Hari yang tidak kuharapkan itu pun akhirnya datang. Hari ini Rilla pulang kampung untuk selamanya. Setidaknya, begitulah rencananya, meninggalkanku dan Jakarta. Dengan air mata yang masih menetes, aku membantu mengemasi barangnya yang tinggal sedikit karena sebagian besar sudah dikirimkan lewat .
“La, lo yakin nggak bakalan kangen sama Jakarta?” tanyaku dengan tangan kiri mengelap air mata. Sementara tangan kanan memasukkan baju Rilla ke dalam tas tangan hitam berukuran sedang.
Rilla yang matanya juga bengap karena menangis, tersenyum kecil. “Elah, nih orang. Kangen ya tinggal datang, orang deket ini. Lo ngomong seakan Jakarta itu New York atau Paris aja deh, Li. Lebay!”
Aku tahu, dia hanya ingin menceriakan suasana. Padahal hatinya juga sesak.
“Bener juga, ya?” Aku menyengir.
Rilla mengambil segelas air dan meminumnya perlahan. “Gue juga nggak jamin kalau lo akan di Jakarta selamanya.”
Aku merengut. “Maksud lo?” Aku memasukkan baju Rilla yang terakhir, lalu menutup risletingnya.
Gadis yang duduk di depanku itu, menatapku lewat atas gelasnya. “Yah, gue bukannya pesimis sama lo atau sok bijak. Tapi menurut gue, bila Jakarta terlalu melelahkan, nggak ada salahnya kok, kalau kita balik ke kampung halaman dan mengabdi di sana. Lagian, mungkin ilmu kita lebih dibutuhin di sana daripada di Jakarta yang sesak ini.” Dia menyelonjorkan kedua kakinya
“Gue balik ke Madiun, gitu?” Aku membawa satu koper dan dua tas tangan Rilla ke depan pintu.
“Ho oh! Tapi kalau lo mau ngegaet bos lo itu, yah bagus. Artinya ada jaminan buat masa depan lo di Jakarta ini. Doi orang Jakarta, kan?”
Aku mengangguk pelan. Sungguh, aku hanya setuju bagian Rendra orang Jakarta asli, bukan dengan kalimat Rilla yang lainnya.
***
Kami sudah di taksi online, yang dipesan Rilla, menuju stasiun Pasar Senen. Gadis itu memilih kereta api juga untuk pulang ke Cirebon, sama seperti aku ketika pulang ke Madiun. Selain karena rumahnya yang dekat dengan stasiun, dia juga rawan mabuk kendaraan jadi kereta merupakan solusi terbaik. Lagi-lagi sama sepertiku.
Mengingat persamaan itu, membuatku menangis lagi.
“Li, menurut gue hidup lo itu meski nggak indah banget, tapi suka beruntung. Banyak lho, orang yang hidupnya indah, bahkan sempurna, tapi apes melulu,” katanya sambil mengelus pundakku. Mungkin dia mengatakan hal itu untuk menghiburku saja.
Aku membersit ingusku dengan tisu. Kenapa sih, hidung ikut beringus saat seseorang menangis? Seharusnya kan, air mata saja yang mengalir. “Ya, kalau dia apes melulu, terus kenapa disebut hidupnya indah? Nggak sinkron deh, kayaknya,“ balasku tanpa menatap wajahnya.
Aku melihat layar ponsel yang menampakkan akun Rendra. Kemarin, saat aku mengeluh soal kepulangan Rilla, laki-laki itu langsung menyuruhku libur untuk mengantar Rilla ke stasiun.
Memang agak aneh sih, sejak kejadian di Angkringan Ponorogo malam itu, dia suka memberiku banyak kelonggaran. Boleh libur mendadak, pulang lebih awal, atau datang terlambat ke kafe.
Sejak malam itu juga, dia beberapa kali mengajakku keluar lagi, tapi aku selalu berhasil menolaknya dengan berbagai alasan yang menurutku mampu membuatnya mundur perlahan, tanpa aku harus memberinya jawaban atau keputusan. Tapi nyatanya, apa yang terjadi malah sebaliknya, dia malah semakin mengejarku. Aku mulai berpikir, mungkin seharusnya aku berterus terang saja dengannya, tapi aku takut risikonya. Meski Rendra tidak akan tega memecatku, tetap pekerjaanku di Bubble Lee mungkin tidak akan semenyenangkan sekarang. Apalagi Hera juga akan resign.
Lee sendiri, sejak kami jadian, dia tidak datang lagi ke kafe. Katanya sih, dia mulai menerapkan hidup yang lebih sehat dan menghindari minuman manis. Saat aku usul, kalau di kafe dia bisa minum air mineral dan makan menu biasanya, dia bilang bahwa menu Bubble Lee tidak cukup sehat untuk standar barunya. Kalau sudah begitu, aku bisa apa?
Oh Tuhan, aku bingung, lelah, stress, pusing, sesak, dan seratus derita lainnya. Mungkin Rilla benar, Jakarta terlalu melelahkan buat perantau seperti kami.
“Li, lo ngelamun lagi?” Lagi-lagi Rilla menegurku. Kali ini disertai tepukan keras di pundakku. “Perasaan, Lilian yang sekarang sudah jauh berbeda dengan yang dulu, deh.”
Aku tersenyum kikuk. “Bedanya di mana?” tanyaku selanjutnya.
“Semakin slow res, lo banyak ngelamunnya. Kalau ngejawab pertanyaan, pakai mikir lama. Nggak spontan dan asyik seperti dulu.”
Aku mendengkus. “Ah, perasaan lo aja, kali. See! Saking hectic-nya lo nyiapin pernikahan, sampai penilaian lo ke gue juga terkena imbasnya.”
Gadis itu memutar mata. “Gue ngenal lo nggak sebulan dua bulan, Buk! Gue bareng lo udah hampir empat tahun. Gue tahu mungkin lo ada sedikit masalah atau kegalauan yang nggak lo ceritain ke gue.” Dia menghela napas panjang. “Dan gue mencoba untuk ber-positive thinking aja. Mungkin lo nggak berbagi ke gue, karena lo nggak ingin gue ikut pusing mikirin lo atau lo ingin gue fokus aja pada nikahan gue. I appreciate it a lot! Meskipun—” dia berhenti lagi, “kalau boleh memilih, gue lebih suka the old you.”
Aku tertohok, tapi gengsi untuk mengakuinya. Aku tidak boleh terpancing. Aku harus bertahan. Kurang dari dua jam lagi, Li! Setelah itu, rasa bersalah ini akan memudar seiring berjalannya waktu. Aku akan jarang bertemu dengan Rilla, mungkin hanya lewat udara. Dia juga akan sibuk mengurusi rumah tangga dan mungkin karir barunya. Aku harus bertahan, meskipun menanggung semua beban ini sendirian rasanya sungguh menyesakkan.
“Nah, bener kan omongan gue? Lilian yang periang telah bertransformasi menjadi Lilian Si Ratu Melamun.”
Dengan susah payah, aku berusaha tersenyum. “Udah deh, La! Lo jangan gitu. Waktu kita bisa bareng-bareng gini tinggal itungan jam, kenapa nggak diisi yang asyik-asyik aja, sih?” elakku tanpa memandangi wajahnya. “Lagian emang gue nggak ada apa-apa, kok. Kalau lo lihat gue sedikit beda, itu artinya gue bertambah dewasa dan mulai bisa berpikir lebih baik. I didn’t change, I just grew up! Dan bukannya itu bagus?! Bukannya itu harapan lo ke gue selama ini?”
Skak mat!
***
Sepulang dari stasiun Pasar Senen, jam di layar ponselku menunjukkan pukul empat sore. Aku tidak mungkin pergi kerja. Mengurung diri di rumah kontrakan juga bukan pilihan yang bagus, terutama dengan gelarku sekarang, Si Ratu Melamun yang sendirian.
Setelah turun dari angkot di perempatan lampu merah, aku memilih untuk berjalan ke rumah Lee saja. Walaupun mungkin laki-laki itu sedang tidur atau sudah keluar, aku masih bisa mendengarkan musik di studio, olahraga, atau belajar menikmati baca buku juga boleh. Apa saja, yang penting menyelamatkan diriku dari melamun.
Ruang tamunya sepi, seperti dugaanku, mungkin dia sedang tidur atau keluar? Tetapi kulihat sneakers yang biasa dipakainya masih ada di tempatnya. Mungkin dia tidur di atas. Setelah sering ke sini, mataku mulai terbiasa dengan pencahayaan rumah ini yang temaram.
Aku menaiki tangga perlahan agar tidak berisik. Niatku menuju gym, tapi sedetik kemudian telingaku menangkap sayup-sayup suara cello dari studio.
Kubuka pintu studio dan menemukan Lee sedang memainkan cello dengan kusyuk. Karena ruangan ini tidak ada kursi lain kecuali yang diduduki Lee, aku pun duduk bersila di lantai kayu dengan bahu menyandar pada tembok
bermotif awan berarak itu.