada kami.

“Nanti siang aku masak buatmu, ya, Li. Aku kan, sudah telanjur janji.”

“Telanjur?” Kusipitkan mataku padanya. “Jadi, terpaksa, nih?”

Bibir Lee yang sudah kembali pucat tersenyum kecil. “Salah pemilihan kata. Kuralat saja menjadi, aku kan sudah berjanji.”

Kami tertawa bersamaan lagi. Kupandangi otot-otot mukanya yang mengencang dan sedikit memerah saat tertawa. “Kapan-kapan aja, kalau kamu udah sehat beneran.”

Lee melenguh. “Terus hari ini kamu mau ngapain?”

Aku memasukkan dua styrofoam kosong ke kantong plastik dan mengikatnya. “Ngapain aja. Yang penting siang ini aku harus pulang dan tidur, atau aku akan tepar.”

“Mau main cello?” tanyanya setelah kami saling diam beberapa detik.

“Nggak bisa.”

“Kuajarin.”

“Nggak minat.”

Dia menyandar ke punggung kursi dengan mata masih kepadaku. “Atau alat musik lainnya? Pilih yang kamu sukai biar nggak merasa terbebani.”

Aku memutar mata. “Harus, ya?” 

Sepertinya dia mulai serius.

“Nggak juga, sih. Cuma... main musik itu bagus. Banyak manfaatnya. Mulai dari meningkatkan konsentrasi dan koordinasi, mempertajam pemikiran, mengatur suasana hati, dan menjaga agar jantung lebih sehat,” jelasnya mendetail seperti biasa.

Really?” tanyaku yang langsung membuatku menyesal telah mengucapkannya. Seharusnya aku hanya tersenyum atau segera mengalihkan topik.

Dia mengangguk antusias. “Kamu tahu? Di Taiwan, hampir semua anak diharuskan mampu memainkan alat musik, minimal satu. Sehingga jangan heran kalau setiap rumah mempunyai alat musik kebanggaan keluarga.”

Aku hanya memutar mata, berusaha mencari hiburan dengan menghitung bintik-bintik merah di wajah Lee. “Agar mereka jenius?” Tiba-tiba saja aku teringat pada CD musik klasik di paket baby gift yang dibeli Rilla beberapa bulan lalu, yang akan diberikan pada temannya yang baru saja melahirkan.

Dia mengangguk. “Nggak ke jenius sih. Menurutku untuk mem-balance otak saja.” Dia berjeda. “Kalau kamu ke Taiwan, mungkin kamu akan kaget dengan lagu fur elise yang terdengar nyaring dari setiap mobil sampah yang lewat”

“Mobil sampah? Fur elise, kalau nggak salah, itu musik klasiknya...,” sial! Aku harus mengingat-ingat. “Beethoven, eh, bener, kan? Atau Mozzart?” Lagi-lagi aku terpancing! Diam, Li! Atau dia akan lebih serius lagi!

Lee mengangguk penuh semangat. “Beethoven. Jadi untuk menarik perhatian dan kesadaran masyarakat, mereka mengganti sirene mobil dengan instrumen fur elise.”

“Lee?”

“Ya?”

“Ternyata bulu mata kamu lentik banget, ya?” ucapku sambil terus memandanginya.

Laki-laki itu tersenyum, seakan tahu maksudku yang sesungguhnya--untuk mengalihkan topik pembicaraan. Ah, dia sudah mulai memahamiku.

Jonathan Lee, orang yang suka membuat segala sesuatu tampak serius dan rumit, berbanding terbalik dengan Liliana Sasmita. Tapi, kenapa aku menyukai orang seperti Lee ini? 

***                         

Lihat selengkapnya